Tiga bulan waktu yang diminta Sri. Setidaknya dalam waktu itu ia bisa sedikit bernapas lega. Mbah Bejo tidak akan mengganggu. Namun ia sendiri tidak yakin, kemana ia harus mencari pinjaman untuk kembali ke kampung. Sri berpikir,bagaimana kalau ia berterus terang saja pada Mbak Erna.
Jangan berputus asa terhadap kasih sayang Tuhan.
Sri mengulang kalimat itu di dalam hatinya. Kalimat bijak seperti ini sering ia dengar. Tetapi di tengah teruknya kehidupan, seringkali ia lupa akan keberadaan Tuhan. Entahlah. Terkadang Sri merasa Tuhan seakan tidak peduli pada dirinya.
Sri sering lupa bahwa Tuhan itu ada dan selalu memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya. Bahkan terkadang ia berpikir Tuhan tidak berlaku adil padanya.
Kenapa Tuhan memberikan cobaan berat dan bertubi-tubi sejak ia kecil. Rasanya belum sekalipun ia merasakan nikmatnya kehidupan dunia.
Terlahir dari keluarga miskin, hingga kini masih saja berteman dengan kemiskinan.
Suami yang sejatinya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, kini terbaring lemah tak berdaya. Kerasnya hidup membuat kedua buah hatinya menjadi sasaran amarah. Terlebih Tiara. Cacian dan makian seperti sudah akrab dengan anak itu. Bukan orang lain, tetapi ibunya sendirilah yang memulai.
Tak terasa butiran bening menghangat di kedua pipinya. Sungguh sebetulnya dia merindukan anak itu sekarang. Pun dengan bayinya, Safira. Sudah berminggu-minggu ia tidak menggendongnya.
Kartono yang kondisinya makin memburuk juga tak pelak menjadi pikiran berat bagi wanita itu. Belum lagi tekanan dari Mbah Bejo.
"Andai aku tak pernah menemui dukun itu. Andai aku bisa sedikit bersabar. Andai waktu dapat diulang..."
Kadang Sri merasa ingin mati saja. Hidup seakan tidak ada lagi gunanya. Pernah pula ia berpikir untuk melarikan diri. Pergi sejauh mungkin meninggalkan semuanya. Menjadi pribadi yang baru di sebuah tempat. Lalu perlahan orang-orangpun akan lupa padanya.
Tapi hati kecilnya melarang semua kebodohan itu. Ia tahu, Tuhan mencintainya dengan cara yang berbeda. Ia yakin pasti ada hikmah di balik semua ujian.
Hidup Sri bukan pula selamanya nelangsa. Kebahagiaan terbesar perempuan itu adalah Kartono. Lelaki itu suami yang baik dan mencintainya. Dua anak mereka juga masih membutuhkannya. Seharusnya ia tidak akan pernah merasa hampa. Sri terkesiap. Mungkinkah semua ini terjadi karena ia tidak pandai bersyukur?
"Tuhan, kenapa Engkau memberiku ujian seberat ini? Marahkah Engkau padaku? Aku menyadari bahwa ibadahku sangatlah kurang. Aku lupa mensyukuri apa yang telah Engkau berikan padaku. Bahkan sering aku lupa padaMu. Ampuni aku Tuhan."
"Ngelamun, Mbak?" Sepasang mata memperhatikan Sri dari bawah jendela.
Sontak sapu yang dipegang Sri jatuh. Tak ingin ketahuan menangis, Sri mengusap air matanya cepat.
"Loh, bener lagi ngelamun. Mbak Erna kemana, Mbak?" Lelaki itu celingukan, memutar kepalanya ke kiri dan kanan.
"Ke... ke... Oh iya, ke bandara. Jemput anaknya."
"Siapa? Sherly apa Dina?"
"Eh, kurang tau, Mas. Tadi Mbak Erna cuma bilang begitu." Alis Sri bertaut ketika dia menyadari sesuatu. "Saya kok nggak ngeliat Mas masuk darimana?"
"Saya memang belum pulang kok dari semalam."
"Oo... Tadi Mbak Erna nggak bilang ada Mas di rumah. Saya nggak enak main pulang-pulang aja. Jadi saya nungguin Mbak Erna nyampe dulu."
"Terus, kenapa Mbaknya di situ. Kata Mbak Erna kerjaan Mbaknya cuma buat nyetrika."
"Iya, saya nggak enak kalo duduk diam."
Ardhi manggut-manggut paham. Namun kedua irisnya tak lepas dari wajah Sri. Sesaat mereka berdua hening. Merasa diperhatikan Sri balas menatap Ardhi.
"Kenapa? Mas butuh sesuatu?"
"Eh, anu, hmm... Bisa minta tolong bikinin saya kopi enggak?"
"Oh, sebentar saya bikinin."
Sri berlalu ke dapur lewat pintu samping. Tak lama ia kembali dengan secangkir kopi.
"Pfuih... pahit banget!"
"Emang belum saya kasi gula. Saya enggak yakin mau masukin berapa sendok." Sri menyodorkan toples gula ke tangan Ardhi.
"Kenapa?" ujar Sri menyadari sepasang iris menatapnya bingung.
"Enggak, saya pikir Mbak sengaja ngeracunin saya."
Alis Sri bertaut mendengar seloroh Ardhi. Bibirnya sedikit maju ke depan. Kesal. Lelaki itu terkekeh melihat ekspresi Sri yang bagi Ardhi terlihat lucu.
"Eh, tapi beneran ini nggak pake sianida?"
Sri mendelik sementara mulutnya menggumam tidak jelas.
"Bercanda. Serius amat. Eh, tapi kalo Mbaknya senyum dikit bisa kali," ledeknya.
Sri memutar matanya ke atas, kemudian berlalu meninggalkan Ardhi yang terkekeh geli. Dia hanya berlalu ke dapur, meraih segala peralatan kotor yang belum sempat dicuci Mbak Erna.
Asap rokok mengepul dari mulut Ardhi. Membubung ke atas lalu pecah di tengah. Secangkir kopi dia sesap hingga tandas meninggalkan ampas hitam pada permukaannya. Rasa lapar membawa langkahnya hingga ke dapur.
Sri menyelesaikan piring terakhir kemudian menyusun seluruh peralatan itu pada tempatnya.
"Loh, Mbak belum pulang?", lelaki itu membawa cangkir kosong ke kitchen sink lalu membilasnya.
"Kan tadi saya udah bilang, mau nunggu Mbak Erna."
Ardhi mengangguk paham. Lelaki itu membuka tudung saji lalu menyendokkan nasi goreng ke piringnya. "Aturan saya aja yang cuci piringnya, Mbak."
"Emang bisa?"
"Cuci piring gini doang mah, bisa kali. Udah biasa saya, Mbak. Maklum anak kost-an."
Ruangan itu kembali hening. Sesekali dentingan sendok di tangan Ardhi terdengar. Keduanya ada pada pikiran masing-masing.
"Ehmm... saya jalan dulu, Mbak." Ardhi memecah sunyi, sesaat setelah dia mencuci piringnya.
"Eh, saya juga kayanya pulang aja."
"Loh, nggak jadi nunggu Mbak Erna?"
"Nanti aja saya balik lagi."
"Ya udah, kalo gitu sekalian saya antar."
"Nggak usah, Mas. Rumah saya dekat kok."
"Nggak apa-apa. Saya juga kan sekalian jalan."
Lelaki itu berjalan mendahului Sri, memakai jaket dan meraih kunci motornya. Tak lama motor itu melaju keluar dari kompleks perumahan.
***
"Ohooo... Bagus sekali. Seperti ini istri yang setia pada suami?" Sri terkesiap. Suara itu...
....
Hayoo.. kamu ketahuan. Elah Sriii, Sri. Apes tenan. Aku update nih, padahal viewers belum sampai target. Sedih akutuh...
Buat part ini dibantu yak...
KAMU SEDANG MEMBACA
TELUH
ParanormalRank #5 Paranormal / 30 Mei 2019 Sri merasa jengah dengan sikap Rena belakangan ini. Tagihan listrik mereka membengkak. Sementara Rena membeli peralatan "mewah" dan memakai listrik dengan semena-mena tanpa mau melebihkan pembayaran listrik. Kontraka...