8. Blood is Death

3.1K 380 24
                                    

Siang itu aku mendapati grup pesan ramai membicarakan kabarku. Hampir semua yang datang ke acara Richi penasaran bagaimana aku bisa pulang tanpa berpamitan, sedangkan Richi kembali dalam keadaan babak belur. Lalu aku membalas dengan sebuah pesan yang menyatakan aku baik-baik saja. Aku sedikit memberi klarifikasi, tapi tidak dengan Richi. Dari sekian banyak orang yang menyebutkan namanya, dia tidak muncul sama sekali.

Tidak ketinggalan, Bela juga mengumpat habis-habisan ketika tahu bagaimana sikap Richi. Dia terus mengingatkan agar aku menjauhi laki-laki itu. Di sini, sebuah pelajaran baru saja kudapatkan. Teman yang baik tak akan membiarkan kita melakukan sesuatu di luar jalur. Richi sendiri menjebakku malam itu , sungguh tidak menyangka.

Aku memejamkan mata rapat, teringat bagaimana kami begitu hangat sebagai seorang teman, dulu. Lalu keanehan mulai terjadi saat dia ingin menjadi kekasih dengan statusku yang telah bersuami.
Saat itu aku memang menyukai Richi, tapi egoku tersampingkan mengingat hubungan kami jelas tabu jika nekat untuk aku perjuangkan. Jadi, pilihanku saat itu hanyalah tetap memendam rasa yang kini telah sepenuhnya hilang. Ya, hati ini tidak lagi diisi Richi walau sedikit. Bayang-bayang kelakuannya itu memuakkan, menyadarkan kalau dia hanyalah laki-laki yang ingin memanfaatkan.

"Hihihihihi ...."

Astaga, hantu ini sesukanya saja muncul. Tawanya nyaring, membuat bergidik. Aku mengamati senyum manisnya, lalu mengarahkan pandangan pada langit yang bertabur bintang. Entah mengapa, aku merasa Viona juga menyukai lantai tiga ini. Setiap kali aku ada di sini, dia akan segera datang. Seolah-olah tidak mau aku sendiri dan dia juga ingin menikmati waktu bersama.

"Hei, Viona, apa kamu sering nampakin diri ke orang-orang rumah ini?"

Berkali-kali mengajak Viona bicara, tapi dia belum mau memperdengarkan suara, kecuali tawa nyaringnya itu. Jadi, kali ini aku pun tidak terlalu berharap mendapat jawaban.

"Kalau aku kangen, aku akan nampakin diri."

Mataku serasa melebar. Dengan cepat kepalaku menoleh ke sisi kiri, tempat Viona berdiri. Setelah sekian lama, akhirnya dia mau bicara. Kemajuan yang sangat bagus.

"Akhirnya, Vio!" Senyumku terkembang, begitu pun Viona. "Aku nggak tahu seberapa dekat hubunganmu dengan orang-orang di rumah ini. Tapi lihat kamu masih ada di sini, mungkin kamu emang merasa di sinilah tempatmu."

"Aku tertahan, Carissa, dan kamu yang akan bantu aku ngelepasin ikatan itu."

Lalu Viona menghilang seiring derap langkah mendekat, meninggalkan tanya lain di benakku. Di dekat pintu sana, seorang laki-laki tengah berdiri diam. Eithar tampak begitu cool dengan setelan hitam yang dipakainya. Tidak mengelak, aku mengakui dalam hati kalau dia memang menawan. Sayangnya dalam kesempurnaan rupa yang dia miliki, aku masih tidak bisa mengetahui misteri yang dia simpan rapat.

"Udah malam, masuk."

"Di kamar atau di sini nggak ada bedanya, sama-sama dingin."

Aku tersenyum miris, lalu membalik tubuh dan mengembuskan napas panjang. Ranjang kami memang masih dingin, tidak berubah meski telah resmi menikah selama lima bulan. Kami tidak pernah menyatukan hasrat. Sering, aku berpikir apakah dia tidak normal hingga bisa menahan diri tidur setiap hari bersamaku tanpa melakukan lebih.

"Aku pernah mencoba, tapi gagal. Aku cuma nggak mau mencoba lagi."

Suara Eithar begitu dekat, bisa kurasakan kehadirannya di belakangku. Hatiku ternyata masih berdenyut nyeri meski selama ini sudah berusaha tidak terpengaruh atas kata-kata Eithar.

"Ya, itu lebih baik, Eithar. Karena rasanya sakit saat menginginkan, tapi ditinggalin."

"Kalaupun kita melakukannya, aku mau atas kesadaran masing-masing. Atas rasa murni yang nggak dipaksakan."

Mysterious Hubby(SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang