Dalam waktu sepersekian detik aku masih berupaya mengenali sosok itu. Dari putaran memori di otak kecil ini belum aku temukan siapa perempuan yang datang sepagi ini ke kontrakanku.
"Assalamualaikum. Dengan Mbak Ara?" perempuan bergamis biru itu menyapa ramah. Aku mengangguk dan mempersilahkannya masuk. Perempuan itu mengamati ruang tamu, mungkin merasa tidak nyaman dengan kondisi rumah yang sedikit berdebu dan tak terurus.
Aku masih terdiam, menunggu perempuan itu menjelaskan niatnya datang menemuiku sepagi ini.
"Nama saya Rahma, anak ketiga Pak Rahman, pemilik kontrakan ini." Raut wajah perempuan dihadapanku seolah menunjukkan isyarat tak baik.
"Maaf mbak, seingat saya kontrakan ini masih satu tahun lagi bukan?." Aku mulai mengingat-ngingat pembayaran teakhir kontrakan ini.
"Tepatnya 8 bulan lagi. Begini mbak Ara, mohon maaf sebelumnya. Kami berniat mengembalikan uang sisa kontrakan, karena rumah ini akan saya tempati." Aku hanya bisa memandang Rahma dengan ekpresi terkejut tanpa bisa bersuara.
"Ini sisa uang kontrakannya mbak, empat juta. Dan ini satu juta untuk ganti rugi. Kalau bisa paling lambat tiga hari lagi saya bisa nempatin rumah ini ya Mbak. Bisa kan?." Raut wajah Rahma seolah memohon pengertianku.
"Saya harus pindah kemana Mbak? Saya baru saja mendapat kemalangan. Apa tidak ada cara bijak lain, Mbak Rahma?" Aku menggigiti bibirku sendiri, mencoba menegarkan hati yang berkecamuk bimbang.
Bisa saja aku pulang ke Malang, tapi aku harus menemui Sarah seperti yang diwasiatkan mas Igo sebelum meninggal. Dan Radit, dia akan kebingungan mencariku jika aku pindah dari rumah ini. Ah bodoh sekali aku, bagaimana bisa aku berpikir Radit masih akan menemuiku. Bukankah dia sudah tak ada kabar sejak pergi ke Kalimantan.
"Iya mbak, kami turut berduka cita, semoga mbak Ara sabar menghadapinya." Rahma berbasa basi menghiburku.
Pikiranku masih berkecamuk bagaimana mencari tempat tinggal baru jika rumah ini tak lagi bisa aku tinggali. Tapi uang lima juta itu lumayan juga untuk menyambung kehidupanku selama di Jakarta yang sampai saat ini belum memiliki penghasilan.
"Kalau boleh saya minta tolong Mbak, perabotan saya yang masih layak pakai dibeli saja bagaimana? Jadi saya bisa keluar dari rumah ini hanya membawa pakaian, saya mungkin cari kost satu kamar saja," pintaku.
Rahma memperhatikan seluruh ruangan. Memandangi tirai yang lecek, kursi sofa yang kusam dan sedikit reot, meja makan diruang tengah yang mulai karatan.
"Tapi Mbak.." suaranya tercekat.
"Tidak banyak kok mbak, hanya sofa, maja makan, lemari dan tempat tidur. Kondisinya memang tidak terlalu baik. Tapi masih layak pakai. Terserah mau dinominalkan berapa saja, sekedar menambah untuk uang makan saya." tuturku. Rahma mengangguk, tangannya merogoh ke dalam tasnya.
"Maaf mbak, hanya ada ini. Jika tidak keberatan." Perempuan dihadapanku menyerahkan lima lembar uang ratusan.
Aku menghela nafas perlahan, menerimanya dengam berat hati. Bukan nilainya yang membuatku berat, tapi harus meninggalkan kenangan yang menjadikanku sesak.
Rahma berpamitan setelah mendapat kepastian bahwa aku akan mengosongkan rumah ini paling lambat tiga hari ke depan.
Aku kembali melangkah ke kamar, merebahkan tubuhku yang terasa semakin ringkih. Perutku kosong, namun aku tidak memiliki persediaan makanan sejak kemarin sore. Aku berusaha memejamkan mata sejenak.
Diantara keputus asaanku, terlintas pikiran menerima penawaran Radit untuk menikahi. Buru-buru aku tepis kelebatan pikiran itu. Bukankah aku tidak mengenal Radit dengan baik.
YOU ARE READING
PEREMPUAN PENYULAM SABAR
General FictionNovel "Perempuan Penyulam Sabar" berkisah tentang perempuan yang berada dalam kemelut cinta dan kisruh rumah tangga yang menghantam jiwa dan membuat hidup terasa kelam. Kepahitan takdir yang akhirnya mengajarkan cara membingkai luka dan gelisah menj...