POV : MUTIARA (Part 9)

1.2K 50 0
                                    

"Bu, benar ibu sudah menerima lamaran Lukman untuk aku?." Pertanyaan yang meluncur begitu saja dari mulutku saat aku membantu ibu menyiapkan sarapan untuk Shafiya dan Raffa. Sekilas ibu menoleh kearahku dan kembali melanjutkan pekerjaannya. "Lukman kan baik, sholeh, apa yang kurang nduk?" tanya ibu kemudian. "Tapi bu, kan Ara baru saja kenal." Aku mencoba mencari alasan. Hening, hanya ada suara letupan minyak panas diatas wajan.

"Dan anak-anak, apa menurut Ibu mereka sudah siap menerima Lukman?" lirih suaraku hampir tak terdengar bersaing dengan suara tivi diruang tengah. "Kamu yakin hanya itu yang meresahkanmu?." Tanya ibu penuh selidik. Kompor telah dimatikan. Ibu membawa hasil gorengan ayam beserta tempe keruang makan. Aku mengekorinya dari belakang, membawa serta piring dan nasi untuk sarapan.

Anak-anak makan dengan tenang di depan TV, duduk diatas karpet yang terbentang. Aku menemui ibu didapur. "Bu, Ara belum siap." Ucapku berharap Ibu memahami keenggananku menerima lamaran Lukman. "Belum siap?," Ibu memandangku dengan dahi berkerut. "Lalu siapa yang menghubungimu ditelfon beberapa waktu yang lalu. Ibu mendengar kalian seperti membicarakan pernikahan?" tanya ibu penuh selidik.

Aku gugup. Ingatanku melompat pada kejadian beberapa waktu lalu saat Radit menelfonku tengah malam. Ia memang sempat menyinggung soal lamaran. Tapi bukankah itu sudah terjadi hampir sebulan lalu. Dan tidak ada kelanjutan dari pembahasan itu hingga sekarang.

"Itu Lukman bukan?, tanyanya. Aku menggeleng pelan dengan tetap berusaha menatap pada kedua indra pandangnya. "Lalu siapa yang kau harapkan datang melamar?," lanjutnya. Jantung memompa aliran darah lebih kencang. Wajahku memerah mendengar pertanyaan perempuan yang melahirkanku 38 tahun lalu itu. Aku memalingkan wajahku dari hadapan Ibu. Mempercepat langkah meninggalkan dapur menuju kamar.

Anak-anak telah menyelesaikan sarapannya. Terdengar Kak Ayu datang dan membantu mereka mencuci piring didapur. Ibu menyusulku ke kamar, masih menungguku menjawab pertanyaan itu. "Semoga orang yang kau harapkan itu bukan teman SMU mu yang datang kemarin lalu," katanya sambil duduk dipinggir pembaringan.

Tanganku gemetar. Aku sengaja memunggungi ibu menghadap meja disamping pembaringan. Berpura-pura mengemas barang bawaan ke dalam tas kerjaku. Aku merasa wajahku semakin memerah karena malu. Terdengar suara Kak Ayu memanggil-manggil untuk segera berangkat. "Ara berangkat kerja dulu, Bu." Aku menoleh dan mencium tangan ibu.

"Dia sudah beristri, Nduk." Suara ibu bergetar, menghentikan kakiku yang hendak melangkah keluar kamar. Aku memejamkan mata. Tanganku berupaya meraih gagang pintu kayu berharap mampu menopang tubuhku yang tiba-tiba limbung. Aliran darah ini seolah terhenti bersamaan dengan jantung yang rasanya hampir copot.

Bagaimana aku bisa sedemikian abai untuk menanyakan hal sepenting itu kepadanya. Ataukah aku yang memang terlalu menutup mata hingga tidak mau peduli tentang statusnya. Suara Kak Ayu memanggil-manggil dari halaman, kali ini disertai deru motor yang sudah dinyalakan. Aku bergegas meninggalkan Ibu yang masih di kamar.

Ada ulu hati yang terasa ngilu. Genangan air mata yang sedari tadi kuupayakan tetap ditempatnya kini berdesakan merambati ceruk pipi. Tidak ada yang menyadari tangis ini, karena suara motor menenggelamkan sedu sedanku sepanjang jalan. Aku menyeka bekas airmata dengan cepat manakala motor sudah menepi di gerbang sekolah tempatku bekerja. Aku berlekas turun, mencium tangan Kak Ayu dan melangkah gontai menyusuri halaman sekolah.

PEREMPUAN PENYULAM SABAR Where stories live. Discover now