7.

5.1K 264 20
                                    

Wah, sepertinya tidak sampai harapan saya update setelah seratus viewers. Saya update part ini khusus untuk kamu yang setia nungguin.

Note:
Kisah ini ada unsur kekerasan yang tidak bisa saya hilangkan. Sebab akan berpengaruh pada karakter dan cerita. Be wise ya...
_________

"Eh, Mbah ... Mas Kartono sudah berangkat dari tadi. Belum sampai rumah toh?"

"Saya tahu. Saya ke sini mau mengantarkan ini."

Sebuah amplop cokelat terulur dari tangan lelaki itu. Sri bergeming, bingung. Takut-takut ia menatap amplop dan Mbah Bejo bergantian, hingga akhirnya mereka berdua beradu tatap.

"Ayo, ambillah."

Tangan Sri meraih benda itu. Sebelum berpindah tangan, lelaki itu kembali berujar, "Buka. Anggap saja ini upah suamimu hari ini."

Mbah Bejo masuk tanpa menunggu Sri mempersilakannya. Sri mengiringi lelaki itu. "Ayo, bukalah!"

Mata Sri terbelalak. Jujur saja, belum pernah ia memegang segitu banyak uang seumur hidupnya. Uang berwarna biru sejumlah seratus lembar, masih wangi dan terikat kertas bertuliskan nominalnya. Lima juta rupiah.

"Sebanyak ini, Mbah?"

"Itu masih belum seberapa. Aku bisa memberimu lebih." Lelaki itu berkata dengan suara pelan, namun sangat angkuh.

Sri mengerjap mencerna kalimat lelaki itu barusan.

"Jadilah istriku. Tinggalkan lelaki bodoh itu!"

Mbah Bejo melangkah lebih dekat pada Sri. Tatapannya mengintimidasi. Lelaki itu terus melangkah hingga Sri terpojok pada dinding. Tubuhnya yang cuma dilapisi daster tipis kini terjebak pada dinding beton. Dadanya naik turun merasakan hembusan nafas Mbah Bejo pada wajahnya. Aroma parfum itu menelusup memberikan sensasi aneh. Sri merinding mendapati sentuhan lembut pada daun telinganya lalu turun ke leher.

Perempuan itu memejamkan mata, menahan gairah yang entah sejak kapan tersulut, ikut bergemuruh. Ia menggigit bibir bawahnya. Mbah Bejo membaui dirinya. Sri menyadari ini tidak benar. Ingin rasanya ia berteriak. Tapi lidahnya seakan kelu. 

Nafasnya tercekat saat sentuhan lembut itu berubah menjadi cengkraman kasar pada tengkuknya. Lelaki itu menjambak rambut Sri hingga wajahnya tengadah. Lelaki itu makin berani ketika mendengar Sri meringis. Air mata mulai merembes dari kedua mata lelahnya.

"To ... long, le ... lepaskan."

Alih-alih melepas cengkramannya, lelaki itu mengulum bibir Sri yang bergetar. Ia ingin mereguk lebih banyak lagi dari perempuan itu. Sri meronta meski tanpa suara. Air matanya menganak sungai. Sekuat tenaga ia mendorong lelaki itu. Mbah Bejo terjerembab. Sri berlari ke kamar, mengunci pintu secepatnya. Perempuan mungil itu tersandar pada pintu, bergetar hebat karena tangis dan raung yang tertahan.

Di ruang tamu, Mbah Bejo yang hasratnya tidak tersampaikan murka. Ia menendang kursi plastik, satu-satunya perabot di ruangan itu.

"Dengar, Sri! Saya tidak pernah tidak mendapatkan apa yang saya inginkan. Termasuk kamu!"

Sri menutup telinganya. Tangisnya makin menjadi. Ia baru keluar dari kamar setelah mendengar deru mobil yang semakin menjauh meninggalkan kontrakannya.

Perlahan ia menuju ruang tamu. Amplop cokelat itu masih di sana. Demi apapun, ia memang sangat butuh uang saat ini. Haruskah dengan cara begini?

***

Kartono pulang menjelang Maghrib. Lelahnya terbayarkan sebab Mbah Bejo memberinya upah yang tidak sedikit. Satu juta rupiah untuk satu hari bekerja. Ia juga tidak harus mengeluarkan uang untuk membeli makan siangnya tadi. Mbah Bejo yang membelikan nasi bungkus dan rokok untuknya.

"Dek, baik sekali ya, Mbah Bejo itu. Aku nggak nyangka. Sudah dikasih upah banyak, makan siangku juga dikasih."

Sri hanya menanggapi cerita suaminya itu dengan ber hm... hm... saja. Entah mengapa tangannya menjadi begitu sibuk mengelap meja makan yang sama sekali tidak kotor.

"Tadinya pas aku nyampe, si Mbah langsung pamit. Ngga tahu mau kemana. Dia kok ya langsung percaya gitu loh, Dek, ninggalin rumahnya sama aku. Katanya ada urusan mendadak." Kartono menyulut sebatang rokok yang bertengger di bibirnya. Asap berbau nikotin memenuhi dapur.

Sri menelan ludahnya. Bimbang kini ia rasakan. Haruskah ia bercerita? Bagaimana reaksi Kartono jika kejadian tadi pagi ia sampaikan?

"Dek, Dek. Kowe ngga denger aku ngomong toh."

"Ya, apa Mas?"

"Tak bilang, lusa dibawa kerja lagi sama si Mbah."

"Ngga usah, Mas."

"Loh, kenapa toh? Kan lumayan. Banyak loh, Dek upahnya."

"Justru itu. Isin toh, Mas. Kerja sehari sampeyan dah dikasi sejuta."

"Rejeki, Dek. Bukan setiap hari kita bisa dapat rejeki kayak gini."

Asap kembali mengepul ke udara. Semakin lama semakin terurai, meninggalkan aroma yang menyesakkan dada Sri. Sesak yang tidak tahu harus bagaimana ia katakan.

***

Malam semakin larut. Kartono dan kedua putrinya sudah tertidur pulas. Namun perempuan itu masih tak bisa memejamkan mata. Bayangan Mbah Bejo menghantui pikirannya.

Terngiang ancaman lelaki itu padanya siang tadi. Yah, lelaki seperti Mbah Bejo memang selalu mendapatkan apapun yang ia mau.

Sri merapatkan tubuhnya pada Kartono, menutup wajahnya dengan bantal. Namun bukan hilang, bayangan kejadian tadi pagi semakin membuat dirinya sesak. Entah pukul berapa akhirnya ia terlelap.

Menjelang subuh Sri terbangun oleh suara Kartono yang muntah-muntah di kamar mandi. Cepat ia bangkit dan menyusul suaminya itu.

"Sampeyan masuk angin, Mas." Sri membantu Kartono duduk. Lelaki itu lemas. Sri dengan sigap menyeduh teh dengan jahe yang digeprek. "Sini, tak kerokkan."

Biasanya setelah kerokan Kartono langsung merasa baikan. Tapi pagi ini ia masih lemas saja.

***

Yok, main tebak-tebakan. Kira-kira Kartono kenapa ya... Tunggu cerita selanjutnya. 😘




TELUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang