Sudah tiga hari, keadaan Kartono belum juga pulih. Malah makin bertambah saja keluhannya setiap hari. Pagi ini Sri berhasil membujuk Kartono untuk berobat ke Puskesmas. Setelah melakukan beberapa pemeriksaan, Bu Dokter menyampaikan kesimpulannya.
"Kemungkinan Bapak kena DBD, Bu. Tapi untuk memastikan, ada baiknya Bapak tes laboratorium dulu."
"Tesnya di mana Bu Dokter?"
"Sayang sekali, Puskesmas tidak memiliki laboratorium. Ibu bawa Bapak ke Rumah Sakit besar saja."
"Kira-kira biayanya berapa Bu Dokter?"
"Saya kurang tahu persisnya berapa. Akan lebih baik kalau Ibu dan Bapak langsung saja ke Rumah Sakit."
Sri menarik nafas panjang. Rumah Sakit besar bagi orang seperti Sri dan Kartono terdengar sangat menyeramkan. Ia ingat ruangan di mana Rena pernah dirawat. Sri sendiri seumur-umur belum pernah berobat ke sana. Ke klinik pun hanya saat Sri melahirkan. Selebihnya ya seperti sekarang, Puskesmas menjadi pilihan. Ada banyak kesulitan yang mereka bayangkan jika harus berurusan dengan rumah sakit. Belum lagi biaya yang harus mereka tanggung.
Bu Dokter sepertinya menangkap kerisauan hati pasangan ini. Dengan bijaksana beliau menjelaskan kalau tes laboratorium tidaklah menyeramkan, tidak lama, tidak harus menginap, dan juga tidak semahal yang mereka pikirkan. Kecuali nanti jika hasil laboratorium menunjukkan bahwa Kartono memang seharusnya dirawat.
Dan di sinilah mereka kini. Di ruang tunggu laboratorium rumah sakit. Beberapa jam mereka menunggu hasil tes. Benar saja, Kartono memang positif demam berdarah. Juga disertai gejala typus.
Dokter menyarankan agar Kartono segera dirawat. Kadar hemoglobin dalam darahnya rendah. Jika dibiarkan, akan membahayakan keselamatan Kartono. Tapi dengan segala pertimbangan, pasangan ini memutuskan untuk kembali pulang saja. Apalagi mengingat sudah seharian penuh anak-anak mereka titipkan pada Bu Dhe Tatik. Sebelum pulang, Sri menebus resep obat yang diberikan Dokter.
***
Satu bulan setelahnya, Kartono tidak kunjung membaik. Keluarga mereka di kampung akhirnya menyarankan agar mereka pulang saja. Sulit memang menjelaskan keadaan mereka saat ini.Sri harus kembali bekerja. Nyuci gosok ke rumah-rumah. Tak jarang ia juga dimintai untuk bersih-bersih di sana. Juga mengurus kedua anak dan suami yang sedang sakit seorang diri. Kelelahan jelas terlihat di wajahnya.
Tiara saban hari juga harus kehilangan waktu bermain. Dia harus menjaga Safira jika Sri sedang tidak di rumah. Gadis kecil itu semakin pendiam kini.
Kartono juga seperti frustasi dengan keadaannya. Saban hari kerjanya hanya marah-marah, benci dengan ketidakmampuannya sebagai seorang ayah dan suami. Ia mengutuk tubuhnya yang semakin ringkih. Tak selera makan dan minum, hingga penyakit yang lainpun membersamai tubuhnya.
"Uhuk! Penyakit sialan!" umpatnya sambil menahan dada yang sesak karena batuk.
"Mas, makan dulu, habis itu minum obatnya." Sri berusaha membujuk lelaki itu.
"Halah! Percuma. Mati aja ini obatnya."
"Nyebut, Mas. Sampeyan ngga kasian sama aku dan anak-anak?"
Kartono menatap wajah lelah itu. Segala rasa berkecamuk di benaknya kini.
"Mungkin benar kata Ibuk. Kita pulang saja. Setidaknya di kampung kowe ngga capek sendiri, Dek. Ada Ibuk yang bantu."
"Pulang biayanya nggak sedikit, Mas."
"Kita terima saja bantuan Mbah Bejo. Bagaimana? Lagipula kenapa kowe ngga mau, Dek. Beliau orang baik."
Sri terdiam. Selama Kartono sakit, memang beberapa kali Mbah Bejo datang ke rumah mereka. Setiap kali datang, selalu meninggalkan amplop berisi uang dengan jumlah lumayan. Sri belum sama sekali menyentuhnya. Sebulan ini ia berusaha menghemat pengeluaran sebisa mungkin dari upahnya menjadi buruh cuci gosok di beberapa tetangga.
Sri membuka amplop-amplop itu. Totalnya dua juta rupiah. Ia juga teringat dengan amplop pertama yang ia sembunyikan dari Kartono. Dengan yang itu jumlahnya menjadi tujuh juta rupiah. Sri memantapkan hatinya. Ia akan 'meminjam' uang itu sementara waktu. Ia bertekad akan bekerja lebih keras agar bisa mengembalikan 'pinjamannya' itu.
***
Duh, kasian banget ya keluarga ini. Kira-kira Kartono bakalan sembuh nggak ya? Saya baper banget part ini. Terbayang bagaimana Sri harus banting tulang demi mencukupi kebutuhan keluarganya. Tunggu part selanjutnya ya... Kiss kiss... 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
TELUH
ParanormalRank #5 Paranormal / 30 Mei 2019 Sri merasa jengah dengan sikap Rena belakangan ini. Tagihan listrik mereka membengkak. Sementara Rena membeli peralatan "mewah" dan memakai listrik dengan semena-mena tanpa mau melebihkan pembayaran listrik. Kontraka...