"Nikah sama aku."Selia melongo menatap Savan. Apa yang ada di pikiran lelaki muda di hadapannya ini? Apa ia sudah gila? Atau Selia yang salah dengar?
"Karena ini masuk dalam kesepakatan kita, jadi kamu gak boleh nolak. Kecuali kalau kamu mau aku kasih tau Army tentang kerja paruh waktu kamu." Savan menatap Selia tak berkedip, menampakkan keseriusannya.
Selia menundukkan kepalanya, menghindari tatapan mata itu. Ini semua terlalu tiba-tiba. Ia tidak siap. Hatinya yang masih belum siap menerima Savan kembali.
"Kalau kamu pengen kasih tahu Army sekarang, gak apa-apa. Kasih tau aja. Itu udah gak terlalu penting buat aku." Selia melepaskan tangannya dari genggaman Savan.
Terdengar Savan menghela napasnya.
"Kami gak kangen sama aku?" tanyanya kemudian.
Tidak tahukah pemuda itu kalau pertanyaannya telah membuat Selia seperti kehilangan jalan napasnya? Telah membuat Selia hampir kehilangan akal sehatnya? Hampir saja Selia menghambur ke arah Savan dan memeluknya.
"Kalau aku, jelas kangen banget sama Selia." Savan berkata lagi.
Selia tidak kuat lagi. Ia membalikkan tubuhnya membelakangi Savan, menyembunyikan matanya yang sudah basah. Ia juga merasakan hal yang sama. Ia bahkan sangat merindukan Savan sampai berpelukan seharian pun rasanya tidak akan bisa menyembuhkan rasa rindunya. Namun, ego itu masih jauh mendominasi hatinya.
"Aku udah berusaha semampu aku bisa buat jauhin kamu. Berusaha gak muncul lagi dalem hidup kamu kayak apa yang kamu minta. Aku berusaha ngalihin perhatian aku dengan ambil program akselerasi. Aku belajar siang malem, berusaha konsentrasi dan fokus nyelesain materi kuliahku cuma dalam waktu dua taun. Saat semua udah selesai, aku malah inget lagi sama kamu. Inget sama Selia yang keliatan cantik banget waktu senyum. Aku pengen kita kayak dulu lagi, banyak abisin waktu bersama. Makanya aku ambil program internship di Jakarta biar aku bisa ketemu dan deket lagi sama kamu."
"Cukup. Gak usah diterusin," gumam Selia lirih. Air matanya kembali mengalir tanpa isakan.
Savan mendekati Selia kemudian memperhatikan wajahnya yang tertunduk. Ia bisa melihat wajah Selia yang sudah basah.
"Seandainya aku tau kita bakalan kayak gini, malem itu aku gak mau pulang. Aku pengen terus ada sama kamu." Savan berkata lagi.
Savan mendongak kemudian membersihkan wajahnya dari air mata dan tersenyum.
"Tapi, sekarang kita hidup bukan di masa lalu. Selama dua taun ini aku juga berusaha ngelupain kamu dan aku bisa jalanin hidup aku kayak waktu sebelum aku ketemu kamu. Urusanku sama almamater kamu belum selesai."
"Oke, aku bakalan nunggu. Saat urusan kamu sama almamater aku udah selesai, kamu harus menuhin kesepakatan ketiga kita!" Savan berkata tegas kemudian meninggalkan Selia yang langsung menatap punggungnya menjauh.
Apa Selia bodoh membiarkannya pergi? Apa Selia menyesal sudah tidak menghiraukannya? Yang jelas, sambil menatap punggung itu berlalu, mata Selia kembali basah.
⚽💜⚽
Selia menghirup napas dalam-dalam. Di hadapannya kini terhampar padang rumput yang menghijau dengan beberapa hewan ternak yang berkejaran.Ia berada di Kota Batu saat itu. Berlibur di rumah Om Surya. Ia pergi bersama Arul yang pulang ke sana untuk liburan. Army tidak bisa ikut karena kampusnya belum libur. Ia bilang akan segera menyusul kalau urusan di kampusnya sudah selesai.
"Kak, aku mau cari rumput. Mau, gak?" tanya Arul yang sudah siap dengan peralatan mencari rumputnya.
"Aku di sini aja, deh. Bantu jagain ternak-ternak aja," jawab Selia yang entah kenapa merasa enggan berdekatan dengan perkebunan apel. Ia berpikir tempat itu akan mengingatkannya lagi pada Savan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Soccer Love
Teen FictionSavan Adinata jatuh cinta dengan Akselia Thihani yang membencinya karena ia murid Charlemagne. Untuk mendapatkan hati gadis itu, Savan rela pindah ke SMA Panca Bakti tempat Selia bersekolah dan membantunya membentuk tim sepak bola. Semua berjalan l...