09

2 1 0
                                    

Laras sedang mencuci piring ketika tiba-tiba bel rumah berbunyi. Segera ia meletakkan piring yang masih bersabun itu kemudian mencuci tangannya. Tangannya yang masih basah itu ia lap-kan dengan bajunya sambil berjalan cepat menuju pintu utama.

Ting....tong....

Sekali lagi bel rumah berbunyi, membuat langkah Laras semakin cepat.

"ia sebentar!", teriak Laras.

Ceklek!

Suara kunsi terbuka terdengar. Laras manarik pintu besar bercat putih itu kemudian melihat siapa tamunya.

Seorang wanita tua yang memakai kebaya mewah dan rambut yang disanggul rapi, terlihat didepannya ketika Laras membuka pintu. Wanita tua itu terlihat sangat berwibawa dan berkelas, ditambah lagi dengan perhiasan mahal yang melingkar di leher, pergelangan tangan, telinga dan jemarinya yang keriput menandakan kalau wanita tua ini bukan orang sembarangan.

Apa lagi dengan tas yang tergantung di pergelangan tangannya yang Laras yakini berbahan kulit asli itu. Tatapan yang tajam walaupun dengan kerutan disekitar matanya mampu membuat Laras berjengkit.

"a-anda siapa?", tanya Laras gugup.

"apa begini cara anak Bramantio menerima tamu? Bahkan tamunya tidak dipersilahkan masuk!", celetuk wanita tua itu sinis.

Deg!

Darimana wanita ini tahu nama ayah kandung Laras?

"ma-maaf, silahkan masuk nek", jawab Laras mempersilahkan. Setelah nenek itu berada diruang tamu dan duduk dengan angkuhnya, Laras mengeluarkan suaranya lagi.

"ne-nenek mau minum apa?", cicit Laras. Kegugupannya masih belum menguap.

"jus tanpa gula", jawab nenek itu.

Laras mengangguk kemudian berjalan kearah dapur untuk membuat jus jeruk yang nenek itu minta. Tapi baru setengah jalan, suara Miora memenuhi gendang telinga Laras membuatnya berhenti sejenak dan menoleh lagi.

"Mama....!!!", Miora yang baru turun dari lantai dua karena mendengar bel rumah berbunyi, langsung berteriak girang ketika melihat siapa tamunya. Mama Miora.

"Miora kangen", ucap manja Miora sambil memeluk wanita tua itu. Mama-nya.

Wanita tua itu mengelus tangan anaknya dengan sayang sambil tersenyum. "bagaimana kabar kamu sayang", tanyanya.

"aku baik Ma"

Dan mulailah mereka bercerita panjang lebar, sedangkan Laras yang malas mendengarkan obrolan Mama-nya dan mungkin Nenek-nya itu langsung melanjutkan langkahnya menuju dapur.

"Ma, kapan anak sialan itu pergi dari sini sih", tanya Miora akhirnya setelah mereka membahas tentang Boby dan Terry.

"sabar sayang, Mama belum bisa yakinin Papa kamu untuk ngerubah keputusan hak warisnya yang kemungkinan besar akan diberikan untuk anak itu. kamukan tahu kalau Papa-mu sayang banget sama anak haram itu", jawab nenek itu.

"tapi Ma, aku udah gak tahan liat muka dia. Bawaannya mau mukul aja"

"ia Mama ngerti. Kalau Mama jadi kamu mungkin Mama juga udah ngelakuin hal yang sama kayak kamu", nenek itu mengelus lembut kepala anak kesayangannya itu.

"seandainya dulu Miora gak mabuk dan pria gila itu mencuri kesempatan, mungkin Miora gak akan seperti ini Ma. Seharusnya anak sialan itu gak ada didunia ini dan nama baik keluarga kita gak tercemar ya Ma", tutur Miora sambil mengenang masa lalunya.

PRANG!!!

Suara gelas kaca pecah terdengar hingga mengagetkan Miora dan Mama-nya saat itu juga. Laras? Jangan ditanya, dia kaget oh, shock lebih tepatnya, perasaannya hancur dan otaknya serasa kosong. Air matanya bahkan sudah meluncur deras saat ini hingga tanpa sadar tubuhnya melemas dan menjatuhkan gelas kaca berisi pesanan Nenek yang ia bawa dengan nampan.

Tanpa memperdulikan kedua orang yang katanya orang tua-nya itu, Laras langsung berlari keluar rumah. Sekuat tenaga dan sejauh mungkin, yang ada dipikirannya saat ini adalah menjauh dari semua orang. Ia tidak memperdulikan kakinya yang lecet tanpa alas kaki atau bahkan tatapan ingin tahu orang yang melihatnya.

Laras tidak perduli, ia hanya ingin lari dan lari. Lari dari semua masalahnya, lari dari semua kesakitannya dan kalau bisa ia ingin lari dari kehidupannya. Sakit, itulah yang Laras rasa saat ini.

Jadi, ini alasan Mama-nya tidak pernah menyukai Laras bahkan tega menyiksanya habis-habisan. Membencinya serta memperlakukannya seperti budak. Hanya karena harta dari Kakek yang bahkan tidak pernah Laras temui, Papa dari Miora yang entah dari mana sangat menyayanginya hingga menjadikan Laras sebagai pewaris hartanya, Laras masih dibiarkan menampung dirumah Miora walaupun harus menghadapi penyiksaan setiap saat. Dibiarkan hidup meski harus mengalami kematian hati berkali-kali. Menyedihkan!

Anak haram. Itulah yang selalu berdengung ditelinga Laras. Membuatnya yang kini sudah berada di taman kota yang jaraknya lumayan jauh dari rumah, menutup telinganya sambil membenamkan kepalanya didalam kedua lututnya yang ditekuk.

Hiks...hiks....

Tangis Laras tertahan dengan bahu yang bergetar hebat, beruntung taman kota tidak terlalu ramai dijam penghujung siang ini hingga tidak banyak yang memperhatikannya. Pikiran Laras kembali terngiang seputar percakapan Mama dan Nenek tadi. Ia tidak menyangka bahwa hidupnya akan semenyedihkan ini.

Sepertinya memiliki banyak musuh disekolah belum cukup untuk mengisi penderitaannya. Perlakuan buruk Miora, Boby dan Terry setiap harinya saja sudah membuat Laras ingin mati. Sekarang ditambah lagi dengan kenyataan kalau Laras adalah anak haram! Anak yang dihasilkan dari sebuah kesalahan dan hebatnya lagi dianggap perusak nama baik keluarga bahkan sebelum dirinya lahir.

Laras berdoa semoga malaikat maut dapat berbaik hati mencabut nyawanya sekarang juga. Karena Laras sudah tidak tahan, ia ingin mati saja saat ini.

Hingga sebuah tangan menyentuh pundak Laras, membuatnya sedikit tersentak dan langsung mendongak. Dengan mata sembab, merah dan dilengkapi dengan derasnya air mata, ia menatap si pemilik tangan itu.

"Laras", suara itu seperti sebuah angin sepoi yang langsung menyadarkan Laras oleh tindakan konyolnya yang menangis seperti orang gila di tengah taman seperti ini.

"Landa", gumam Laras pada cowok yang kini sudah duduk dihadapannya. Ya, dia adalah Landa yang entah dari mana bisa menemukan Laras disini.

"ka-kamu kenapa", masih terlihat jelas kepedihan yang Laras rasakan, walaupun Landa tidak mengerti kenapa Laras bisa seperti ini tapi dengan melihat penderitaan dimata Laras, membuat hatinya tercubit dengan sangat kuat seakan ingin merobek dan menghancurkannya.

Laras tidak bisa menjawab pertanyaan Landa, suaranya tercekat ditenggorokan dan tidak dapat mengeluarkan sepatah katapun. Hanya tangis yang semakin hebat ini lah yang dapat ia keluarkan. Kembali ia menenggelamkan kepalanya di lipatan lututnya dengan badan yang bergetar hebat. Tangisnya semakin pecah dan ia tidak ingin orang lain melihatnya.

Tiba-tiba Landa menarik kedua pundak Laras kemudian mendekatkannya pada dada bidangnya. Landa memeluk Laras sambil mengusap punggung Laras, ia berusaha memberikan ketenangan untuk wanita yang terlihat sangat menderita ini.

Bukannya berhenti menangis, Laras justru semakin deras mengeluarkan air matanya, Landa semakin erat merengkuh tubuh lemah itu hingga suaranya tertahan didada bidangnya. Landa tidak perduli jika bajunya basah karena air mata atau lendir ingus sekalipun. Yang ia perdulikan hanya Laras, wanita yang sudah memberikan getaran dijantungnya beberapa hari ini.

Laras meremas ujung kaus Landa seakan itu adalah tali yang dapat menyanggah hidupnya. Menguapkan kesedihannya dengan tangis yang meledak. Laras tidak perduli, pikiran dan hatinya terlalu kalut untuk memikirkan posisi-nya yang sangat menyedihkan.

Papper umbrella (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang