6.

5.1K 281 12
                                    

Hallooo.... Akhirnya setelah tiga ratus tahun bersemedi saya update part ini, 😂😂😂. Maafkan atas keterlambatan ini. Saya ucapkan banyak terima kasih sudah sudi mampir dan memberi masukan pada tulisan saya. Enjoy...
_______

"Suamimu, ada?"

Sri mengerjap beberapa kali, meyakinkan diri kalau ia sedang tidak berhalusinasi. Tanpa menunggu jawaban, lelaki gagah itu masuk. Tentu saja tanpa melepas sepatu pantofel mahal dan mengkilap yang membungkus kaki pemiliknya. Angkuh dan ... tampan!

"Saya dengar suamimu bisa dimintai tolong apa saja."

"Be ... benar, Mbah. Eh, duduk dulu, Mbah. Silakan." Sri menarik kursi plastik mendekat pada lelaki itu.

"Tidak usah. Saya tidak mau lama-lama. Suruh suamimu ke rumah malam ini. Saya tunggu."

"Baik, Mbah."

Sri menutup pintu rumah dengan perasaan kacau. Lelaki itu, yang barusan meninggalkan rumahnya, Mbah Bejo. Dukun kondang kenamaan dengan keahlian mengirim 'penyakit'. Dan entah kenapa dia datang ke rumah Sri, menanyakan suaminya.

Sri bergidik sekaligus takjub. Bau parfumnya masih saja tertinggal setelah beberapa saat ia meninggalkan kediaman Sri. Tangisan Safira membuyarkan pikirannya. Bergegas ia mengambil bayi itu dan merapatkan bibir mungil itu pada dadanya. Safira menyusu dengan lahap dan kembali tertidur dalam pangkuan Sri.

***

Pukul setengah empat sore, Kartono kembali dari pasar. Lelaki itu segera membersihkan diri dan mengganti pakaiannya. Bergegas Sri menghidangkan sepiring nasi dan tumis kangkung. Segelas kopi panas pun tak lupa ia taruh bersamaan. Sri bersyukur suaminya itu sudah pulang dengan selamat. Sempat ia mengira-ngira kalau Kartono masih marah dan tidak akan pernah kembali. Kartono makan  dengan lahap meski hanya dengan lauk seadanya. Sri menatap pria itu antara perasaan kasihan dan bersalah.

"Ada apa?" Kartono hapal betul raut wajah istrinya itu jika sedang menyimpan sesuatu.

"Eh ... Aku ... minta maaf soal tadi pagi. Aku ngga punya maksud buat ..."

"Udahlah. Nggak usah dibahas." Kartono yang kelaparan tidak ingin merusak nafsu makannya. Lelaki itu segera menyuap nasi ke mulutnya. Sri menurut. Ia akhirnya hanya mengangguk dan menunduk sambil memainkan tutup cangkir. Pikirannya menerawang. Ah, ia ingat sesuatu. 

"Mas ... Tadi ada yang nyari sampeyan."

"Siapa?"

"Hmm ... Mbah Bejo."

"Mbah Bejo? Dukun sakti itu?" Sri mengangguk mengiyakan. "Ada apa?" lanjutnya.

"Ngga tahu. Ada kerjaan katanya. Coba aja sampeyan ke rumahnya. Mana tahu emang rejeki, bisa buat bayar kontrakan." Sri beringsut mengemas piring bekas makan Kartono. Sekilas diliriknya lelaki itu. Kening Kartono mengkerut menandakan pria itu tengah menerka ada apakah gerangan. Jika benar, pekerjaan apakah yang kira-kira akan diberikan Mbah Bejo padanya. Mengingat selama ini ia sama sekali tidak pernah berhubungan langsung dengan lelaki misterius itu. Jujur saja, ia bahkan tidak tahu seperti apa rupa lelaki yang terkenal sakti itu.

Sri membaca apa yang sedang dipikirkan Kartono. Tangannya mengelap tumpahan air dan ceceran nasi pada bekas tempat makan lelaki itu. "Coba aja, Mas. Tiara juga perlu uang buat bayar LKS dari sekolah," desaknya.

***

"Mas Kartono?" Mbah Bejo membuka pintu begitu Kartono sampai di depan rumahnya.

"Iya, Mas. Eh, anu ... " Kartono kikuk begitu mengetahui Mbah Bejo ternyata bukan lelaki tua seperti perkiraannya.

"Masuk, Mas. Saya tungguin dari tadi siang." Lelaki itu mempersilahkan Kartono masuk sambil terus menuju ke bagian belakang. Kartono mengikuti langkahnya, melalui beberapa ruangan hingga Mbah Bejo berhenti dan menunjuk salah satu sudut ruangan itu. "Di sana, Mas. Atapnya bocor. Saya minta tolong dibenerin besok."

Kartono menatap ruangan itu. Penerangan yang kurang membuat ruangan itu sedikit angker. Hawanya  dingin dan lembab. Mungkin karena kebocoran atap itu, menyempurnakan keangkerannya. Kartono bergidik menyadari itu.  Seketika bulu tengkuknya berdiri. Namun desakan ekonomi dan bayangan Sri yang mengeluh sepanjang waktu membuat ia menyanggupi permintaan Mbah Bejo. Ditepisnya prasangka yang terlanjur masuk ke pikirannya. Toh, esok hari ia akan memperbaiki atap siang-siang. Mana ada hantu siang hari. Senyum tersungging pada bibir hitamnya, menertawakan nyalinya yang menciut hanya gara-gara isu tentang lelaki di hadapannya ini.

"Saya tunggu besok ya, Mas." Mbah Bejo mengulurkan tangannya. Sebuah amplop diterima Kartono dengan raut bingung.

"Apa ini, Mbah?"

"Oh, ini untuk keperluan besok. Saya tidak sempat beli alat-alat atau bahan untuk itu. Saya sekalian minta tolong Mas saja yang belanjakan." Mereka bersalaman sebelum Kartono meninggalkan rumah itu.

***

Sri sudah tidur saat Kartono pulang. Kedua buah hati mereka juga lelap di kiri dan kanan ibunya. Safira masih enggan melepas puting susu ibunya, hingga bayi cantik itu masih saja menggelayuti Sri. Kartono menatap mereka bertiga dengan perasaan campur aduk. Bahagia karena memiliki mereka. Namun sedih mengingat dirinya belum juga mampu membahagiakan ketiganya. Diusapnya Tiara. Gadis kecil itu menggeliat karena terganggu dengan dengungan nyamuk-nyamuk yang sedang berpesta mencari mangsa. Kemudian kembali lelap setelah Kartono mengipasi ketiganya dengan karton bekas.

Kartono mengeluarkan amplop yang diberikan Mbah Bejo. Hati-hati ia menghitung helaian demi helaian lembaran merah itu. Dua juta rupiah. Rasanya kerusakan atap itu tidak akan menghabiskan setengah juta pun. Kenapa Mbah Bejo memberikan segini banyak uang? Ah, sudahlah. Setelah belanja ia akan mengembalikan sisa uang lelaki itu. Mata Kartono mulai mengantuk. Dibaringkannya tubuh lelahnya di samping Tiara. Cepat saja lelaki itu terbuai ke alam mimpi.

***

Seperti biasa, pagi-pagi sekali Sri sudah memulai aktifitasnya. Mumpung Safira masih tidur, ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah. Kartono sudah berangkat selepas menyesap kopi dan sarapannya, sekalian mengantar Tiara ke sekolah.

Sebuah mobil berhenti tepat di depan kontrakan mereka. Mbah Bejo keluar dari sedan hitam itu. Dengan menggunakan kaos hitam yang pas di tubuh kekarnya, celana jeans, dan sepatu skate, tidak seorangpun akan mengira lelaki itu berprofesi sebagai seorang dukun.

Sri yang sedang menyapu teras sedikit malu mendapati dirinya hanya menggunakan daster kumal dan belum mandi pula.

"Eh, Mbah ... Mas Kartono sudah berangkat dari tadi. Belum sampai rumah, toh?"

"Saya tahu. Saya ke sini mau mengantarkan ini."

***

Apakah kira-kira yang diantar Mbah Bejo? Saya tunggu sampai 100 viewer buat up kisah selanjutnya...

TELUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang