Memories

18 8 2
                                    

"Hai Vi, sorry tadi gua latihan dulu." Sapa Adi sambil bersalaman dengan Arvi.

Arvi tersenyum.

"Santai aja Di."

"Mana temen lo? Katanya lo mau bawa temen lo kesini." Tanya Arvi sambil meminum jus alpukat nya.

"Tadi gua udah ajak dia, tapi ini kan udah malem ga enak gua bawa anak orang malem-malem gini." Jawab Adi sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari saku nya.

Arvi mengangguk menanggapi perkataan Adi.

"Rokok Vi?" Tawar Adi sambil menyodorkan rokok nya.

Arvi menggeleng.

"Lo tuh ya ga berubah-rubah sampai sekarang." Jawab Adi sambil tertawa. Arvi hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala.

Suara bising orang lain, suara penyanyi dipojokan, dan suara langkah si Abang cafe yang sibuk mengantar pesanan. Terasa renyah di cafe itu. Adi menyeruput coffee pesanan nya.

"Oh iya Vi, gimana sekolah lo sekarang?" Tanya Adi sambil mengisap rokok nya.

Arvi tersenyum.

"Yaelah Di, ya sekolah gitu-gitu aja kagak ada yang beda."

Adi tertawa.

"Lo tuh ya bener-bener ga berubah hahaha. Oh iya Vi, gimana sama tawaran beasiswa lo ke Spanyol?"

Arvi diam dan mengangkat kedua bahunya.

"Kagak tau Di, gua masih bingung."

"Kenapa? Apa lo masih nunggu dia Vi?"

"Ah, come on Vi! Lo masih nunggu dia yang lo sendiri pun gatau dia ada dimana."

Adi menggeleng kesal.

"Vi, lo harus punya pilihan. Lo bisa nemuin perempuan yang lebih dari dia. Lo bisa! Lo tampan, pinter, berprestasi. Apa lagi Vi? Apa?!"

"Dia beda Di, dia beda! Emang gua gatau dia dimana, tapi gua yakin dia ada di sekitar gua." Jawab Arvi sambil tertunduk.

Adi diam tak menjawab. Dia menunduk dan sesekali mengisap rokoknya.

       Hening seketika. Percakapan tadi membuat mereka berdua canggung. Arvi yang terus memutar-mutarkan sedotan jus nya dan Adi yang melamun sembari mengisap rokok nya.

"Oh iya Vi, sekolah taekwondo bokap lo lumayan berkembang. Dari kemarin banyak banget yang daftar." Suara Adi memecahkan keheningan diantara keduanya.

"Serius lo?" Jawab Arvi tanpa reaksi apapun.

Adi mengeluarkan sesuatu dari tas olahraga nya.

"Dan ini data sekolah taekwondo bulan ini." Seraya menyerah kan kertas tersebut.

Arvi mengambil nya.

"Thanks."

"Yaudah Vi kalo gitu gua pulang duluan ya. Masalah yang tadi gua minta maap. Gua ga ada maksud buat nyentuh masa lalu lo lagi." Jawab Adi sambil menepuk pundak Arvi.

Arvi mengangguk.

"Iya kagak apa-apa, gua ngerti ko. Hati-hati."

Adi mengangguk dan berjalan meninggalkan Arvi.

       Arvi memanggil pelayan cafe untuk meminta bill. Dan langsung membayar tagihan nya. Arvi pergi ke parkiran dan menaiki mobil Civic hitam miliknya.

        Di perjalanan Arvi terus memikirkan perkataan Adi. Dia berpikir apakah salah dia selalu menunggu orang yang mungkin orang  itu sendiri sudah tidak peduli dengan nya.

"Argh!!" Arvi teriak sambil memukul stir mobilnya.

         Arvi memacu laju mobilnya dengan kencang. Tak memedulikan klakson orang-orang dijalanan yang sedang senang menikmati malam Minggu nya.

         Arvi sampai di rumah nya. Dia memakirkan mobil nya dan langsung masuk ke kamar tanpa berkata apapun pada orang rumah.

         Arvi membuka jaket denim hitam nya. Dan kemudian dia membanting kan tubuhnya ke atas tempat tidur.

"Ya Tuhan. Terpaut jarak itu sangat melelahkan. Ingin melihatnya saja rasanya sulit.Yang ada malah hati yang sakit."

Arvi terdiam sejenak dan menghembuskan nafas.

"Namun ini tak begitu mengecewakan. Hanya jarak yang memisahkan. Sedangkan ada pasangan yang terpisahkan. Bukan dengan jarak, namun kepercayaan. Ada pula yang terpisah dunia. Mereka hanya bisa. Mengungkapkan cinta lewat doa-doa. Ingin bertemu, namun apa daya?"

"Ah, rasa rindu. Ingin bertemu, ingin bersatu. Namun terhalang oleh sesuatu. Memang bagai tertusuk sembilu."

Arvi menyilangkan tangan nya untuk dia jadikan sandaran.

"Selamat malam untuk kamu, sang penguasa hatiku."

-----------

PenantianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang