#10: Perkebunan Apel

903 162 8
                                    

Perkebunan apel itu memang sangat luas. Kini mereka ada di areal utama perkebunan. Sejauh mata memandang hanya terlihat jejeran pohon apel dengan buahnya yang bergelantungan di ranting-ranting nya. Sebagian terlihat sudah ranum hampir masak. Sebagian lagi ada yang masih muda. Aroma khas buah apel juga bertebaran di mana-mana.

Yang paling kegirangan sejak tadi adalah Army. Saat Arul dan Selia asik mengumpulkan rumput, pemuda bertubuh gempal itu asyik jepret sana-jepret sini. Bagus kalau dia mengabadikan pemandangan yang indah atau mengambil foto candid Arul dan Selia yang sedang asyik mencabut rumput. Ini malah memotret dirinya sendiri dengan buah-buahan apel itu sebagai background-nya.

"Lihat sepupu kamu tuh, kayak gak pernah lihat buah apel seumur hidupnya," cibir Selia yang kini melihat kakaknya itu naik ke salah satu ranting pohon apel kemudian membuat tanda peace dengan tangannya dan memotret dirinya yang pasang wajah sok cute itu.

Arul hanya tertawa kecil. Banyak yang berubah dari sepupu mereka itu. Saat kecil dulu Arul itu anak yang pecicilan, tidak jauh berbeda dari Army. Setelah sepuluh tahun berlalu, Arul tumbuh jadi pemuda yang sopan dan tak banyak bicara. Ia bicara dan tertawa seperlunya. Bersikap sewajarnya.

"Kalau rantingnya patah baru tau rasa," gumam Selia lagi.

Arul kembali tertawa mendengarnya.

"Kak, hati-hati ntar jatoh!" teriak Arul menginterupsi keasyikan Army ber-selfie ria.

Army turun dari ranting pohon dan menghampiri mereka sambil memperlihatkan hasil jepretannya dengan mata yang berbinar-binar.

"Kakak keliatan cute, kan?" tanyanya sambil menatap Selia dan Arul penuh harap kalau mereka akan mengiyakan.

Arul hanya menoleh ke arah Selia yang langsung melengos pergi.

"Gak usah diladenin," sahutnya tak acuh.

"Harusnya kamu bersyukur dong punya kakak yang cute," protes Army sambil menunjuk hidungnya sendiri.

"Tapi aku gak bersyukur punya kakak yang over kepedean juga pecicilan gak jelas," balas Selia tanpa menoleh ke arah Army.

"Astaga, kejem amat punya adek." Army mengelus dadanya sendiri. Mencoba untuk sabar. Untung Selia itu adiknya. Kalau bukan, sudah ia gantung di pucuk pohon apel dengan posisi kepala di bawah.

"Kenalin Om, ini sepupuku yang dari Jakarta." Tiba-tiba terdengar suara Arul. Ada seorang pria paruh baya yang entah kapan ada di sana.

"Yang waktu itu pernah jatuh dari pohon apel, bukan?" tanya pria itu tersenyum menatap Selia yang masih melongo. Perlahan pipinya memerah karena malu. Kejadian memalukan sepuluh tahun lalu kembali terbayang jelas di pikirannya.

"Iya, yang jatuh dengan kepala di bawah dan kakinya menjulang ke atas," timpal Army kemudian tertawa senang seolah dengan tawanya itu ia ingin balas dendam atas perbuatan Selia beberapa saat yang lalu.

Wajah Selia bertekuk-tekuk entah sudah segi berapa. Dari ujung matanya ia melirik sinis kepada Army. Kalau saja di tempat itu hanya ada mereka berdua, mungkin Selia sudah menerkam kakaknya itu.

"Ini Tuan Adinata. Pemilik perkebunan ini." Arul mengenalkan seorang pria dengan senyum ramah. Paman baik hati yang memberikan pertolongan pertama saat Selia jatuh terjungkal sampai dahinya robek sepuluh tahun lalu.

"Panggil Om aja. Gak perlu sungkan," ujarnya lagi.

"Senang bertemu lagi sama Om." Army menyalami Adinata dengan mencium tangannya. Diikuti oleh Selia yang masih belum berani mendongakkan wajah.

"Kalian bakal menghabiskan liburan sekolah di sini?" tanya Adinata lagi.

"Gak sampai selama itu kok, Om. Kalau Om Surya sama Tante Della udah pulang dari Bali dan kami udah ngunjungin makam mama, kami pulang lagi ke Jakarta. Kasian papa sendirian di rumah," jawab Army.

[END] Soccer LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang