Tubuh Laras masih terasa berat dan lemah ketika kakinya memasuki kawasan sekolah yang masih sepi. Ditemani dengan hembusan angin pagi yang dingin, Laras semakin engeratkan sweeter merah muda ditubuhnya karena hembusan angin kecil itu bahkan bisa membuat Laras menggigil kedinginan.
Ini berbeda dari hari biasanya ketika ia selalu menikmati suhu pagi. Tapi karena tubuhnya yang tidak sehat itu, membuat angin kecil itu terasa seperti badai ditubuhnya.
Kepala Laras masih berdenyut ketika ia sampai dibangkunya, meletakan tasnya diatas meja kemudian menjatuhkan kepalanya diatasnya.
Kalau bukan karena kehujanan saat pulang semalam, Laras mungkin tidak sakit seperti sekarang. Dan juga pria gila yang memeluknya tiba-tiba di halte bus itu, mungkin Laras tidak nekat pulang jalan kaki dan sialnya ditengah jalan hujan tiba-tiba turun dengan deras dan tidak ada tempat Laras untuk berteduh. Ia harus segera pulang sebelum Mama atau adik tirinya pulang sebelum dia.
"lo gak papa?", tanya Landa ketika melihat Laras yang tiba dengan wajah pusat dan lemas.
"gak papa", jawab Laras dengan kepala masih terbenam dalam tas.
Laras tidak tahu alasan Landa sering datang lebih pagi beberapa hari ini. dan Laras juga tidak perduli dan merasa tidak perlu menanyakan alasannya selama ini, yang ia lakukan hanya menganggap Landa seperti yang lainnya. Angin lalu.
"kayaknya lo sakit, wajah lo pucat banget tadi", Landa masih keras kepala dan khawatir melihat Laras hari ini yang berbeda dari biasanya.
"bukan urusan lo", jawab Laras kemudian memalingkan wajahnya menghadap dinding dan tidak mendengarkan suara Landa yang semakin membuat kepalanya semakin pusing.
Waktu terus berjalan tanpa Laras sadari, di tengah kondisi badannya yang sangat tidak enak itu, ia tidak perduli dengan teman-teman sekelasnya yang mulai pada datang dan menempati bangkunya. Mereka seperti biasa, sibuk dengan urusannya sendiri dengan bergosip ria tentang apapun yang jelas Laras tidak perduli.
Pelajaran pertama dimulai seperti biasa, guru datang dan mulai dengan menerangkan materinya. Tapi dengan kondisi tubuhnya yang sangat tidak mendukung untuk mengikuti pelajaran itu membuat Laras mau tidak mau mengangkat malas kepalanya menghadap papan tulis dengan bantuan kedua tangannya yang sengaja ia gunakan untuk menopang kepalanya menghadap depan.
Walaupun kepalanya serasa ingin pecah dan berdenyut keras, tapi Laras tetap tidak bisa menunjukkannya pada siapapun, ia tidak ingin pergi ke UKS karena ia yakin disana hanya akan menjadi bahan bullyan cewek lainnya yang sewaktu-waktu dapat memperparah keadaannya.
Hingga akhirnya bel istirahat berbunyi, Laras bangkit dengan malas dari mejanya. Ia berencana ingin bolos kelas dan menghabiskan waktunya diatas rooftop sekolah. Saat ini itu adalah tempat yang bisa Laras pikirkan, setidaknya disana adalah tempat yang paling jarang didatangi orang. Dan Laras bisa menghabiskan waktunya disana dengan tenang.
tapi ketika Laras masih sampai dikoridor kelas dengan langkah yang sangat tertatih lemah sambil menahan kepalanya yang berdenyut, sebuah tangan tiba-tiba mencengkram tangan Laras dan menariknya hingga membenturkannya kedinding. Saat itu, tubuh Laras serasa semakin rontok dan sakit.
Dengan wajah pucat dan mata sayu, Laras menatap sipelaku didepannya yang terlihat menahan kemarahannya.
"Danial",lirih Laras.
Tidak seperti biasanya, wajah yang biasanya tersenyum hangat dengan sejuta cinta yang biasanya Laras lihat tidak tampak kali ini. digantikan dengan wajah memerah menahan amarah yang bisa kapanpun meledak tak terkendali.
Ekspresi itu, ekspresi yang tidak pernah Laras lihat sebelumnya. Walaupun Laras pernh melihat Danial marah sebelumnya, tapi aura kemarahan Danial hari ini tidak dapat Laras temukan kadarnya. Membuat bulu kuduk Laras menegang tanpa sadar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Papper umbrella (End)
Teen FictionBagi Laras, cinta itu sabar. Ia, sabar menerima Danial menjadikannya urutan terakhir dalam segala hal.