"Minumlah teh hangat ini, Ara." Radit menyodorkan segelas teh kehadapanku. Aku menurut, setelah kehujanan cukup lama badanku menggigil dan ambruk. Hilang kesadaran membuatku tidak tahu kemana Radit membopongku setelah dari makam mas Igo.
"Ini rumahku, tepatnya rumah dinas dari kantorku. Bajumu basah dan kotor. Terpaksa harus diganti. Maaf, tidak ada baju perempuan disini." Radit duduk diujung pembaringan. Aku duduk di ujung pembaringan yang lain. Mencoba mengumpulkan kesadaran, dan sedikit panik saat pakaian yang menempel dibadanku adalah kepunyaannya.
"Jadi, maksudmu? Kamu membuka pakaianku?". Aku berkata sedikit histeris.
"Oh bukan, bukan. Ada staff ku tadi yang membantu mengganti bajumu, Ara." Radit terburu-buru menjelaskan. Aku bernafas lega.
"Makanlah. Perutmu kosong. Dan beristirahatlah, badanmu nampak kelelahan." Radit meletakkan semangkuk sup hangat di samping tempat tidur. Ia beranjak meninggalkanku. ***
Aku menuruni tangga perlahan setelah tertidur ditinggal Radit di kamar tadi siang. Rumah ini cukup luas dengan design minimalis. Interior setiap ruang ditata apik dan indah. Dua lukisan dari pelukis kenamaan terpajang di dinding sebelah kanan tangga yang ku lalui.
Kemeja dan celana yang ku kenakan nampak kebesaran terlihat dari cermin yang ada disalah satu sudut ruang tengah. Sofa bundar berwarna biru senada dengan karpet berwarna putih mempercantik ruangan di lantai satu ini.
"Mencari Pak Raditya ya bu?" seorang perempuam paruh baya menyapaku. Aku tersenyum tipis dan mengangguk.
"Bapak ke kantor bu, katanya ada rapat. Saya diminta menemani Bu Ara disini." Perempuan itu menghampiri.
"Ooh..tapi saya harus ke Bogor. Menemui kakak saya," kataku.
Wanita berkemeja warna navy itu mengangguk. "Oh ya perkenalkan nama saya Arumi, saya sekretaris Pak Raditya." Aku mengangguk, mengulurkan tangan membalas salam perkenalannya. Arumi mempersilahkan aku duduk di sofa ruang tengah. Suhu udara diruangan ini cukup sejuk. Ruangan berhubungan langsung dengan taman samping dengan tatanan bunga-bunganya yang menyegarkan mata. Semilir angin membuat ruangan ini terasa nyaman.
"Apa perlu saya telfonkan Bapak, Bu?" Arumi masih berdiri dihadapanku dengan sopan. Aku menggeleng.
"Tidak perlu, Saya tidak mau mengganggunya. Biar saya tunggu saja disini." jawabku.
"Baik bu." Arumi menunduk. "Di meja makan sudah disiapkan makanan bu. Mari Bu." Arumi kembali mempersilahkanku ke ruang lain yang terletak tak jauh dari ruang tengah.
"Terima kasih, Mbak. Saya belum lapar." Aku menolak tawaran sekretaris Radit itu. Beberapa jenak berlalu, Arumi masih berdiri dihadapanku seolah menunggu instruksiku kepadanya.
"Mungkin saya kembali saja ke kamar." Aku berdiri, berjalan meninggalkan Arumi yang masih saja berdiri.
YOU ARE READING
PEREMPUAN PENYULAM SABAR
General FictionNovel "Perempuan Penyulam Sabar" berkisah tentang perempuan yang berada dalam kemelut cinta dan kisruh rumah tangga yang menghantam jiwa dan membuat hidup terasa kelam. Kepahitan takdir yang akhirnya mengajarkan cara membingkai luka dan gelisah menj...