“Ara pulang!” teriak Ara setelah beberapa detik yang lalu mengetuk, lantas membuka pintu.
Namun, mengetuk dan berteriak seperti itu pun seperti tak ada gunanya lagi. Rumahnya sepi, sama seperti yang terjadi satu tahun belakangan ini. Membuatnya menghela napas panjang diam-diam.
Setelah melepas sepatu dan menaruh pada tempatnya, tanpa sadar Ara terdiam memperhatikan tempatnya berada sekarang—ruang tamu.
Hari sudah sore menjelang malam, tapi masih gelap, berbeda dengan setahun yang lalu. Ruangan ini masih terang kala ia pulang hampir magrib. Belum lagi mama yang biasanya sedang duduk di kursi pojok sambil membaca buku di ruang ini. Seolah menantikannya pulang.
Sampai kapan harus kayak gini? Batinnya diam-diam berbisik.
Lagi, Ara hanya bisa menghela napasnya sambil menahan sesuatu yang diam-diam menelusup di sela-sela bola matanya. Ah, ia benar-benar benci kalau sudah seperti ini.
Berusaha mengabaikan semua itu, Ara berjalan lesu menuju kamarnya di lantai dua. Kalau dipikir-pikir, banyak hal yang terjadi hari ini. Hal itu juga yang mungkin membuat dirinya jadi sedikit lebih sentimental dari biasanya. Setidaknya hal-hal itulah yang berkecamuk dalam pikiran Ara.
Cklek
Blam!
Tak lama setelah Ara sampai dan membuka pintu, ia langsung membantingnya. Mungkin bisa sedikit menghilangkan sesuatu yang mengendap dan membuat dadanya terasa sesak.
Brak!
Tas miliknya pun menyusul dan kini sudah tergeletak di atas lantai. Ah, berapa banyak barang lagi sekarang yang harus ia lempar. Ia tak punya benda lain di tangan—selain ponsel yang membuat Ara mengurungkan niatnya. Matanya yang semula menatap sedikit nyalang berubah meredup.
“ ... Shiki gak akan diem aja. Jadi jangan ...”
Mengingat kata-jata itu, Ara menghela napasnya panjang. Bisa-bisanya ia teringat ucapan makhluk itu. Sial, gadis itu membatin bersamaan dengan senyum yang tak bisa ia tahan lagi. Gulanya benar-benar ilegal. Lebih sialnya, ia tak bisa membenci hal itu.
***
Keesokan paginya, sebagian besar lingkungan sekolah tampak basah karena hujan yang mengguyur tengah malam sampai dini hari tadi. Mulai dari lapangan, parkiran, hingga lorong-lorong menuju kelas—meski hanya disebabkan tanah dan air yang terciprat saja.Tentunya, hal ini membuat sebagian besar siswa dan sisiwi malas datang lebih awal. Siapapun juga tahu kalau cuaca seperti ini enak kalau dipakai tidur lagi. Terkecuali bagi Ara hari ini, gadis itu sudah masuk ke gerbang beberapa menit yang lalu. Dan, kini tengh berjalan di lorong menuju kelasnya sambil mengendap-endap.
Ya, sejujurnya ia khawatir dengan kejadian kemarin akan bersambung lagi ke hari ini. Terlebih Tio dan beberapa anak yang ia temui kemarin ada di kelasnya. Gadis itu berpikir, kalau berangkat pagi resiko bertemu sesuatu yang tidak ia harapkan sedikit berkurang.
Misalnya jika mereka memasang sesuatu di pintu masuk kelas atau bangku tempat duduknya. Kalau ia datang paling pagi, mereka tak akan mungkin mempersiapkan semua itu. Memang dirinya terlalu berlebihan, tapi ini sebatas pertahanan bagi dirinya saja.
Kini, ia sudah berada di depan kelasnya, dengan tirai dan pintu yang masih tertutup pertanda belum ada seorang pun selain dirinya yang datang. Diam-diam Ara menghela napasnya lega. Kalau dipikir-pikir, ia memang berlebihan. Sejak kapan ia jadi selalu berburuk sangka pada orang lain seperti ini? Terlebih laki-laki.
Namun, sekeras apapun Ara menggali, ia tak bisa menemukan jawabannya. Memang, ini ada hubungannya dengan orang itu¸ tapi Ara tak mengerti harus menamakan hal ini apa. Pertahanan dirinya memanglah ada, yang membuatnya dibenci anak lelaki di kelasnya pun sebenarnya adalah Tio, tapi kenapa ia tak bisa membela dirinya di hadapan mereka saat hal itu dimulai?
Lagi, Ara hanya bisa menghela napasnya—meski bukan helaan napas lega. Masih terlalu pagi untuk melamun dan memikirkan pertanyaan yang membuat dadanya terasa sesak itu. Sial, Ara benar-benar melamun dan kini sudah ada dua orang yang tengah berdiri di belakangnya.
Salah satunya berdeham sekali. Membuat tubuh Ara meremang seketika, sebab ia tahu siapa pemilik suara itu. Jangan harap ia mau berbalik memastikannya. Ia sudah tahu dan jelas sekali kalau Ara enggan menjadikan orang ini sebagai orang pertama yang ia temui hari ini.
“Ck.” Satu decakan keluar, masih dari orang yang sama. “Kalo lo gak mau masuk ya minggir.” Tanpa sadar orang itu sudah menyalip hingga Ara berada di belakangnya. Ya, dia Tio.“Lagian betah amat nunggu di luar, mana gak pake jaket lagi brrr,” ucap seorang lainnya, yang ternyata Aldi—si absen pertama. “Gila emang lo, Ra.”
Sementara itu, Tio yang baru saja selesai menarik selot langsung menoleh. “Biarin, kalo sakit tau rasa,” ucap Tio dengan nada yang tak enak didengar. Kemudian, ia masuk dahulu disusul Aldi, meninggalkan Ara yang masih bingung menangkap apa yang baru saja mereka utarakan.
Mereka itu ... nyumpahin apa khawatir?
Baru sedetik kemudian menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Menepis hal-hal yang baru saja meracuni otaknya. Lagi pula, ia harus segera masuk ke dalam. Atau ia akan benar-benar sakit.
Lagi, senyumnya tak bisa ia tahan. Lantas, bayangan Shiki dengan kata-katanya kembali menghantam kepalanya. Ah, sepertinya tidak ada salahnya untuk belajar bilang terima kasih dengan baik padanya.
***
Bogor, 06 Agustus 2019
Ah, long time no see in Sugirai. Aku minta maaf udah lama banget enggak hadir di sini. Enggak nulis ini. Tapi, tetap aja aku ingin menyelesaikan ini. Semoga yang masih hadir berkenan menunggu. Part ini kudedikasikan untuk Ray dan kalian yang masih hadir. Semoga suka, sampai ketemu bagian selanjutnya~
Regards
Nari

KAMU SEDANG MEMBACA
Sugirai - Real Identity
Novela JuvenilWarning! - Cuma cerita biasa. - Bakal banyak typo. *** "Wibu kok gaptek." Satu kata yang membuat Shiki―sang vokalis ekskul light music di SMA Patriot―dendam habis-habisan pada cewek kelas sebelah bernama Ara. Namun, siapa yang tahu kalau c...