Bertahun-tahun lamanya Magali sendirian. Bukan karena tak ada yang menginginkan, akan tetapi banyak pria langsung undur ke belakang begitu tahu apa yang Magali syaratkan-tak boleh menjamahnya hingga ke pelaminan.
Tak heran jika banyak orang mengang...
Val rupanya harus kecewa. Sepekan setelah pesta piyama itu ia tak lagi melihat Preston. Liz bilang masa liburan kakaknya sudah habis, jadi sekarang ia kembali ke New York. Val mencatat baik-baik nama kota tempat Preston menuntut ilmu. Saban kali ia menuliskan di buku hariannya hendak kesana. Untuk apalagi kalau tidak menyusul Preston. Harapan Val terkabul saat seorang agensi model menawarinya kontrak kerja di usianya yang kelima belas. Val tidak berpikir dua kali. Satu karena agensi model itu sudah ternama. Dua, karena tempatnya berada di New York, tempat dimana Preston berada. Ia antusias memikirkan saban hari bisa bertemu sang pujaan. Ayahnya, yang sudah kehilangan seorang putra, tidak setuju. Ia ingin Val ada disisinya saja, tidak kemana-mana. Val berkeras untuk kesana. Tentu saja ia tak melakukan dengan cara menyerang sang ayah, melainkan merayunya. Ia katakan bahwa kota itu penting baginya. Sebagai model kariernya akan lebih berkembang disana ketimbang tinggal di Portland saja. Tak mempan. Ayah tetap tak mengijinkan. Ia lalu kembali dan mngingatkan ayah hari ketika ia berjanji untuk membahagiakannya.
"Aku mungkin tak bisa seperti kakak, tetapi aku telah berjanji untuk membuatmu bangga. Dan inilah caraku melakukannya, Ayah."
Ayahnya diam. Ia tersentuh mendengarnya. Selanjutnya semua menjadi mudah. Ijin segera dikantonginya. Dan Val tersenyum lebar. Terbayang olehnya, betapa nikmat bergandengan tangan menyusuri jalanan di kota New York bersama Preston.
Di hari pertama kepindahannya, Preston mengajaknya makan malam. Val senang sekali dan langsung mengiyakannya. Senja sudah usai ketika ia mematut diri di kaca, bayangan menikmati makanan di satu restoran di bawah cahaya temaram lilin membuat gadis itu bersiul-siul riang. Ia bahkan masih bersiul-siul saat Preston menjemputnya.
"Kita akan kemana?" tanya gadis itu seraya membayangkan restoran-restoran ternama di New York yang pernah ia dengar.
Bayangannya pupus tepat ketika Preston berujar "Nah, kita sudah sampai!" sambil melebarkan tangan.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tempat yang dimaksudkan Preston adalah cafetaria dekat kampusnya. Tempat mahasiswa nongkrong dan bercengkrama karena terjangkau kantong mereka. Val menelan ludah. Ini tidak sesuai bayanganku sama sekali, katanya dalam hati. Tetapi, karena Preston yang mengajak ia tak mengatakan apapun. Ia hanya menyunggingkan senyum dan menelan kekcewaannya dalam-dalam. Ketika masuk ke dalam beberapa orang menyapa mereka. Salah satu bahkan bersuit kurang ajar.
"Hei, Preston! Siapa dia?" ucap salah seorang pria, nadanya menggoda.
Preston hanya geleng-geleng kepala. Ia melirik Val dan matanya berkata ,"Abaikan saja, mereka gila!".
"Pacarmu ya?" si penanya masih mengejar.
Iya! Val berharap Preston menjawab demikian. Ia kecewa saat pria itu menjawab ,"Bukan. Dia adikku. Kenapa? Kau suka dengannya? Ah, mengacalah sana! Mana mau dia denganmu yang dekil itu!"
Seisi restoran tertawa dan Val adalah perkecualian. Ia tak senang mendengar Preston mengatakan ia adiknya. Ia mau dianggap pacar. Namun hati kecilnya menenangkan. Katanya ,"Santai saja. Akan tiba saatmu diakui sebagai kekasihnya."