19

11.1K 2.8K 778
                                    

Bandara adalah salah satu tempat yang paling sering disambangi Haechan, tapi seumur hidup belum pernah Haechan berlari seperti orang dikejar setan di tengah kesibukan bandara. Bukan hanya sekali telinganya menangkap gerutuan orang-orang yang tidak sengaja tersenggol atau tertabrak langkahnya yang liar. Benaknya hanya tertuju pada satu objek, Lim Joa.

Ia berhasil membujuk supir keluarga Lim untuk mengantarnya ke bandara. Masih ada waktu, pria itu bilang. Sepertinya ia menyesal karena sekarang terpaksa terseok-seok mengejar Haechan berlari menuju tempat yang ia tunjukkan. Tenaga tuanya tidak bisa mengimbangi energi kaki panjang Haechan.

Semakin dekat semakin sepi, jelas terasa perbedaannya menuju area ruang tunggu untuk penerbangan 'tidak biasa' yang biasanya dipesan orang kelewat kaya. Akhirnya Haechan sampai, di belakang deretan bangku yang diduduki puluhan orang. Sementara pengantarnya terbatuk-batuk kehabisan nafas, mata Haechan menyisir punggung demi punggung, mencari sosok Joa.

Kegelisahan mulai merayapi Haechan saat sadar yang ia cari tidak ada. Sudah pergi kah? Apa Haechan terlambat?



Baru saja ia mau protes pada pria paruh baya yang memberinya harapan kosong, Haechan dikejutkan oleh sebuah suara yang familiar. Ya, suara itu memanggil namanya.

"Hyuk?"

Hanya satu orang yang memanggilnya begitu. Hyuk --kependekan dari Donghyuk, tentu saja. Sebutan itu hanya diberikan oleh satu orang, Lim Joa.

"Noona," gumam Haechan lirih, balas menatap gadis yang berdiri hanya beberapa langkah di belakangnya.

"Kamu... Kamu ngapain di sini?" tanya Joa, jelas kebingungan. Sekilas ia melirik supirnya, pria itu hanya mengangkat bahu sambil masih ngos-ngosan.

Antara kesal dan lega, Haechan mendekat pada Joa yang masih berdiri dengan mulut agak terbuka.

"Untung masih sempat ketemu," Haechan tersenyum getir. "Kenapa pesawatnya?"

"Delayed," jawab Joa singkat. "Kenapa kamu bias ke sini?"

"Tadi aku ke rumah, bukan mau apa-apa kok," kata Haechan buru-buru karena Joa tampak tidak senang mendengar laki-laki yang sudah ia anggap adik itu mendatanginya di rumah orang tuanya. "Cuma mau kasih ini."

Lim Joa terhenyak melihat Haechan mengeluarkan sekotak cokelat dan buket bunga yang agak berantakan dari dalam ransel.

"Ini... maksudnya apa?" tanya gadis itu.

"Yah, bunganya jadi rusak," Haechan terkekeh. "Kenapa kaget gitu sih? Normal kan adik kasih hadiah ke kakaknya?"

"Hyuk... aku..."

"Harusnya noona bilang kalau mau pindah ke Kyoto, jadi aku bias kasih kenang-kenangan yang lebih pantas," potong Haechan. "Tadinya aku cuma mau memastikan noona udah sehat dan nggak sakit lagi."

Tanpa Haechan duga sebelumnya, dua bulir air menetes dari mata perempuan di hadapannya. Dia menunduk, menghindar dari tatapan Haechan. Hanya sekejap, ia lalu tersenyum dan menyingkirkan jejak air mata di pipinya yang kurus.

"Maaf," ujar Joa. "Aku sehat, kalau hati-hati dan nggak luka aku cuma perlu minum obat biasa, jangan khawatir. Dan soal Kyoto... maaf ini juga mendadak. Orang tuaku akhirnya tau selama ini aku jadi fansite master. Mereka bilang itu buang-buang waktu, umurku kan udah bukan remaja lagi. Mereka mau aku lanjut S2 di Kyoto."

Melihat Joa terkekeh tidak mengurangi kesedihan di hati Haechan. Ya, dia mulai merasa kehilangan. Haechan memaksakan diri ikut tersenyum.

"Yah, mereka ada benarnya sih," ucapnya. "Syukurlah kalau semua baik-baik aja. Aku cuma mau ketemu noona sekali lagi –untung belum terlambat."

Hilarious ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang