DUA (Bagian 1)

105 11 8
                                    


    Magali telah benar-benar sendirian saat pandangannya tertuju pada foto yang terpajang di meja kecil samping tempat tidurnya. Foto itu diambil tahun lalu ketika ia dan Russell William, kekasihnya, menikmati akhir pekan di mount Ashland bersama kedua belah keluarga. Berlatang berlakang hamparan salju mata mereka bertemu, penuh cinta.

    Magali masih ingat, di sanalah Russell melamar dan meminta kesediaan Magali untuk menjadi istrinya di hadapan seluruh keluarga. Kala itu Magali tak sanggup berkata-kata, hanya mengangguk sambil berurai air mata.

    Bertahun-tahun lamanya Magali sendirian. Bukan karena tak ada yang menginginkan, malahan sebaliknya. Banyak sekali pria yang mengajak kencan tetapi langsung undur ke belakang begitu tahu apa yang Magali syaratkan—tak boleh menjamah hingga mereka sampai ke pelaminan. Kalaupun ada yang nekat menerima syarat itu paling lama hanya bertahan enam bulan. Lalu memutuskan untuk hengkang ketimbang lama-lama berdiam diri tanpa bisa “melakukan kegiatan apapun” layaknya pasangan kekasih.

    “Kau gila? Masakan berpacaran isinya hanya diam-diaman dan saling pandang?! Seharusnya kau hidup seratus tahun lalu!” gerutu Ted Danson, pacar Magali di tahun keduanya di Southern Oregon University (SOU).

    “Dasar cewek aneh! Bercinta itu hal lumrah buat pasangan kekasih, tahu?!” lontar Chris Bannister, kekasih kedua Magali, enam bulan jelang kelulusannya dari universitas itu.

    Magali tak pernah menyesal mereka pergi. Ia percaya satu hari nanti akan ada pria yang memahami keteguhannya dan menunggu untuk bisa mereguk manisnya madu cinta hingga saatnya tiba.

    Magali lalu menyibukkan diri di restoran Indonesia yang dirintis Ayahnya dan tak lagi memikirkan cinta. Kumbang-kumbang yang datang dan pergi, berusaha menarik perhatian dengan berbagai cara ia abaikan. Tak heran bila kedinginannya membuahkan gosip kalau ia perempuan frigid dan macam-macam lainnya, yang jika didengarkan hanya akan memanaskan telinga dan mendidihkan kepala. Magali tak ambil pusing. Mereka tidak tahu saja apa yang kualami sebelumnya, katanya dalam hati.

    Hingga tiga tahun silam. Ia berjumpa dengan Russell William di satu sore pertengahan musim semi. Ia tengah asyik menikmati secangkir kopi panas di Bloomsburry Coffee House saat seseorang mngejutkannya dengan tepukan di bahu. Caranya menyapa terdengar seolah mereka kenalan lama, hingga membuat Magali menoleh dan berpikir memang demikianlah adanya.

    Ternyata bukan.

    Magali tercengang. Mereka tidak kenal. Alih-alih mengirimkan pandangan “Siapa Tuan?”, Magali justru mengangguk kecil diikuti seulas senyum tipis. Menyadari kesalahannya, pria itu kelicutan. Ia segera mengucap maaf lalu melipir ke sudut ruang. Tak berapa lama seorang wanita, setinggi dirinya dengan rambut yang sama ikalnya muncul dan menyapa.

    “Hai, Russell!” senyum wanita itu terkembang.

    Pria bernama Russell itu melambaikan tangan. Sesaat kemudian mereka terlibat percakapan, sementara di tempatnya Magali menggeleng-gelengkan kepala.

   

    Ia sudah melupakan peristiwa itu hingga di pertemuan kedua. Kala itu Magali tengah menghadiri pesta perkawinan seorang teman. Ia sedang mengambil minuman ketika seorang pria menyenggolnya. Isi gelas berhamburan, tetapi untunglah tak mengenai gaun Magali sama sekali. Magali terselamatkan tapi tidak dengan bibi si pengantin yang berdiri di samping gadis itu. Gaunnya yang indah basah oleh semburan air minum dari gelas Magali.

    Merasa bersalah, pria itu buru-buru minta maaf, terutama pada wanita paruh baya tadi. Beruntung wanita itu mahfum. Ia tak menyalahkannya dan justru berkata dengan santai ,”Ah, kau membuatku memiliki kesempatan mengenakan gaunku yang lainnya. Kau tahu anak muda, tadi aku batal memakainya karena katanya gaun itu terlalu bling-bling untuk acara siang hari. Dan terpaksa berganti dengan gaun warna salem ini.”

MAGALI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang