9

121 14 0
                                    

"Ki," panggil Ara begitu pelan.

Sementara cowok yang dipanggilnya tengah terfokus dengan layar ponsel sejak tadi mereka sampai di alun-alun. Sekarang, sebenarnya ia tengah menunggu Ara mendapatkan angkotnya.

"Hmm?" gumam Shiki yang kini sudah menoleh. Menangkap gelagat aneh pada raut wajah Ara yang kini seolah meragu. Shiki pikir pasti ada yang penting. Habisnya ... "Ra?" Shiki menyebut nama gadis yang tadi memanggilnya. Memastikan bahwa ia tidak benar-benar melamun.

Walau kenyataannya Ara baru saja mengerjap dan tersadar dari lamunan singkatnya. "Ah, i--itu. Makasih banget bantuannya."

Tak langsung mengiyakan. Shiki malah menatap Ara kebingungan. Ia tampak menyembunyikan sesuatu. Atau lebih tepatnya ... menyembunyikan apa yang ingin ia katakan. Ya, kan? Shiki yakin itu.

Sementara itu, Ara tengah merutuki bibirnya. Apa sih yang baru saja ia ucapkan barusan? Demi apapun, kenapa ia harus sampai melamun dan akhirnya―

"Terus?" balas Shiki sok cuek. Sebenarnya ia hanya ingin memancing gadis itu.

Sementara orang yang dituju oleh Shiki kembali mengerjap. Mempertanyakan apa maksud dari pertanyaan yang diajukan oleh Shiki.

"Hah? Terus apa―" Belum selesai dengan ucapan yang hendak Ara jadikan dalih mengalihkan perhatian.

Shiki langsung memotong. "Gak usah bohong," tukas Shiki sambil menatap bola mata Ara. Entah kenapa tatapannya lebih tajam dari biasanya. Dan, bukan artinya ia selalu memperhatikan cowok itu. Hanya saja, karena beberapa waktu ini berada di sekitarnya. Tentu saja ia bisa sadar, bukan?

Di samping itu, senyuman kecil terulas di bibir Ara tanpa ia sadari. Meski dalam dadanya masih ada rasa sesak akan sesuatu yang ikut mendesak dalam benaknya. Namun, keberadaan orang ini ...

"Ara? Lo masih idup?" tanya Shiki lagi. Ia jengkel kalau sudah berurusan dengan Ara yang seperti ini, nih. Lemot dan sepertinya tsunderenya kumat. Ya, walau hanya perkiraannya saja.

"Ah itu, sebenarnya gak penting juga, sih," kata Ara yang sebenarnya masih kekeuh untuk tak membahas apa yang tadi hendak ia ucapkan.

Shiki benar jengkel kuadrat kalau sudah gini. Tapi, otaknya meminta untuk tetap tenang dan mendengar apa yang sebenarnya mau dikatakan Ara.

"Bilang aja apa susahnya, sih?" Tanpa sadar nada bicara Shiki merendah. Lebih rendah dari sebelumnya. Dan tentunya itu sangat berbeda dengan suaranya yang terkesan ceria dan tinggi.

Lagi pula, bagaimana ia bisa membantu Ara―seandainya itu masalah―kalau cewek itu tidak bilang sendiri apa masalahnya. Ia bukan dukun atau manusia yang bisa telepati.

Sementara Ara yang mendengar ucapan dan nada bicara Shiki, kini tengah mengalihkan pandangannya ke arah langit yang kian menggelap. Pertanda malam semakin dekat.

"Besok ... di sekolah gimana, ya?" gumam gadis itu tiba-tiba. Suaranya terdengar bergetar, seperti ada rasa takut di dalamnya. "Jujur, gue takut, Ki...."

Shiki terdiam. Kalau mau jujur, ia kaget dengan apa yang baru saja Ara katakan. Takut? Tolong katakan padanya kalau Ara tidaklah takut dengan laki-laki tadi.

Ya, maksudnya, ada beberapa teman sekelasnya selain Tio tadi kan. Bagaimana kalau besok? Ara di kelas dan setelah kejadian tadi. Bisa saja ....

Tapi Tio kayaknya enggak serius benci Ara, Ki, batin Shiki entah kenapa bersuara.

"Ra," panggil Shiki, "Meski lo takut, tapi gue yakin ada orang yang diem-diem ngelindungi lo, kok."

Ara ingin tertawa mendengarnya. Karena satu hal yang ia tahu. Itu tidak mungkin terjadi. Terlebih, teman-teman sekelasnya, orang-orang yang membencinya itu ... tidak akan peduli dengan seorang pelindung rahasia sekalipun ada, bukan?

"Siapa?" tanya Ara tiba-tiba.

"Seseorang yang mungkin lo liat sebagai sosok antagonis, sosok yang lo benci, tapi―"

"Lo ngomongin Tio?" tanya Ara kesal. "Jangan bercanda. Dia yang bikin semua cowok itu benci sama gue, Ki!" pekik Ara menyalurkan emosi yang terpendam dalam hatinya.

Terlalu tiba-tiba.

Shiki hanya bisa menghela napasnya setelah mendapat balasan dari Ara. Di samping itu, Shiki juga tak mengerti kenapa Tio disebut sebagai titik penyebar kebencian itu.

Mereka masih keluarga, kan? Ia juga tampaknya menyayangi Ara. Terbukti dari apa yang ia katakan tadi. Ya, ia menyuruh Ara pulang mengingat ini sudah sore. Kalau sayang, wajar bukan. Karena mereka saudara, meski jauh, tapi ...

... rasa sayang enggak sesederhana itu. Ada rasa sayang lain yang bisa membawanya melakukan apapun untuk melindungi seseorang itu. Apapun termasuk membuang hal yang berpotensi merusaknya sedini mungkin. Termasuk ... membuat orang lain membenci orang yang dilindunginya.

Hei, katakan dari mana hal sepanjang itu bisa terkait dalam kepala Shiki. Dan kini membuatnya menyimpulkan sesuatu yang gila.

Karena mereka saudara jauh, bisa saja kalau salah satu dari mereka memiliki perasaan yang lain bukan. Dan bisa saja itu ... jadi penyebabnya.

Dan entah kenapa kemungkinan ini bikin ga enak, batin Shiki.

Entah kenapa, ia jadi ingin membuang kemungkinan itu. Lagi pula, kalau memang menyayangi, kenapa harus berakhir dengan sesuatu yang berkaitan dengan benci? Itu tidak bagus, bukan?

Atau ... hanya alasannya?

Bip! Bip!

Suara klakson angkot menyadarkan Shiki dari lamunannya. Ia buru-buru melirik ke arah Ara yang tampaknya baru saja mau melangkah ke arah angkot itu. Dan tanpa sadar, tangannya bergerak menahan tangan gadis itu.

"Ra," suaranya keluar.

"Eh?" Ara yang kaget langsung menoleh.

Rasanya mirip adegan anime di kala senja yang bisa membuatnya merinding seluruh tubuh. Menggelikan, tapi ... Ara tidak merasakan itu di sini. Ia hanya kaget dan tak tahu mau bereaksi apa. Karena tampaknya Shiki mau bicara.

"Gak usah takut," kata Shiki. "Gak ada alasan apapun yang bikin seorang Ara takut sama cowok. Lagi pula, lo punya kita, kan? Anak-anak BS temen-temen lo, kan? Meski gak ada yang sekelas. Tapi kelas kita deketan, kan? Juga...."

Shiki menggantungkan kalimatnya. Sementara gadis itu tak berhenti untuk tertegun. Mirip gula, seharusnya ia tidak menyukainya. Tapi entah kenapa rasa gula ini berbeda.

"Seandainya mereka masih punya harga diri. Mereka gak akan pernah nyakitin lo. Dan seandainya itu terjadi, Shiki gak akan diem aja. Jadi, jangan takut! Lo kan ganas, lo kan udah berani nabok sam―"

Ara terkekeh mendengar balasan terakhir itu. Dalam dadanya ikut menghangat meski ada rasa sebal karena ....

"Lo rese, Shikiiii!" pekik Ara diselingi tawa. Tangannya yang tadi digenggam Shiki ditarik dan hampir memukul cowok itu.

"Lah, salah apa?" Shiki kebingungan. Padahal, bahasanya tadi sudah bagus, bukan?

Ara tersenyum. Kekehannya keluar lagi. Rasanya ia benar-benar lepas dibanding sebelumnya. Lebih lepas. Karena ....

"Lo gak cocok ngomong sok manis gitu, hahaha," celetuk Ara, "Gula lo ilegal!" ujarnya sambil menjulurkan lidah sebelum akhirnya berlari menaiki angkot yang hampir berangkat.

Dan dari pintu angkot ia berteriak. "Tapi ... makasih."

***

Sugirai - Real IdentityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang