POV : Mutiara (Part 1)

4K 70 0
                                    


Dunia rasanya bergerak berotasi berlawanan arah dengan tangis ku. Dia tak mempedulikan hati ini yang seakan remuk redam tenggelam dalam carut marut kesedihan. Telfon baru saja ditutup, aku pun terduduk lunglai merasai tubuh yang hilang saraf kendalinya.

"Bapak jatuh dari tempat tidur. Kepalanya luka tapi menolak di bawa ke rumah sakit." Tangis Kakak perempuanku yang selama ini merawat Bapak di Kampung terdengar dari seberang telfon. Teriris hati ini mendengar isak tangisnya.

"Duh Bapak, maafkan anakmu yang tidak bisa ada di sana saat ini." Jeritku tertahan, membayangkan seorang lelaki berusia 84 tahun dengan keriput di wajah yang meringis menahan sakit. Lelaki bermata teduh yang selalu memeluk ketika aku terserang kalut dan bimbang. Diusia senja kini, seharusnya aku mampu memberinya kebahagiaan. Melihatnya bersenda gurau bermain dengan kedua anak lelaki ku. Namun nyatanya, bentangan jarak 1000 Km membuat jemari ini sulit menjangkaunya.

Bagaimana mugkin aku ada pada dua tempat berbeda. Dikota ini, aku harus sendiri merawat suami yang terbaring sekarat digerogoti penyakit kankernya. Sedangkan di tanah kelahiran sana, ada Bapak yang juga terkulai lemah dengan penyakit kanker pula. Tuhan, sungguh ujianmu berat untuk di panggul sendiri. Maka aku mengharap kekuatanMu agar terasa ringan semua ini di pundakku. Masih lekat terbayang dipelupuk mata segala caci maki nya kepada Ibu dan Bapak.

"Aku menyesal menikahimu. Perempuan miskin dan tidak pernah bisa mengerti dan mendukung keinginanku." Suara keras lelaki yang telah lima belas tahun mendampingiku membelah dada ini. Penyakit kanker akut ternyata tak mampu membuatnya berpikir dan membuka hati.

"Kamu tidak pernah menyayangi aku, liat hidupku sekarang. Semua gara-gara kamu dan anak-anakmu." Nafas lelaki yang menjadi ayah dari ke empat anakku itu tersengal, membuat selang oksigen pada hidungnya terlepas. Aku masih membeku di sudut kamar, menahan amarah yang membuncah seolah terasa memecahkan saraf sadarku.

"Istiqfar mas, istiqfar. Kenapa mas tidak mau fokus untuk kesembuhan penyakitnya. Banyak berdoa, bertahubat mas." Suaraku serak menahan derai air mata yang bercucuran membilas hatiku yang menganga oleh luka.

"Aaaarrrggh... pergi kamu, pergi.. Aku muak melihat mukamu. Gara-gara kamu aku tidak bisa berobat dengan baik." Suamiku tak bisa mengendalikan amarahnya. Lontaran kata-kata itu telah sempurna membuat hati ini patah.

Aku beranjak pergi dengan langkah bergegas. Ku susuri lorong ruang ICU dengan jiwa lelah dan hancur berderak. Air mata yang sedari tadi berderai menambah perih luka hati di dada. Duh mas, sudah berkaratkah hatimu? Jika ujian sakit seperti ini saja tak mampu membuatmu mengingat dosa-dosa mu, lalu bagaimana lagi cara Tuhan membuatmu melemah?

Hari ini aku belum mengunjungi mas Igo di ruang ICU sejak kejadian sore lalu yang membuat hati ini tak lagi mampu bertahan dalam lelah. Aku menoleh ke arah kedua anak ku yang sedang bermain di ruang tengah. Kedua anak yang lain terpaksa dititipkan di Malang, kota kelahiranku. Kondisi ekonomi keluarga dan kondisi sakit suamiku telah menjadi himpitan beban yang luar biasa dalam hidup.

Sering aku harus meninggalkan mereka demi merawat ayahnya yang terbaring tak berdaya di ICU, menempuh puluhan kilometer dan kemacetan kota yang terkadang membuat jengah. Atas nama pengabdian seorang istri, enggan aku berkeluh kesah.

Ah pengabdian, ya ku sebut ini pengabdian. Bukan hanya kali ini, ketika dia lemah dalam sakit. Kejadian masa silam lalu terlintas dalam benak, bagai slide film yang menayangkan ribuan kepedihan.

Tergambar dalam ingatan bagaimana lelaki berperawakan tinggi 175 cm itu berulang kali melukai dan membagi hati dengan perempuan lain. Jauh sudah kata setia dalam hubungan kami. Pernikahan yang terjalin bertahun-tahun menjadi hal yang ia sesali hingga tega menyakiti.

PEREMPUAN PENYULAM SABAR Where stories live. Discover now