"Balik Sini dong, Illana,Tyas." Nabila memukul-mukul mejanya pelan berirama.
Tyas menyenggol bahu Illana pelan. Gadis itu tampak melamun. Illana tersentak tersadar dari lamunannya saat Tyas sudah lebih dulu membalik bangkunya ke belakang.
Illana mengikuti gerakan Tyas, demi makan bersama ketiga temannya.
"Nggak usah dipikirin. Si Deva emang gitu. Jailnya nggak ketulungan." Mata Illana membelalak mendengar penuturan Adel disamping Nabila.
Kedua temannya kembali terkikik mengingat gombalan receh Deva di kantin tadi. Tyas sendiri hanya tersenyum simpul.
Illana melengos malas mendengar topik yang dipilih teman-temannya. Kenapa harus tentang cowok itu sih?
"Jangan diambil hati, La." Adel menghentikan tawanya, kemudian menyikut Nabila supaya berhenti ketawa juga. Melihat ekspresi Illana, gadis itu jelas sekali sedang bad mood.
Illana terdiam sesaat. "Emang nggak kok." Illana menatap Adel dengan sebal.
"Asal mula Deva gangguin lo apa sih,La?" Kata Nabila. Dia menatap kepo ke arah Illana.
"Yah seperti yang dia bilang sendiri kemarin. Dia nolongin gue di ruang musik, terus diantar pulang. Gue nggak bilang makasih. Nggak nyangka hal se-sepele itu bisa se-fatal ini"
"Oh,gitu doang. Kok berkelanjutan ya?," Kata Adel. Kemudian menyuapkan kerupuk ke mulutnya.
"Lo tinggal temuin dia, terus bilang makasih. Udah kan? Kelar urusan." Tyas menatap Illana dengan kesal. Ia bosan dengan topik yang dipilih oleh teman-temannya.
Tyas tidak suka cowok itu. Melihat cowok itu terus-terusan menganggu sahabatnya, ia jengah sendiri.
"Nggak se-simple pikiran lo."
"Terus apa dong, La? Lo mau terus-terusan digituin sama tuh cowok? Kemarin bikin pernyataan konyol, hari ini pantun konyol, besok besok apalagi? Puisi? Bikin novel tentang kalian?" Tyas sewot sendiri.
"Tyas.." hanya keluhan itu yang bisa keluar dari mulut Illana. Gadis itu bingung mau menjawab apa. Suaranya tercekat di tenggorokan. Ia benar-benar sedang malas berdebat.
"Apa? Jangan-jangan lo udah baper ya, sama cowok itu?" Illana menggeleng cepat.
"Berapa kali gue harus bilang, La? Deva itu brengsek. Suka mainin cewek. Lo itu sahabat gue La! Please! Gue nggak mau sahabat gue dijadiin mainannya dia." Tyas sewot sendiri.
Lidah Illana terasa kelu, sulit sekali mengucap satu kata pun. Gadis itu memilih untuk tidak meneruskan perdebatan dan melanjutkan makannya. Palingan nanti mereka akan baikan dengan sendirinya. Toh, Ia dan Tyas tidak pernah tahan marahan lama-lama.
Nabila dan Adel saling bertatapan kemudian kompak mengangkat bahu. Bingung bagaimana harus menghadapi kedua teman mereka yang sama-sama keras kepala.
-------------------------------------
Semburat jingga membentang sejauh mata memandang pertanda akan datangnya malam. Cahayanya yang kemerah-merahan menelusup dibalik tirai pink yang bergoyang dan meliuk indah tertiup angin.Lampu-lampu jalan mulai dinyalakan menghiasi trotoar. Begitu pula dengan lampu-lampu dari rumah-rumah yang tanpa aba-aba dinyalakan satu persatu.
Illana bangkit dari duduknya dan menutup jendela yang sejak tadi dibiarkannya terbuka. Sekejap kemudian senja berlalu bersamaan dengan datangnya langit kelam.
Illana kembali duduk setelah menyambar salah satu novel dari rak bukunya. Gadis itu sibuk mencari halaman bacaannya sambil bertopang kaki dipinggir kasurnya yang empuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Illana
Jugendliteratur"Gue kasih kesempatan buat lo bilang makasih ke gue. Gue hitung sampe tiga" tantang cowok itu. Illana menggigit bibirnya. "Satu.." cowok itu mulai menghitung. "Dua.." ------------------------------------------------ Gila aja cowok itu! Hanya karena...