9.

5K 254 18
                                    

Rumah kecil sederhana itu semakin sempit setelah kedatangan Kartono dan keluarganya. Namun Mbah Mirah sangat bahagia bisa berkumpul dengan anak dan cucu. Satu hal yang sangat disyukuri oleh Sri, meskipun keadaan mereka jauh dari kata layak, setidaknya Tiara dan Safira terlihat 'berisi' sejak tinggal bersama Mbah Uti-nya itu. Tiara juga jauh lebih ceria. Mungkin karena di sini ia tidak lagi menjadi sasaran amukan ibunya.

Empat bulan tidak terasa sejak  Kartono memboyong keluarga kecilnya ke kampung. Desa Kartono memang sangat indah. Dekat dengan lautan, pantai yang berpasir putih, dan udara yang masih bersih. Penghidupan sebagian besar masyarakatnya adalah sebagai nelayan. Mbah Mirah bekerja di pelelangan ikan, tak jauh dari kediamannya. Meskipun upahnya minim, setidaknya ia tak perlu membayar sekantong ikan sortiran dari pelelangan untuk ia masak sendiri.

Sri sebetulnya betah di sini. Namun mengingat "hutang" yang terlanjur ia buat, Sri tidak ingin berlepas tangan begitu saja. Lagipula, ia merasa sudah terlalu lama menjadi tanggungan ibu mertuanya. Bagi Sri, selama ia masih kuat, rejeki Tuhan akan ia jemput kemanapun.

Untuk sementara, Kartono dan anak-anak tidak bisa kembali ke perantauan bersamanya. Meski berat, Kartono tidak punya pilihan lain. Besok pagi Sri akan berangkat dengan bus antar propinsi. Malam ini menjadi malam paling berat buat Kartono dan Sri. Tidak banyak yang mereka bicarakan. Sebab setiap kali bicara, kerongkongan Sri bagai tersekat. Dan bulir air mata entah bagaimana tak lagi terbendung, dan ia tidak suka itu.

Sri benci menangis. Baginya tangisan hanya untuk orang yang lemah. Wataknya keras ditempa kehidupan yang memang sejak kecil sudah ia lakoni. Hidup penuh kekurangan membuat wanita bertubuh mungil itu berlaku keras pada dirinya sendiri. Ia ingin dirinya setegar karang di lautan.
Diciuminya Tiara dan Safira bergantian. Kartono berusaha tegar, seulas senyum dan tatapan penuh makna. Tidak ada kata terucap. Sri meninggalkan mereka untuk kembali ke rantau.

***

"Eh, Sri kapan datang? Bagaimana keadaan suamimu?"

"Kemarin sore Bu Dhe. Mas Kartono sudah berangsur membaik."

"Oh, syukurlah." Bu Dhe Tatik membungkus belanjaan Sri dan menyebutkan sejumlah harga yang harus ia bayar. Sri menyerahkan lembaran uang dan bersiap untuk pulang.

"Loh, kok buru-buru amat. Duduk dulu, cerita-cerita."

"Lain kali Bu Dhe. Saya mau langsung ke rumah Mbak Erna."

"Langsung kerja? Mbok istirahat dulu, Sri."

"Ngga apa-apa Bu Dhe. Saya nggak enak lama-lama libur." Sri meninggalkan warung Bu Dhe Tatik, tersenyum kepada beberapa ibu yang juga sedang berbelanja di sana.

"Suami dan anak-anaknya nggak ikut balek loh Bu Dhe." Seorang pelanggan sayur Bu Dhe Tatik memulai gosip pagi mereka sambil melirik ke arah punggung Sri yang semakin menjauh.  "Dengar-dengar Sri lagi dekat sama Mbah Bejo," lanjutnya.

"Ah, masak iya. Mbah Bejo itu kan ganteng. Masak mau sama si Sri yang buluk begitu," ibu yang lain menanggapi.

"Ya kalo mau cakep cari lelaki yang berduit kayak Mbah Bejo. Entar diajak faisal, krembat, jadi cakep deh. Kinclong gitu. Sekarang aja si Sri kaya ibarat kaca, tapi berdebu gitu. Hahahaha...." Seorang ibu yang dandanannya menor menimpali sambil memilih beberapa sayur. Beberapa ibu ikut tertawa mengaminkan. Kecuali seorang perempuan yang baru saja datang. Rena.

"Ada apa sih, Bu. Rame amat. Saya ketinggalan gosip baru, dong."

"Ah, engga apa-apa Ren. Sri itu loh, cantik tapi nggak pernah dandan. Coba kalo dandan, kan banyak yang naksir." Ibu menor tadi menjawab.

"Nggak dandan aja ditaksir lelaki ganteng macam Mbah Bejo, hihihi..." celetuk seorang ibu lainnya.

"Hush! Jangan fitnah loh, Buk."

"Lah, saya lihat sendiri Sri disamperin Mbah Bejo."

"Ya, kali aja dia minta susuk pemanis biar rame yang nyuci gosok."

Ibu-ibu itu terus saja bergosip sambil cekikikan khas ibu-ibu kurang kerjaan. Padahal di rumah cucian sedang menunggu minta "perhatian". Begitulah mereka. Bergosip seolah menjadi hiburan tersendiri saat lelah dengan setumpuk pekerjaan rumah yang tiada habisnya. Belum lagi uang belanja bulanan yang selalu saja kurang. Ditambah lagi dengan harga kebutuhan pokok yang kian melambung.

Menceritakan kehidupan orang lain  seolah menjadi terapi otak sebelum memulai hari. Saat bergosip, mereka lupa dengan beban kehidupan. Seolah yang punya borok hanya si Anu atau si Itu. Borok mereka sendiri terlupakan.

Ada saja yang dijadikan bahan bergosip oleh mereka. Mulai dari harga bawang yang melambung, hingga betapa mahalnya biaya pendidikan. Menceritakan seseorang yang baru saja pulang setelah sebelumnya ikut bergabung memilih sayuran dengan mereka. Atau menceritakan kehidupan para artis dan biaya perawatan kecantikan mereka.

Lucunya, di saat yang lain mengeluh, segelintir memamerkan kesanggupannya. Memamerkan betapa mereka sanggup membayar les privat untuk anak-anak mereka. Tanpa mempedulikan ada diantara mereka yang untuk makan saja mesti pintar-pintar memilih menu seperti yang selalu Sri lakukan selama ia berumah tangga dengan Kartono.

***

Sri sudah berkutat dengan gunungan kain yang hendak ia setrika. Bersyukur Mbak Erna menyuguhkan teh hangat dan cemilan. Ia menyesap teh aroma melati itu pelan-pelan. Menikmati setiap tegukan. Teh itu langsung menghangatkan lambungnya yang kosong. Juga menghangatkan hatinya yang dingin, sedingin tanggapannya pada ajakan Mbah Bejo tadi malam.

***

Hai sahabat. Maaf ya, saya lama tidak update. Begitu buka WP ada banyak tanggapan dan bintang yang sudah sahabat berikan. Terima kasih ya... 😘

Menjelang bulan Ramadhan yang akan segera tiba, saya mengucapkan mohon maaf lahir dan batin. Semoga lancar puasanya ya, aamiin.

Ini ceritanya Mbah Bejo nyamperin Sri begitu ia sampai dari kampung sore hari. Kira-kira diajak ngapain ya sama Mbah Bejo? Lalalala.... Saya tebar beling dulu ya, biar sahabat mengira-ngira sendiri dulu, hahaha...

Salam sayang... 😘












TELUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang