16.

4K 192 36
                                    

Sebenarnya Sri sedikit malu karena kebaikan Mbak Erna. Berapa rumah yang Sri datangi setiap harinya, hanya di rumah Mbak Erna yang menyediakan camilan dan segelas teh hangat. Tentu saja Sri lebih memilih datang ke sana di pagi hari. Lumayan menghemat, sebab ia tak perlu memikirkan biaya sarapan.

Setelah menghirup teh hangat, Sri langsung memulai pekerjaannya. Tangannya yang cekatan, cermat sekali membuat pakaian-pakaian itu menjadi licin dan harum. Pekerjaan yang paling banyak ditunda para ibu rumah tangga.

Mbak Erna menemaninya kali ini. Mengajaknya mengobrol khas obrolan emak-emak. Sesekali mereka tertawa.

"Eh, Sri... Nggg, suami kamu gimana keadaannya sekarang?"

"Ya masih gitu, Mbak. Belum ada perubahan."

"Sabar ya, Sri. Mbak yakin nanti ada cara buat kesembuhan beliau. Anak-anak gimana? Safira udah gede dong, ya?"

"Iya Mbak. Udah bisa jalan."

"Udah makin pinter dong, ya?"

Sri tersenyum kecil. Sejujurnya, ia sendiri belum pernah melihat gadis kecilnya itu berjalan. Ia hanya tahu perkembangan kedua putrinya dari ibu mertuanya.

Air mukanya sedikit berubah saat mengingat anak-anak dan suaminya. Mbak Erna menggenggam tangan Sri, menguatkan.

"Sri, kalau kamu butuh apa-apa, Mbak akan bantu sebisa mungkin. Mungkin kamu mau cerita, Mbak akan dengarkan."

"Mbak pasti juga dengar kabar dari orang-orang di luar sana tentang saya, kan?" Sri menarik napas untuk mengambil jeda. Matanya mencari-cari kebenaran pada wajah Mbak Erna. Menerka apa yang telah diketahui wanita cantik itu.

"Mbak yakin itu nggak benar, Sri. Mbak tahu sekali dengan kamu."

"Gimana kalau itu benar? Mbak jijik sama saya?"

Mbak Erna menatap kedua bola mata itu. Menyelami makna dari kalimat yang barusan dilontarkan Sri. "Kalau kamu mau cerita, Mbak akan dengarkan."

"Mbak," isak Sri dipangkuan Mbak Erna. Tangisnya tumpah.

***

"Makasi loh, Mbak. Saya janji akan ganti uang Mbak."

"Sudah. Nggak usah dipikirkan sekarang."

"Saya berangkat, Mbak."

Kedua wanita itu berpisah di terminal bus antar provinsi. Sri melambai di balik kaca bus ber-AC itu.

"Sedih amat sih, Mbak?"

"Sudah, mau tahu aja nih orang. Yuk pulang!"

Ardhi melajukan mobil keluar dari terminal bus.

Sebenarnya Sri memilih naik angkutan umum saja, tetapi Mbak Erna memaksa ingin mengantar. Ia ingin memastikan Sri selamat sampai terminal tanpa ketahuan Mbah Bejo. Lelaki itu, mengingat namanya saja membuat bulu kuduk Mbak Erna merinding. Ia tak habis pikir, kenapa Sri bisa senekad itu dulunya.

Ah, andai saja waktu bisa diulang, ingin rasanya ia melindungi wanita itu jauh-jauh hari. Bejo tidak akan pernah berubah. Kelebat kejadian dua puluh tahun silam kembali tampak di pelupuk matanya. Membuka memori lama yang sudah ia kubur dalam-dalam.

Erna mengalihkan pandangannya ke luar jendela, tak ingin mengingat apapun dari lelaki jahanam itu.

***
Batuk yang berkepanjangan menyiksa tubuh Kartono. Lelaki itu tersengal tiap kali berusaha memenuhi rongga dadanya sekadar untuk bernapas. Sri membaluri dada Kartono dengan balsem, berharap suaminya itu dapat bernapas sedikit lega.

"Sri, tidurlah. Biar Ibu yang jaga. Sejak kowe datang belum ada istirahat."

"Nggak papa, Bu..."

"Nanti malah kowe yang sakit. Istirahatlah. Ajak anak-anakmu sekalian."

Sri mengangguk. Sebenarnya ia sangat ingin menemani Kartono. Tapi tubuhnya sudah sangat lelah. Terlebih perjalanan antar provinsi yang ia tempuh dengan bus selama tiga puluh enam jam. Sebentar saja terdengar dengkuran halus dari wanita itu.

"Hueeks...!"

Sri terbangun mendengar suara Kartono. Lagi-lagi darah segar menyembur dari mulutnya. Lelaki itu tersengal memegangi dadanya. Sri menarik selembar kain batik dekat pembaringan Kartono. Cekatan ia mengelap sisa-sisa darah dari bibir sekitar pembaringan suaminya.

"Sebentar ya, Mas. Aku mau ambil air hangat." Sri bangkit dari duduknya.

"Sri... Duduklah. Di sini saja. Jangan kemana-mana." Kartono meraih jemari Sri, membawa ke dada kurus miliknya. Perlahan Kartono memejamkan mata.

"Mas..."

"Mas, tolonglah. Aku minta maaf, Mas. Aku minta maaf," isak lirih wanita itu.

"Ssst... Aku nggak papa, Sri. Kamu itu perempuan kuat. Nanti, kalau aku nggak ada, tolong, uhuk... tolong jaga anak-anak kita. Ja-ngan di...uhuk, dimarahi. Me-mereka anakmu, Sri. Aku mohon."

"Mas..."

Darah segar kembali dimuntahkan lelaki itu. Sri tak kuasa menahan air matanya. Tangisan Sri  membangunkan ibu mertuanya. Tergopoh Mbah Mirah mendekati pembaringan Kartono.

"Ya Allah Gustiii... Le, nyebut... Astaghfirullahal'azim..."

Kartono menatap sayu dua wanita di dekatnya. Genggaman tangan Kartono pada jemari Sri semakin melemah. Mbah Mirah berpindah ke kaki Kartono. Menggosok kedua telapak Kartono untuk memberi kehangatan.

"Dingin, Buk e..."

"Iya, nak. Ya Allah." Mbah Mirah berlari ke kamarnya, mengobrak abrik isi lemari. Ia ingat masih miliki selembar sarung, tanda mata dari calon legislatif yang kampanye di kampungnya tempo hari. Diselimutinya Kartono dengan sarung itu. Dua perempuan itu tak sabar menunggu pagi. Berharap lelaki yang mereka cintai masih melihat mentari esok hari.

***
Hallo... Apa kabar teman. Aku lama ya updatenya. Hehehe.
Ada kabar buat teman semua. Teluh akan segera dibukukan. Yeay!... Oleh sebab itu, kemungkinan beberapa part akan aku delete. Aku juga belum tahu, bakalan kasih bocoran ending dari cerita ini apa enggak di wattpad.

Tapi penasaran dong sama kelanjutan kisah Sri? Yok, itu Mbah Bejo entar mau ngapain sama Sri? Bakal anu-anuan lah pokoknya.

Tim Ardhi mana? Pantes nggak tu jejaka sama Sri? Atau kita siksa aja dia kaya Kartono?

Mbak Erna sama Bejo ada apa ya dua puluh tahun silam? Diiiih, greget akutuh..

Hmm... Saya semedi lagi ya, buat menyelesaikan kisah ini. Ayo share yang banyak mumpung belum aku delete nih. Tinggalin juga bintangnya ya...


TELUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang