SATU (Bagian 1)

260 22 18
                                    

Norah Hutapea mengawasi putrinya yang sedang tersenyum sembari menempelkan gaun pengantin ke tubuhnya. Dua hari dari sekarang ia akan menikah, tepatnya di hari Minggu yang cerah, di musim panas yang menyenangkan. Senyum kecil kembali menghiasi bibirnya tatkala Matahari, putrinya yang lain masuk ke dalam ruangan dan bertanya "Apakah kau bahagia, Mama?" sembari memeluknya dari belakang.

Norah tidak menjawab ia hanya tersenyum seraya menepuk-nepuk tangan Matahari yang tersampir di pundaknya. Tentu saja, begitu batinnya menjawab. Pada akhirnya Magali, putri pertamanya, menemukan juga orang yang sesuai dengannya. Lembut, penyayang, dan perhatian dan tentunya mampu memenuhi syarat yang putrinya inginkan-tidak memaksanya untuk berhubungan badan sebelum ikatan disyahkan.

Kuno, puritan, ketinggalan jaman. Begitu kata orang. Bukankah di masa sekarang sudah jamak gadis-gadis kehilangan keperawanan di usia belasan? Tetapi, Norah tak ambil pusing. Mereka tidak tahu saja apa yang dialami putrinya. Andai mereka tahu alasannya tak mungkin asal bicara, pikir Norah prihatin setiap kali mendengar ocehan yang sama.

Magali tumbuh dalam limpahan cinta kedua orang tuanya yang berbeda kebangsaan. Sang Ayah, Christian Hutapea adalah seorang koki asal Indonesia yang jatuh cinta dengan Norah Hamilton, seorang pelanggan restoran tempatnya bekerja di Portland. Mereka menikah setahun setelah berhubungan. Perbedaan usia-Norah lebih tua tujuh tahun dari Christian Hutapea-juga suku, adat, dan budaya tak menjadi persoalan bagi keduanya.

Di kampung halamannya, di tepi danau toba, Christian mengikat janji sehidup semati dengan Norah dengan restu seluruh keluarga. Tahun berikutnya lahir bayi cantik bernama Magali Hutapea. Sementara adiknya, Matahari Hutapea, lahir enam tahun kemudian.

Merasa tak cocok dengan pergaulan ala barat yang cenderung bebas, Chris yang memang lahir dari keluarga relijius selalu menyelipkan nasehat pada kedua putrinya agar pandai menjaga diri sedari kecil. Jangan sampai ada pria yang menjamah mereka sebelum waktunya.

"Memangnya kenapa, Papa?" tanya Magali suatu saat ketika mereka berjalan-jalan di taman. Waktu itu usianya mencapai sepuluh tahun.

"Karena itu dosa, sayang."

"Kalau begitu kapan dibolehkan?"

"Nanti, kalau kau sudah dewasa dan syah jadi istri seorang pria."

"Lalu yang akan terjadi jika aku melakukannya sebelum waktunya, Papa?"

Bertepatan dengan itu seorang gadis belia muncul sambil membawa bayinya yang sedang menangis. Usianya tak lebih dari lima belas tahun, penampilannya acak-acakan, seperti seorang gelandangan. Gadis itu nampak gusar karena bayinya tak mau diam meski ia sudah berusaha menenangkan. Seorang ibu yang iba mendekat. Dengan suara ramah ia meminta agar gadis itu membiarkan ia menggendongnya. Disentuhkannya jari telunjuknya ke bibir si bayi, tanpa diduga si bayi lahap mengemutnya.

"Kurasa dia lapar. Apakah kau sudah memberinya susu?"

Gadis itu terdiam, matanya berkaca-kaca. "Belum, Nyonya."

"Kenapa?"

"Aku tak punya uang untuk membeli susunya. Susunya habis kemarin malam."

"Apakah air susumu tak keluar?"

Tak ada sahutan, hanya isakan keluar dari bibirnya.

"Dimana rumahmu, akan kuantar kau pulang."

"Aku tak punya rumah, Nyonya. Aku hidup di jalan. Aku diusir orang tuaku saat mereka tahu aku hamil empat bulan."

Chris, dalam keprihatinannya atas nasib gadis belia itu, menurunkan tubuhnya hingga sejajar dengan Magali. Bisiknya ,"Nak, itulah yang akan terjadi padamu jika kau melakukannya sebelum waktunya."

MAGALI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang