11. Keeping Mine

4.5K 437 53
                                    

Aku pasti sudah gila karena kini menginginkan Eithar agar tetap di sisiku. Ya, bagaimana tidak? Mimpi mengerikan itu menyadarkan bahwa Eithar terlampau berharga bagiku. Tentu terdengar konyol, karena di awal aku sangat membenci laki-laki dingin itu. Tapi jika dipikir-pikir lagi, Eithar tidak begitu buruk.

Kalau dia memang benar-benar tidak peduli padaku, dia tidak akan menyelamatkanku ketika di kelab malam hari itu. Kalau dia jahat, mungkin Eithar akan mengabaikan saat aku menelepon dan mengatakan Richi ada di rumah. Eithar penyelamatku dan karena itu, aku merasa tidak ada yang salah jika memiliki perasaan ingin menguasai hatinya.

Masih ada yang lain di hati Eithar, ya aku tahu. Pasti akan sulit membuatnya jatuh hati padaku. Tapi, bukankah cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu? Jadi ada kemungkinan bahwa kami bisa saling mengasihi layaknya suami istri.

“Non, permisi. Ada teman Non Carissa datang.”

Ketukan pintu dan suara Bik Marni membuatku menyunggingkan senyum. Itu pasti Bela, karena dia janji untuk mampir sepulang kerja.
Turun dari ranjang, aku berjalan ke pintu. Lalu membukanya dengan gerakan cepat, hingga kutemukan Bik Marni juga Bela. Perempuan itu membelalak sekaligus menjerit histeris ketika melihat perban yang mengelilingi kepalaku. Kubekap mulut Bela, agar suaranya tidak makin menyakitkan gendang telinga. Melihat itu, Bik Marni tersenyum lebar lalu undur diri untuk membuat minuman.

“Gila! Richi bisa sampai senekat ini, Ris?”

Bela kembali bersuara setelah kututup pintu. Wajahnya menampakkan ekspresi terkejut dan cemas di saat bersamaan.

“Lukanya nggak parah. Tenang aja, Bel.”

Kami duduk di sofa. Bela berkali-kali berdecak tanpa mengalihkan matanya dari kepalaku. Segala umpatan dia keluarkan untuk Richi, juga menyesal karena tidak langsung menjengukku setelah kejadian.

“Duh, ngeri banget tu anak. Nggak nyangka dia bisa segila itu, Ris. Pasti babak-belur banget ya dihajar Eithar? Soalnya sampai sekarang juga Richi belum kerja.”

“Iya. Eithar nggak kasih ampun. Ngeri kalau dibayangin.” Kuhela napas panjang, mencoba membuang keresahan atas ingatan kejadian itu.

“Eh, tapi Eithar belain kamu, Ris. Artinya dia peduli sama kamu. Nggak sejahat yang biasa kamu curhatin, deh.” Hatiku selalu saja bersemangat jika membicarakan Eithar. Bela sampai mencondongkan tubuh dan tersenyum jahil ketika aku hanya tersenyum-senyum. “Wah! Udah jatuh cinta kayaknya, nih.”

“Tapi dia belum ada rasa ke aku.” Kusandarkan tubuh. Huh! Tetap menyakitkan ternyata setiap mengingatnya.

“Ya kejar, dong! Kamu yang usaha, Ris. Salah satu caranya, samperin dia saat jam makan siang di kantor. Biar kalian makin dekat.”

Haruskah aku melakukannya? Tapi, usulan Bela memang benar. Jika Eithar enggan mendekat, aku yang harus berinisiatif memperbaiki hubungan kami. Percakapan kami semalam di ruang ganti juga menandakan kalau Eithar mulai terbuka padaku dan itu adalah hal yang bagus. Kami punya kesempatan bersama.

Aku dan Bela kembali mengobrol ditemani minuman dan makanan ringan yang Bik Marni sajikan. Pukul 9 malam perempuan itu baru pulang, selisih sedikit dengan kepulangan Eithar. Aku yang baru selesai mengganti pakaian tidur mendapati Eithar tengah membaringkan tubuh di sofa. Pekerjaannya pasti bertumpuk, hingga dia pulang terlambat.

“Eithar, udah makan?”

Matanya terbuka, lalu tak bereaksi apa-apa ketika tahu aku tengah berlutut di sisinya. Wajah kami begitu dekat, sebelum akhirnya Eithar duduk dan memperlebar jarak kami. Aku tersenyum kecut, tahu kalau dia tengah memberi batas. Karena hal itu sudah terjadi sejak semalam, tepatnya sejak aku meminta Eithar agar menjadi suamiku selamanya.

Mysterious Hubby(SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang