Saat tersadar, aku sudah berada di rumah sakit. Selang infus terpasang di pergelangan tangan kanan. Selang oksigen terpasang di hidung, memaksa oksigen untuk masuk ke dalam paru-paru. Napasku terengah karena dada ini terasa begitu sesak. Pandangan masih buram. Kepala rasanya begitu sakit, seperti ada yang memukulnya dangan sangat keras.
"Nghh...." Aku merintih pelan.
"Kamu sudah sadar, Sayang?" Aku mencoba untuk membuka mata.
"Mamah...." gumamku pelan.
"Iya, ini Mama, Sayang." Mama mencium kedua pipiku dengan penuh sayang. Aku tersenyum bahagia, melihat Papa yang berdiri di belakang Mama sambil mengusap bahu Mama lembut. Apa aku sedang bermimpi? Jika sedang bermimpi, tolong jangan pernah bangunkan aku.
Mama kembali mencium kedua pipiku. Ternyata ini nyata, aku sedang tidak bermimpi. Kedua orangtuaku akhirnya bersatu kembali. Tapi kenapa harus dalam keadaan seperti ini?
"Jangan nangis!" Aku berusaha mengangkat tangan, ingin menghapus air mata di pipi Mama. Mama yang tahu mendekatkan wajahnya ke tanganku, memejamkan kedua mata saat tangan ini berhasil menghapus air matanya. Hatiku teriris melihatnya. Aku tidak suka melihat Mama menangis, apalagi penyebabnya adalah aku.
Seorang perawat datang lalu memasukkan sesuatu ke dalam infus. Rasa kantuk tiba-tiba menyerang, aku pun kembali terlelap.
Aku tertidur selama beberapa jam. Dokter sengaja memberi obat tidur agar aku tidak merasakan sakit untuk sementara waktu. Saat terbangun, kulihat Papa dan Mama duduk berdampingan di sofa yang ada di ruanganku. Mereka berdua tampak saling menguatkan. Sepertinya Papa dan Mama sudah tahu tentang penyakitku. Siapa yang memberitahu mereka? Apa mungkin Sehun?
"Ma...." panggilku pelan. Mama pun segera menghampiriku.
"Ada apa, Sayang? Kamu ingin sesuatu?" Mama mengusap kepalaku lembut.
"Aeris haus."
Mama segera mengambil air mineral yang ada di atas nakas, dengan penuh pengertian membantuku minum.
"Makasih."
"Kamu ingin apa lagi?"
Aku menggeleng pelan sebagai jawaban.
Kedua mata Mama tampak berkaca-kaca. "Maafkan Mama, Sayang. Mama begitu egois hingga tidak tahu jika kamu sedang sakit. Maafkan Mama, Aeris." Mama terisak pelan.
"Siapa yang memberitahu Mama dan Papa jika Aeris sakit?"
"Papa menemukan surat yang kamu taruh di atas meja kerja Papa." Papa mengusap sudut matanya yang berair. Inilah alasan kenapa aku tidak ingin memberitahu Mama dan Papa tentang penyakitku. Aku tidak ingin melihat kesedihan di wajah mereka.
"Mama jangan nangis. Kalau Mama nangis, nanti Aeris juga ikut nangis."
Mama mengusap air matanya, mencoba tersenyum kepadaku. "Mama tidak akan nangis lagi," kata Mama membuat perasaanku menjadi lebih tenang.
Ada satu hal yang mengganggu pikiranku saat ini. Bagaimana dengan pernikahan Papa? Apa Papa jadi menikah dengan Mariska?
"Papa tidak jadi menikah," ucap Papa tiba-tiba. Sepertinya Papa tahu apa yang menganggu pikiranku saat ini.
"Ke-kenapa? Apa karena Aeris?" Aku menatap Papa tidak enak. Papa tidak jadi menikah dengan Mariska pasti karena aku sakit. "Maafkan Aeris, Pa."
"Papa yang harusnya minta maaf sama kamu, Aeris." Papa menunduk dalam. "Papa telah gagal menjadi ayah yang baik buat kamu." Papa menatapku dengan penuh penyesalan. "Bahkan tangan ini ...." Papa mengangkat kedua tangannya. Wajahnya pias. Air mata itu meluncur begitu saja membasahi pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Teacher
FanfictionDewasa 21+ [Jangan lupa follow authornya] "Kamu benar-benar berengsek, Pak!" ~Aeris Ariana~ Apa jadinya jika seorang murid menyukai gurunya sendiri? [C O M P L E T E] Start, on 6 July 2018 End, 20 January 2019 Cover by @alousaury (Jangan lupa follo...