Malam sudah beranjak sedemikian tinggi, meninggalkan senja yang kembali ke peraduan. Suhu udara malam hari di kota ini masih sama seperti yang dulu. Dingin menelusup kulit ari. Ku benahi selimut yang membalut wajah pulas ibu yang sudah tertidur.
Malam pertama aku di kota ini, menemani ibu yang menginap dirumah sakit. Ke empat anakku ikut Kak Ayu pulang sore tadi. Jarak dari rumah sakit dan rumah amat jauh, Kak Ayu harus menempuh perjalanan kurang lebih 30 Km.
"Ara." Suara lirih Bapak terdengar lamat-lamat. Aku beranjak bergegas menghamirinya. "Ini Ara, Pak," ku genggam tangan tuanya. "Ara." Bapak mulai membuka matanya. Ia memperhatikan wajah ini, aku tersenyum memandang raut wajah Bapak yang juga tersenyum meihatku.
"Ara harus bahagia ya, Nak. Jangan mudah putus asa. Banyak berdoa." Ia menggenggam tanganku. Ada genangan harapan yang mulai menyeruak dari kedua netranya. "Ara bahagia, Pak. Ara pasti bahagia, " kataku sambil menciumi wajah lelaki yang selalu jadi sumber kekuatanku itu.
Ku tahan sekuat hati untuk tidak menangis dihadapannya. Aku tidak ingin Bapak melihat penderitaanku lebih banyak lagi. Bapak terlihat tersenyum, bulir bening mengalir dari sudut mata tuanya yang mulai sayu. Ia lalu memejamkan mata.
Suara bip panjang dari mesin elektrokardiograf yang ada disamping tempat tidur Bapak membuat jantung ini serasa berhenti berdetak. Monitor EKG menampakkan grafik flat line. Segera ku pencet bel untuk memanggil perawat.
"Bapak, Bapak bangun Pak. Ara sudah datang." Aku mengguncang-guncang tubuh Bapak dengan panik. Ibu terbangun dan menghampiri, "Ada apa? Bapak kenapa?".
Dua orang petugas medis datang. Mereka mengamati mesin EKG beberapa saat. Salah satu perawat memeriksa pernafasan dengan mendekatkan pipinya ke hidung Bapak sedangkan perawat yang lain memeriksa denyut nadi dipergelangannya. Suasana berubah semakin panik, manakala salah satu petugas medis tersebut meletakkan kedua telapak tangan yang saling bertumpu pada dada Bapak dan mulai memompa jantungnya.
Ibu mulai menangis, demikian pula denganku. Tak henti ku rapalkan doa agar Allah masih memberi kesempatan kepadaku membahagiakan Bapak. Aku masih ingin merawatnya dan menunjukkan kepadanya bahwa aku bisa berbahagia dengan anak-anakku.
Lima menit berlalu, upaya petugas medis memompa jantung Bapak dengan kecepatan 100 kali per menit masih terus dilakukan. "Maaf Bu, Bapak sudah meninggal. Kami sudah berupaya namun Tuhan berkehendak lain." Salah satu perawat menghampiri Ibu. Tanpa bisa menjawab ibu hanya mengangguk dan terus menangis.
Aku menghampiri Bapak yang sudah menutup mata. Selang infus dan beberapa alat yang menempel pada tubuhnya mulai dilepas satu per satu. Senyum terakhir itu masih terbingkai dengan jelas dari wajahnya yang renta.
***
Masih terlihat jejak siraman air pada tanah pemakaman ini. Taburan bunga melati, mawar dan kenanga menutupi permukaannya. Aku terpekur sendiri, mencoba membangun kembali kepingan hati yang dirundung duka sepeninggal Bapak.
Senja telah menampakkan jingganya. Beranjak aku, berjalan meninggalkan bait-bait doa diatas tanah basah. Aku harus kembali ke Jakarta malam ini juga. Kali ini aku berangkat sendiri, Kak Ayu tidak mengijinkan aku membawa serta anak-anak. Untuk apa, katanya, toh kamu kesana hanya untuk menegaskan kenyataan bahwa suamimu telah memutuskan ikatannya denganmu.

YOU ARE READING
PEREMPUAN PENYULAM SABAR
General FictionNovel "Perempuan Penyulam Sabar" berkisah tentang perempuan yang berada dalam kemelut cinta dan kisruh rumah tangga yang menghantam jiwa dan membuat hidup terasa kelam. Kepahitan takdir yang akhirnya mengajarkan cara membingkai luka dan gelisah menj...