3.

5.5K 245 9
                                    

Perutnya melilit mulai dari pukul satu dini hari. Sri merasa tidak nyaman kalau harus membangunkan Kartono. Seharian ini suaminya itu tidak istirahat sama sekali. Diusapnya perut buncitnya perlahan, namun terasa semakin mulas kini.

Sri berusaha turun dari kasur Palembang tipis. Perlahan ia bangkit. Tiara tidur meringkuk menghadap dinding. Sri menyelimuti bocah kurus itu dengan kain jarik yang sudah pudar warnanya. Ah, andai ia bisa membelikan Tiara selimut bergambar Barbie yang dilihatnya tempo hari.

Diliriknya jam dinding bergambar salah satu klub bola dunia. Setengah tiga pagi.

Sri mengambil tas besar dari lemari plastik. Dua helai kain sarung dan sehelai dasternya ia masukkan ke dalam. Sri hanya mengira-ngira, andai benar mulasnya kali ini bukan kontraksi palsu, dan ia harus segera ke klinik terdekat, Kartono tidak perlu lagi menyusun pakaian mana nanti yang ia perlukan untuk melahirkan.

Ia ingat betul bagaimana paniknya Kartono saat ia akan melahirkan Tiara. Sebagai calon orang tua baru saat itu, mereka sama-sama belum punya pengalaman. Tidak ada sanak saudara yang mengingatkan apa saja yang sekiranya nanti diperlukan. Jadilah saat itu mereka membawa kain layaknya orang pindah rumah.

Selesai mengemas, Sri mulai merasakan mulasnya semakin menjadi-jadi. Pukul empat kini.

"Aduh, Mas ... bangun...."

"Hmmm, pukul berapa ini? Astaga, kenapa duduk di sana, Dek?" Kartono meraih pundak Sri, membantunya beringsut pada kasur Palembang yang mereka gelar di lantai.

"Aku mungkin sudah waktunya lahiran, Mas." Sri memejamkan mata, menggigit bibirnya. Kontraksinya semakin cepat sekarang. Sakit yang luar biasa.

"Aduh, piye ki, Dek. Jam segini Tiara kita titipkan sama siapa?"

Sri tidak menjawab. Wajahnya yang meringis menandakan ia sedang berusaha menahan rasa sakit itu.

"Yo wes, kita bawa aja." Kartono mengambil keputusan. Tiara dibangunkannya dengan sedikit paksaan. Gadis kecil itu menguap berkali-kali, mengucek matanya yang terasa perih.

Motor butut Kartono sampai di depan klinik Bidan Yanti. Tergopoh-gopoh Kartono menurunkan tas lalu menyandangnya pada bahu kiri. Sri yang sudah sangat kesakitan bergelayut pada lengan kanannya. Tiara mengikuti mereka dari belakang.

Sri segera mendapat pertolongan. Beruntung ada beberapa orang mahasiswi kebidanan yang sedang praktek lapangan di klinik Bidan Yanti. Salah seorang di antara mereka segera menghubungi Bu Bidan.

"Sabar ya, Bu. Sebentar lagi Bu Yanti datang."

"Saya sudah ngga kuat, Dek. Aduh, huft ... huft ... huft...."

"Sabar Bu, tarik nafas, ia seperti itu..."

Tak lama kemudian, Bu Bidan Yanti datang. Beliau dengan cekatan melakukan tindakan. Beberapa orang mahasiswi itu juga ikut membantu proses persalinan Sri.

***

"Mas, cantik ya. Mau kasih nama siapa ini bayi kita?"

"Hmm, Safira."

"Bagus, Mas. Aku suka."

Sri menimang bayi mungil itu dalam pelukannya. Ia bersyukur, semua berjalan lancar. Terlebih ketika mengingat dukun itu tempo hari. Sri bergidik. Ternyata Tuhan menyelamatkan bayi mereka. Ternyata benar, sang dukun belum bertindak sama sekali, syukurlah.

***

Hallooo... Setelah sekian lama akhirnya saya putuskan untuk update hari ini. Part ini sedikit sih dibanding part sebelumnya. Siap-siap ya, menunggu part selanjutnya. Benarkah bayi Sri akan baik-baik saja? Saya sih, kurang yakin, hehe...
Tunggu part selanjutnya. Terima kasih sudah mampir. Vote dan komen kalian sangat berharga buat saya, 😘

TELUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang