POV : MUTIARA (Part 8)

923 26 0
                                    

Radit memarkir mobilnya didepan pertokoan yang berderet disepanjang Jalan MT. Haryono. Letak kios bakso Pak Jamal berada tepat disebelah toko peralatan alat tulis kantor. Sebuah kios berukuran 4 x 9 meter dipenuhi oleh beberapa pengunjung yang sedang menikmati bakso siang ini.

Sang bola api raksasa memanggang bumi tepat berada 90 derajat diatas kepala. Beberapa kipas angin yang terpasang pada dinding kios tak mampu memberikan kesejukan yang cukup bagi pengunjung. "Kalau bukan karena kenangan, enggan juga ya datang kesini." Kata Radit sambil mengelap bulir keringat yang mulai membasahi keningnya.

Aku tersenyum dan menjawab, " Keringat itu bukan hanya karena suhu udara yang panas, tapi karena kepedesan juga." Kamipun tertawa bersama. "Sebenarnya sih gak pedes amat, tapi aku grogi berdekatan sama Mutiara As Syifa." Radit tersenyum menggodaku.

Kami menikmati bakso rasa nostalgia SMU. Semangkok bola-bola daging yang berbumbu memori masa muda terasa nikmat disajikan siang ini. Kenangan yang menyeret usia kami puluhan tahun lebih muda. Menembus lorong waktu saat seragam putih abu-abu menjadi kebanggaan.

Beberapa kali Radit berhasil membuat wajahku memerah bak kepiting rebus saat ia mengingatkan betapa menjengkelkannya sikapku kepadanya dulu. Dengan sombongnya aku tak pernah menggubris sapaannya. Keangkuhan yang ditunjukkan dengan lirikan mata merendahkan. Sesekali kami tertawa saat Radit memperagakan gaya cuekku dulu. "Dulu aku sempat berfikir, cewek ini hatinya terbuat dari apa ya kok dingin banget." Ia mengurai tawa renyahnya. "Dari es kutub utara." Jawabku, pun ikut tertawa bersamanya. Bakso dimangkok sudah sedari tadi tandas, kini yang kami nikmati adalah kenangan.

Matahari merambat menyingsing ke ufuk barat. Mobil yang dilajukan Radit membelah kebun teh yang berjajar dikanan kiri jalan. Angin sejuk pegunungan menelusup masuk melalui kaca jendela mobil yang dibiarkan terbuka. Beberapa wanita terlihat berjalan pulang menyudahi pekerjaannya memetik daun teh.

Mobil berhenti pada tempat yang cukup lapang. Pemandangan yang terhampar dihadapan sungguh menggugah decak kagum. Bukit dengan deretan pohon pinus yang menghijau, serta lembah yang dibelah aliran sungai berbatu dengan riak yang cukup deras. Langit biru berhias kabut tipis menimbulkan siluet jingga pada garis cakrawala.

Ku hirup udara segar dalam-dalam, mengisi penuh kedua rongga paru-paru. Radit berdiri disampingku, melakukan hal yang sama. "Aku rindu masa-masa seperti ini. Dulu hampir setiap minggu aku melakukannya." Aku menoleh, Radit berbicara dengan mata tertutup dan tangan dibentangkan. "Melakukan apa?," tanyaku. "Menikmati suasana seperti ini, senja dan kabut. Perpaduan dua hal yang mampu membuat tubuhku merelease hormon endorfin." Lelaki itu masih memejamkan kedua indra pandangnya dan menikmati angin yang membelai rambutnya.

Aku memandang wajah itu beberapa jenak. Alisnya yang lebat dan legam, hidung mancung itu, matanya yang dalam namun selalu sayu serta rahangnya yang kokoh. Tentu saja dia bukan lelaki tampan bak oppa-oppa korea, namun lebih ke tipe lelaki jantan seperti pemain laga Miles 22. Aku mengulum senyum. Lelaki yang dulu kuanggap cupu dan norak, bermetamorfosis selayaknya lelaki tampan dan matang. Kurasakan wajah ini memerah saat hati seolah dipenuhi ribuan kupu-kupu.

"Jangan lama-lama mandanginnya. Kalau besok aku pulang bisa kangen tiap hari tu." Lirih suara Radit membuatku malu. Aku mencubit lengannya yang terbungkus T-shirt berwarna abu tua. Ia meringis dan dengan mata terpejam meraih tanganku. Dibawanya jemariku mendekat kearah wajah itu. Lelaki itu mencium tanganku. Aku tertunduk malu.

PEREMPUAN PENYULAM SABAR Where stories live. Discover now