Manusia dan Layangannya

4.9K 126 26
                                    

Ada langit biru yang luas, tempat indah bernama dunia… dan di langit itu ada satu layangan, menggantang angin sambil menari kecil.

Pada awalnya layangan itu terbang sendiri, menunggang angin ke segala arah… Tapi akhirnya ada manusia di bawah sana, dan seutas benang tipis tak sengaja terikat ke hati sang layang-layang. Manusia telah menemukan cara untuk bermain layangan.

Layang-layang itu lantas menerima, senang rasanya tahu dia tak sendiri. Tapi dia lupa, terikat artinya dia tak lagi bisa bebas terbang seperti dulu.

Semakin hari, angin berhembus semakin kencang. Di hari-hari seperti itu, ingin rasanya menghampiri manusia di ujung sana untuk berlindung, tetapi sang manusia tak kunjung menarik benangnya juga. Layangan itu seakan terlupakan. Tetapi justru, pada hari-hari di mana ia sedang menikmati nyamannya angin semilir, kadang manusia itu menarik benangnya. Terutama bila ada seutas benang atau layangan lain yang menghampirinya.

Manusia itu menarik benangnya dengan tergesa-gesa. Layangan melayang turun, menikmati saat-saat dia bisa melayangkan pandang ke arah manusia, satu-satunya makhluk yang berhasil mengikatnya. Tetapi, di detik terakhir saat ia berpikir ia sudah cukup dekat untuk menyentuh manusia itu, benangnya diulur. Dia terhempas balik ke angkasa yang sekarang mulai terasa dingin dan sepi.

Manusialah yang memegang kendali, dan layangan mulai menjadi resah. Beban benang yang semula tak terasa, kini menjadi berat. Ia kadang meminjam kekuatan angin untuk menghentak benang itu dan terbang menjauh. Layang-layang ingin menunjukkan bahwa ia bukanlah tanpa kekuatan. Manusia itu pun mulai kesusahan mengendalikan layangannya.

Mereka berdua sama-sama tahu, benang yang disebut perasaan itu bisa putus. Rentan. Pada akhirnya, pilihan harus dibuat. Entah manusia yang terbang ke atas awan, lalu mereka bisa berdua melayang di angkasa bersama. Atau, manusia itu menarik dan kemudian menyimpan layang-layang aman dalam dekapannya. Pilihan yang terakhir adalah, dia harus melepas layangan itu pergi dan membiarkannya terbang menjauh.

Manusia harus memutuskan. Namun, pilihan itu tampaknya sulit sekali untuk dibuat.

Di lain pihak, angin hidup bertiup dan pasir waktu terus mengalir. Betapapun kerasnya layang-layang berusaha bertahan, benang itu makin menegang, renggang dimakan usia. Betapapun pandai manusia itu memainkan layangannya, hidup takkan bisa dilawan. Dalam hati, mereka berdua tahu akan datang hari di mana benang itu koyak, tetapi tak ada yang mau mengakuinya.

Maka begitulah, hujan pun turun dan terik berlalu. Kemudian, matahari mulai bersinar dan kabut tersapu jauh. Melalui semuanya itu, layangan berusaha bertahan, terombang-ambing dan sakit, terkoyak sedikit demi sedikit. Manusia pun mulai awas, berusaha memainkan benang dengan benar, mengulur waktu sampai ia siap mengambil keputusan. Melepas susah rasanya, menarik pun bimbang. Dan untuk terbang menghampiri layangan itu butuh keberanian yang tak ia miliki.

Layangan mulai melihat ke bawah, ke arah manusia yang tak tertebak. Layangan itu pun sadar, mungkin dialah yang harus mengambil keputusan. Untuk turun ke bawah itu tak mungkin kalau sang manusia tak menariknya. Satu-satunya jalan adalah menarik diri sekeras-kerasnya dengan harapan benang yang erat itu akan putus. Namun, layangan itu tahu bahwa benang perasaan tak mungkin terlepas dengan mudah. Rasa sakit saat berusaha melepaskan diri tak akan mudah hilang. Kalau putus pun, seutas sisa benang yang mengikat erat harus mengikuti pengembaraannya di langit yang luas itu, penanda akan sang manusia yang pernah terhubung dengannya. Dan, kalau tak putus juga, hatinyalah yang akan terkoyak, meninggalkan luka yang tak mungkin bisa ditambal oleh pasir waktu.

Dalam diam ketegangan itu bertumbuh, disembunyikan dalam sudut kesadaran keduanya. Tarik, ulur, tarik, ulur, tarik, ulur. Pasir waktu mulai memenuhi udara tanpa suara. Layangan yang bingung itu masih membiarkan dirinya terikat, dengan harapan manusia akan segera membuat keputusan. Atau mungkin, suatu saat pasir waktu yang beterbangan di mana-mana itu akan membuat benang yang mengikatnya menjadi longgar dan lepas, lalu ia akan bebas tanpa bekas... Tetapi, dalam hatinya, diam-diam dia berharap hari itu takkan segera datang.

Pasir waktu semakin menumpuk pula di kaki sang manusia, sementara ia mengamati angin bertiup keras mengombang-ambingkan sang layangan. Apakah layangan itu sudah puas terbang? Apakah ini saatnya untuk menarik layangan itu turun? Apakah layangannya itu akan menurut, mau disimpan dan dibawa oleh dirinya? Dan, yang lebih penting, siapkah dia untuk berhenti bermain?

Kemudian kabut pun kembali, dan segalanya menjadi tak jelas. Apakah sebenarnya benang itu masih ada di sana? Layangan dan manusia sudah tak bisa saling melihat satu sama lain. Mungkin saja sebenarnya mereka sudah terpisah, terpisah jauh sekali. Benang itu bahkan tak mereka ketahui dengan pasti seperti apa bentuknya. Sekuat apa ikatannya. Seberapa lama akan bertahan.

Tarik. Ulur. Tarik. Ulur. Layangan tak tahu bahwa ada perih luka karena tarikan benang di tangan sang manusia. Manusia pun tak tahu bahwa ada perih luka karena ikatan benang di hati sang layangan. Demikianlah tarik-ulur itu berlanjut. Tarik. Ulur. Tarik. Ulur.

Dan, tak lama lagi, matahari akan segera terbenam.

Hari berangin, Melbourne, 2007.
Kala menatap langit dengan hati terombang-ambing.

***
Maaf karena tiba-tiba masukin prosa :) soalnya sayang kalau dipisah buku, padahal temanya sama hehe.

Semoga suka ya :) ditunggu comment-nya!

Catatan Kecil tentang Rasa yang Diam-DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang