Berbagai fragmen kalimat dan kejadian berkelebat acak di benak Haechan saat ini.
Ingatannya bergulir ke berbulan-bulan sebelumnya, saat semuanya mendadak kacau dalam kehidupan normalnya sebagai artis baru. Sejak skandal itu, sejak kebohongan yang entah dari mana pangkalnya dan sampai saat ini juga belum ada ujungnya. Saat Taeyong tidak percaya kalau ini semua bukan ulah Haechan, saat Joa memaksanya membela diri pada Taeyong, saat dia tahu ternyata mereka berdua sering bertemu diam-diam, dan barusan apa? Taeyong bilang dia tidak mau jadi pihak yang kejam?
Lalu sekarang apa? Lim Joa, dengan selang-selang terhubung ke tubuhnya. Dia sakit... apa tadi?
"Hemofilia?" ulang Haechan. "Itu penyakit kelainan pembekuan darah kan?"
Joa mengangguk dengan senyum muramnya. "Nah, ternyata kamu tau."
"Ta-tapi bukannya yang hemofili itu biasanya laki-laki ya? Perempuan kan nggak mungkin bisa hidup sampai dewasa?"
"Dalam beberapa kasus, mungkin. Dan aku menghidap hemofili ringan, jadi nggak sefatal hemofili pada umumnya," jawab Joa.
Mata Haechan menatap sekeliling, pada berbagai alat yang terhubung pada tubuh Joa. Dia tidak mengerti, tapi Joa tampak baik-baik saja saat ini. Itu sudah cukup membuatnya bersyukur.
"Tapi... sekarang nggak apa-apa?" tanya Haechan. "Berarti tadi luka ya di tempat Hansol hyung?"
"Iya," angguk Joa. "Nggak apa-apa. Aku udah dapat penanganan yang tepat."
Untuk kedua kalinya Haechan menghela nafas lega. Tapi kemudian dia ingat pada orang yang sudah membawanya ke sini, Lee Taeyong. Rahangnya mengeras lagi, ia menatap lurus pada Joa.
"Aku boleh tanya?" ujar Haechan.
"Tentang apa?"
"Belakangan aku tau ternyata noona sering ketemu Taeyong hyung. Aku cuma penasaran, ada hubungan apa diantara kalian? Belakangan juga sikap Taeyong hyung aneh, dia kayaknya menyembunyikan sesuatu dari aku," kata Haechan. "Kenapa? Dan ada apa sebenernya sih?"
"Ceritanya panjang. Tapi semua ini awalnya sejak orang tua kamu tau, tentang diagnosa itu. Maksudku—anililagnia," Joa terbata.
"A-apa? Noona tau dari siapa? Mereka tau dari mana?" Haechan terkejut.
"Hypnoteraphy. Sejak kamu keliatan aneh katanya."
"Aneh gimana?"
"Susah jelasinnya. Yang jelas, semua orang tua berhak cari tau tentang anaknya. Singkatnya, mereka tau tentang aku. Maksudnya—perasaan kamu,' Joa makin tampak tidak enak.
Wajah Haechan memerah. Ia ingat saat mulai menyukai Joa sikapnya memang mencurigakan, tapi dia menyembunyikan itu dari semua orang. Tapi rupanya insting orang tua tidak bisa dibohongi.
"Terus... gimana? Apa yang mereka lakukan?" tanya Haechan.
"Nggak butuh waktu lama bagi mereka untuk tau tentang aku dan orang tuaku. Jadi mereka juga tau kalau rentang usia kita jauh –sangat," jawab Joa.
"Jadi mereka suruh noona menjauh dari aku?"
"Ah—jangan salah paham. Y-ya, semacam itu sih. Tapi dengan cara yang baik," jawab Joa. "Lagi pula, Hyuk, aku selama ini selalu menganggap kamu adik. Aku sayang kamu, sebagai keluarga. Selain itu... kamu tau sekarang, aku sakit. Aku rasa selamanya aku nggak akan menikah karena pengidap penyakit ini terlalu beresiko untuk peernikahan dan punya anak."
"Noona..."
"Maaf, Hyuk. Tadinya aku udah mencoba cara yang cukup halus, tapi kayaknya kamu nggak menyadari itu. Jadi aku terpaksa pakai skenario yang melibatkan Taeyong dan yang lain, tapi malah jadi salah paham gini..." untuk kesekian kalinya, Haechan melihat penyesalan mendalam di wajah perempuan yang ia sukai itu.
"Apa? Jadi—semua ini udah direncanakan?"
"Awalnya terencana, tapi malah kacau. Aku udah menjelaskan semuanya ke Lee Taeyong, rencananya kami mau berhenti kalau kamu udah menyerah dan lupa tentang perasaan kamu itu," lanjut Joa. "Hyuk, jangan aku. Di luar sana banyak yang lebih pantas buat kamu."
Dada Haechan rasanya sesak mendengar semua itu, menyakitkan sekali mendengar fakta bahwa selama ini dia dibohongi. Ingin rasanya dia meninju hidung Taeyong saat ini juga, tapi itu ide buruk. Ia tidak ingin melukai siapa pun, cukup perasaannya saja yang disakiti.
"Oke," Haechan menghela nafas dalam-dalam setelah jeda diam yang cukup panjang. "Ternyata ceritanya sepanjang itu. Luar biasa. Seandainya saat ini kita nggak ketemu, kira-kira kapan aku tau tentang semua itu?"
"Hyuk, maaf..."
Haechan tertegun, menatap balik Joa yang pucat pasi. Selama beberapa saat, ia merasa mati rasa. Di satu sisi ia tidak terima, tapi di sisi lain dia merasa mungkin memang harus begini jalannya. Lagi pula semua sudah telanjur, tidak ada gunanya emosi sekarang. Akhirnya ia tersenyum, memegang punggung tangan Joa.
"Mungkin butuh waktu untuk memaafkan," ucap Haechan. "Yang jelas, kalau tujuannya ternyata biar aku menjauh—maaf, aku nggak bis--"
Bunyi dering ponsel memutus perkataan Haechan. Itu ponsel Joa, ia langsung gelagapan mencari benda itu di tasnya.
"Ah—astaga, sial," umpat Joa saat melihat ponselnya. "Orang tuaku ternyata tau, mereka sekarang udah ada di lantai dasar rumah sakit."
"Tapi—" Haechan merasa masih ada yang ingin dia katakan.
"Hyuk, aku tau mungkin aku nggak pantas dimaafkan," tatapan Joa melembut. "Tapi aku nggak tau harus bilang apa lagi. Aku menyesal terlalu pengecut untuk bilang dari awal. Sekarang kamu akhirnya tau semua, semoga kamu bisa benci aku selamanya."
Benci?
Mendengar kata itu, Haechan kemudian justru tersenyum sarkastik.
"Jadi dari awal cuma itu tujuannya? Kebencian?" ia bertanya. "Percuma, aku nggak membenci siapa pun. Bahkan semarah apa pun, aku nggak akan benci –apalagi selamanya. Tuhan pemaaaf, apalagi kita yang cuma manusia?"
Lim Joa terdiam mendengar ucapan Haechan yang tidak terduga. Ia kira anak itu akan marah lalu meninggalkan tempat ini sekarang juga dengan penuh emosi. Tapi rupanya tidak, dan kenyataan itu justru makin membuat Joa tertegun. Hyuk-nya sudah mulai tumbuh dewasa.
"Ah—sebentar lagi pasti keluarga noona sampai. Aku harus menyingkir, kan?" tanya Haechan.
"Ya. Kalau mereka tau kamu ada di sini, bisa makin rumit masalahnya," Joa tersenyum kaku.
Haechan menghela nafas, mengangguk-angguk menatap gadis yang bersandar lemah di ranjang pasien. Orang yang pernah sangat disukainya, tapi setelah semua ini? Haechan rasa tidak lagi. Ia mundur, menjauh dari tepi tempat tidur rumah sakit.
"Oke, aku pergi dulu. Semoga kita bisa ketemu lagi lain kali," ucap Haechan.
Hanya anggukan lemah yang menjawab pamit Haechan. Kedua mata Joa masih terpaku pada laki-laki yang lama ia anggap adiknya sendiri sampai sosok Haechan berdiri di balik bayang-bayang pintu yang tersembunyi. Tak lama kemudian sekelompok orang datang, dilihat dari penampilan dan kecemasan di wajah mereka sudah jelas kalau mereka keluarga Joa. Pintu segera ditutup dari dalam begitu semua orang masuk ke dalam ruangan.
Dengan langkah gontai Haechan menjauh dari pintu yang sudah ditutup. Kepalanya tertunduk, menatap kosong lantai rumah sakit yang bersih dan berbau sanitizer. Ia berjalan lurus, menuju Lee Taeyong yang sejak tadi memerhatikan gerak-geriknya. Saat mereka sudah saling berhadapan, Haechan mengangkat wajahnya. Melihat wajah Taeyong, jari-jari tangannya reflek mengepal erat, rahangnya juga mengeras.
Tapi kemudian dari mulut Taeyong keluat sebuah kata. Hanya satu, tapi terdengar sangat tulus. Kata yang selama ini begitu ingin Haechan dengar dari mulut Taeyong;
"Maaf..." ucap Taeyong lirih.
[tbc]
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilarious ✔
General Fiction❝Ketika cinta pertama sang vokalis band jatuh kepada fansite master-nya.❞