Hyunjin merasa persendian kakinya ingin lepas dari tempatnya semula, namun cowok itu tetap berlari.
Dia gak mau mati, masih banyak hal yang ingin Hyunjin lakukan sebagai seorang remaja pada umumnya. Dia ingin sekolah dengan tinggi, meraih cita-cita, berkeluarga, tua bersama.
Apakah hal hal sederhana itu terlalu keterlaluan untuk diimpikan?
Lutut Hyunjin melemas ketika ia menatap dinding didepannya. Tak ada lagi ruang tersisa untuk berlari. Semua pintu ruang kelas terkunci rapat.
Hyunjin pasrah. Cahaya cahaya itu kian mendekat.
Kedua matanya kebas, menahan tangis. Sebut saja Hyunjin cengeng, dia tidak ingin mati konyol seperti ini. Gak lucu sumpah.
Heejin sangat membutuhkannya, cewek itu sedang sekarat.
"Maaf." gumam Hyunjin pelan sembari memeluk benda perak di genggamannya.
Namun sepersekian detik kemudian, kedua kelopaknya kembali terbuka ketika mendengar dengusan halus di sebelahnya.
Seorang cowok berambut blonde dengan potongan spike menatap Hyunjin dengan jengkel di bibir pintu ruangan pojok yang semula tertutup rapat. Kedua tangannya dilipat didepan dada, sementara sorotnya tajam mengintimidasi.