Author's POV
Sore itu sama seperti sore-sore sebelumnya. Illana mengurung diri di ruang musik.Sejak tadi ia sudah sibuk menggesek biola milik sekolah yang sudah sering dipinjamnya. Ia berlatih nada-nada dasar. Sekali-kali ia meringis karena tangannya lecet terkena senar biola.
Illana tersenyum senang. Latihannya hari ini membawa perkembangan yang baik untuk kemampuannya.
Andai saja papanya mengizinkannya bermain biola. Andai saja papanya mau menurunkan sedikit egonya, pasti Illana tidak harus sampai bermain sembunyi-sembunyi seperti ini.
Dan hasilnya pasti jauh lebih memuaskan, jika saja papanya mendukungnya.
Illana merapihkan barang-barangnya. Menyampirkan tas ke pundak lalu berjalan mendekati pintu. Ia membuka knop pintu perlahan. Ia heran kenapa pintunya tidak bisa dibuka.
Illana panik setelah menyadari sesuatu. Dia mencungkil, menarik, mendorong dan telah melakukan segala usaha untuk membuat pintu terbuka. Tidak ada yang berhasil.
Illana memukul-mukul pintu. Berteriak sekeras mungkin. Berharap-harap cemas akan ada seseorang yang mendengarnya. Kemudian menjambak rambutnya frustasi setelah menyadari ruang musik kedap suara.
Illana menangis pasrah. Mungkin ia akan terus terkurung disitu sampai esok. Sambil berharap orangtuanya akan datang mencarinya dan menemukannya diruang musik ini.
Tak peduli jika papa akan marah besar padanya. Ataupun jika papa akan memukulnya karena ketahuan berbohong dan berlatih biola setiap hari.
Yang penting mereka harus datang. Dan menjadi penolongnya saat ini.
Illana berjinjit dan menempelkan wajahnya pada kaca kecil yang agak buram disamping pintu.
Ia terus mengintai dari balik kaca. Berharap seseorang lewat dan melihatnya. Matanya melabuh pada sekumpulan anak basket di tengah lapangan.
Gadis itu melambai-lambai. Percuma. Tak ada yang menghiraukannya. Ia menatap penuh harap sambil menempelkan wajahnya ke kaca. Membuat kaca berembun setiap ia menghembuskan nafasnya.
-------------------------------------------
Deva's POVAku melempar bola basket itu ke udara lalu menangkapnya lagi. Aku mengulang-ulangi gerakan itu sambil berjalan ke ruang penyimpanan bola.
Sekolah belum benar-benar sepi. Di ruang cheers masih terdengar musik yang sesekali diiringi gelak tawa gadis-gadis centil yang beberapa diantara mereka hobi tebar sensasi.
Koridor yang aku lewati ini sudah tidak ada orang. Tak akan ada yang melewati koridor ini tanpa keperluan khusus. Letaknya memang agak ke belakang. Ruang penyimpanan bola berada diujung koridor ini.
Sebelum sampai ke ruang penyimpanan, aku melewati ruang musik. Tak ada yang istimewa dari ruangan itu. Isinya yah alat musik semua. Siapapun bebas menggunakannya.
Rumornya sih ruang musik itu agak "angker". Entahlah, tapi aku tidak percaya. Sampai hari ini, ketika melewatinya aku melihat sesosok didalam ruang musik.
Aku mengalihkan pandanganku. Ekor mataku menangkap kalau perempuan itu sedang melambai-lambai kearahku. Hiii seremm. Masa iya, hari ini aku ketemu hantu ruang musik?
"Duhh mba, jangan gangguin saya dong. Cuma lewat kok mau nyimpen bola. Bener deh. Saya gak akan gangguin situ"
Aku mempercepat langkah ke ruang penyimpanan. Mengambil kunci dikantong kananku. Lalu membuka pintu ruangan.
Semua ruangan disekolah ini sudah dikunci setiap jam 5 teng. Semua siswa harus tahu itu.
Hanya saja, aku kan kapten basket jadi diberi kepercayaan sama pak Warto untuk memegang kunci cadangan ruang penyimpanan.
Setelah menyimpan bola, aku bergegas mengunci pintu kembali. Kemudian teringat bahwa aku akan melalui lagi ruangan musik berhantu tadi.
Eh, tapi kok hantunya cantik? Godain dikit gapapa kali ya. Hehe, itung-itung balas dendam. Siapa suruh bikin gue kaget.
Aku memperlambat langkah saat hampir tiba di ruang musik. Aku menunduk dan memunculkan kepalaku secara tiba-tiba di kaca itu.
HAAAA!!!
Lihat, kan. Hantu itu berniat mengagetkanku, tapi dia yang kaget duluan. Aku menempelkan wajahku pada kaca kecil itu. Hantu itu terlonjak ke belakang dari tempatnya.
Aduh, percayalah. Saat ini aku terlihat seperti orang konyol. Untung sudah tidak ada orang. Bisa rusak reputasi ku disekolah ini jika mereka melihatku bertingkah bodoh begini.
Seorang Deva, most wanted di sma Taruna mengagetkan hantu ruang musik yang cantik.
Seharusnya , besok anak KIR (kelompok ilmiah remaja) membuat pemberitahuan bercetak tebal seperti itu di mading. Pasti menarik.
Perempuan didalam ruangan musik itu menempelkan kembali wajahnya ke kaca. Mata kami beradu pandang.
Eh, tunggu dulu. Sepertinya dia bukan hantu. Mata gadis itu sembab. Rambutnya acak-acakan. Cantiknya natural.
Dia mengisyaratkan sesuatu dengan gerakan mulut dan tangannya. Sepertinya dia terkunci di ruangan ini.
Aku berkata tunggu sambil mengisyaratkan dengan gerakan tangan. Aku berlari mencari Pak Warto, pemegang kunci sekolah.
Aku menemuinya di dekat gudang. Aku memberitahunya bahwa seseorang telah terkunci didalam ruang musik. Pak Warto kaget.
Katanya,kalau menguncui pintu ia tidak memperhatikan ruangan itu ada orangnya atau tidak. Kan semua siswa sudah tau peraturan bahwa pintu dikunci setiap jam 5 teng.
Artinya, mereka sudah seharusnya mengerti tidak boleh ada aktivitas dalam ruangan, sekitar jam itu.
Aku mengangguk-angguk saja mendengar penjelasannya.
Aku menginterupsi kalimat dan nasehat-nasehatnya. Kemudian memintanya bergegas memberikan kunci ruang musik kepadaku. Seseorang benar-benar membutuhkan itu saat ini.
Dia memberikanku kunci ruang musik. Aku berlari cepat menuju tempat dimana gadis itu terkunci. Membiarkan Pak Warto melanjutkan pekerjaannya.
-------------------------------------------
Illana's POVAkhirnya, ruang musik telah terbuka. Aku berterima kasih kepada siswa berseragam basket dihadapanku ini.
"Lo kenapa bisa terkunci di ruang musik sih? Untung ada gue. Tadi gue pikir lo itu hantu" katanya sesaat setelah membuka pintu.
"Eh, nanti aja ya ceritanya. buru-buru nih. Sekali lagi makasih banyak ya!" Ujarku kemudian berlari meninggalkannya.
Gerimis mulai turun. Semburat jingga tampak dilangit pertanda sore akan berganti malam.
Aku berteduh dibawah pohon besar di pinggir jalan. Jalanan sepi. Kendaraan hanya lewat sekali-kali.
Angkot yang ku tunggu-tunggu tak kunjung menampakkan diri. Pangkalan ojek pun sudah sepi. Tidak ada satupun ojek yang mangkal.
Rambutku mulai basah terkena tetes-tetes hujan yang mulai lebat. Aduhh, bagaimana ini? Mama pasti sudah sibuk mencariku.
Bagaimana aku akan pulang mendahului papa? Sudah jam berapa ini. Papa pasti sudah dirumah sejak tadi.
Aku berniat berteduh di warung mbok Iyem di pojok gerbang sekolah. Tapi, aku mengurungkan diri melihat warung mbok Iyem sudah dipadati siswa.
Rata-rata anak brandalan yang sedang ngumpul. Ada juga yang sedang asyik berpacaran. Semoga tidak ada yang berniat kesini menggangguku.
---------------------------------------------Hahahaha
Gimana gimana?
Semoga ini awal yg baik:'
Jangan lupa tinggalkan jejak guys
Vote + comment yaa!!
Kritik dan saran kalian itu sangat membantuu😊
Terima kasihh
KAMU SEDANG MEMBACA
Illana
Teen Fiction"Gue kasih kesempatan buat lo bilang makasih ke gue. Gue hitung sampe tiga" tantang cowok itu. Illana menggigit bibirnya. "Satu.." cowok itu mulai menghitung. "Dua.." ------------------------------------------------ Gila aja cowok itu! Hanya karena...