Dentum meriam bak halilintar
Langit seakan pecah menyinari bumi
Saat itu datangnya gembira
Cahaya kembang api pecahkan malamTahun yang lalu adalah guruku
Tahun yang akan datang adalah asakuSelamat tahun baru terutama
Untukmu yang selalu kucintai
Untukmu yang selalu kusayangiSebelum mereka masuk ke rumah orang tua Noah, Abby mencoba untuk mencairkan suasana ini. Ia tahu betul ada sesuatu yang tidak beres dengan Noah.
"Cobalah untuk tersenyum untuk mereka, sayang", kata Abby sambil memegang pipi Noah dengan tangannya.
Noah hanya tersenyum pelan dan memberikan kecupan ringan ke telapak tangannya lalu menggandengnya masuk.
Mereka masuk dan disambut meriah dengan kedua orang tua Noah. Mereka berbincang dengan anggota keluarga Noah yang lainnya. Noah dan Abby disambut dengan teriakan penuh kegirangan dari keponakan mereka yang masih balita. Kedua pasangan muda ini menjadi orang favorit untuk diajak main bersama. Berjalan ke daerah ruang tamu, mereka berjumpa lagi dengan Paman Louis. Raut wajahnya masih bisa terbaca dengan mudah. Masih sama dengan raut wajahnya di kedai tadi. Ketika mata Paman Louis menemui kedua figur pasangan ini, bibirnya sontak membuat lengkungan ke atas. Ia langsung tersenyum. Tersenyum dan menghapus raut wajahnya tadi.
"Hai keponakanku!", sambil memeluk Noah lalu Abby.
"Haii! Kita ketemu lagi!", sapa Abby dan memeluknya.
"Hey semua! Ayo tukar kado! Noah dan Abby sudah datang!", teriak Paman Louis dan suaranya mengisi seluruh ruangan.
Mereka kemudian duduk bersama dan bertukar kado. Ayah Noah sangat senang dengan hadiah yang diberikan oleh Abby, begitu pula dengan Ibu Abby, ia juga sangat senang dengan hadiah yang diberikan Noah. Sebaliknya, Abby mendapatkan sebuah tas oranye kecil, ia sangat menyukainya. Untuk Noah, ia mendapatkan sebuah selendang coklat dengan motif kotak-kotak. Sangat cocok untuk dirinya.
Suasana hati Noah mulai membaik dan dirinya kembali menjadi Noah yang memancarkan kebahagiaan dari dalam dirinya. Mungkin itu hanya di luarnya saja, tapi Abby sudah bahagia melihat Noah kembali menjadi dirinya. Berpura-pura menjadi dirinya.
Berjam-jam mereka berbincang dan bertukar cerita. Ruang tamu yang besar itu menjadi penuh dan hangat dengan kehadiran sanak saudara. Penuh dengan canda tawa ria. Malam tahun baru pun akhirnya tinggal beberapa menit lagi. 10 detik sebelum tahun baru, mereka berkumpul di halaman belakang rumah. Untungnya halaman rumah tersebut cukup luas, sehingga mereka semua bisa berkumpul bersama di sana. Noah dan Abby berdiri berdekatan dengan Abby berada di pelukan Noah. Noah hanya mengistirahatkan dagunya di atas kepala Abby.
"Sepuluh... Sembilan... Delapan... Tujuh... Enam... Lima... Empat... Tiga.. Dua... Satu!", teriak semua orang.
Noah dan Abby berpelukan dan mengucapkan satu sama lain "Selamat Tahun Baru". Lalu semua orang saling berpelukan dan bersalaman. Kembang api yang meriah menghiasi langit malam, suara dentuman dan percikannya mengisi langit. Kurang lebih sekitar jam 1 pagi mereka pulang ke rumah masing-masing. Kedua pasangan ini pulang dengan suasana hati yang sedikit lebih baik dibanding mereka pergi. Tapi tetap, Noah masih menutup dirinya dan tidak mau berbicara.
Abby terlebih dahulu masuk ke rumah disusul dengan Noah. Pintu ditutup dan Noah langsung menarik tangan Abby lalu memutar tubuhnya ke hadapannya.
"I'm sorry, aku minta maaf, Abs", ucap Noah menangkupkan tangannya ke wajah Abby dan langsung memeluknya kencang.
"Kenapa? Kenapa kamu yang minta maaf, sayang?", peluknya kembali sambil mengusap-usap punggung Noah.
Noah hanya terdiam menahan tangisnya, ingin rasanya ia menceritakan segala sesuatu yang terjadi, segala sesuatu yang mengganggu pikirannya. Ingin ia luapkan ke manusia mungil yang sedang dipeluknya itu. Namun ia sadar, ia tidak bisa melakukan semua itu. Ia sadar ia akan melukai Abby. Karena itu Noah hanya bisa menggelengkan kepalanya di pundak Abby. Ia tidak bisa melukai Abby, tidak lagi.
Ia tidak ingin kehilangan Abby untuk yang kedua kalinya.
"Kita duduk dulu saja, ya", lantun Abby pelan sambil menggandeng Noah.
Noah bagaikan anak kecil yang menurut kepada ibunya. Ia mengikuti kemana Abby pergi dengan pasrah. Mereka duduk di sofa krem yang berhadapan dengan televisi. Abby duduk di bagian kanan dan Noah mengistirahatkan kepalanya di pangkuan Abby lalu badannya diselonjorkan ke bagian sofa yang tersisa.
Diperhatikannya mata Noah yang mulai berkaca-kaca. Tatapannya kosong.
"Kau mau cerita?", tanya Abby lagi selagi mengusap rambut halusnya, Noah tidak berkutik.
Tak lama ia merasakan celananya basah. Noah menangis. Belum pernah ia melihat Noah menangis. Betul-betul belum pernah, selama ini yang ada Noah yang menjadi batu karangnya. Namun kini terbalik. Tangisan Noah semakin menjadi, tangisan ini bagaikan tanda luapan hatinya. Tangisan yang merepresentasikan apa yang tak sanggup ia sampaikan dengan kata-kata. Terus air matanya berjatuhan deras membasahi pipi sekaligus pangkuan Abby. Abby hanya bisa menenangkan Noah yang masih belum mengeluarkan sepatah kata pun kecuali air mata. Mencoba untuk terus kuat. Abby tidak tahan melihat orang yang menangis, ia pasti akan ikut menangis. Untuk sekarang, ia harus menjadi kuat dan menahan segala air mata yang hendak jatuh. Air mata yang terasa amat berat tertarik gravitasi.
"Shhh... Tidak apa-apa Noah, semua akan baik-baik saja", bisik Abby sambil memeluk dan sesekali mengecup kepalanya.
Di dalam hatinya ingin Noah berteriak, ingin ia memberitahukan dengan lantang layaknya seorang lelaki. Namun yang ia bisa lakukan hanyalah menggelengkan kepalanya ketika Abby mengatakan kalimat tersebut. Ia tahu bahwa semuanya tidak akan baik-baik saja. Tidak akan pernah baik-baik saja. Semua itu omong kosong. Ingin sekali ia memercayai ucapan Abby. Tapi tidak bisa, memercayai ucapan Abby sama saja membohongi dirinya sendiri. Ia belum siap untuk menceritakan semuanya. Semua ini berlalu secepat kilat. Cepat atau lambat waktunya akan datang. Ia tahu itu. Ia ingin menjadi orang yang tegar di hadapan Abby. Orang yang selalu menjadi sandaran Abby, menjadi tumpuan, dan tempat Abby mengistirahatkan jiwanya. Sayangnya, ia tahu ia tidak sanggup. Setidaknya tidak sesanggup dulu.
Tahun baru, hari baru ini seharusnya dimulai dengan permulaan yang bahagia. Bukan permulaan yang seperti ini. Permulaan yang dipenuhi rasa sesal, kesal, dan sedih. Permulaan yang diisi tangis air mata dan bukan canda tawa. Permulaan yang sama seperti waktu Noah meninggalkan Abby. Bedanya, Noah ada di sini sekarang, Noah ada membantu mengisi permulaan yang menyedihkan.
Malam belum habis untuk mereka. Noah masih bergulat dengan keheningannya. Abby masih frustasi dengan cara yang bisa ia gunakan untuk membuat Noah berbicara. Percuma saja dideskripsikan di sini mengenai keadaan dan perasaan mereka di sini. Akan terlalu aneh, panjang, dan tidak jelas. Sebab itu kenyataannya. Dua jiwa yang sedang tersesat di lika-liku kisah mereka sendiri.
![](https://img.wattpad.com/cover/169115947-288-k630827.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Guardian Angel
FanfictionAbigail, seorang wanita berusia 27 tahun yang menjalani hari-harinya dengan monoton. Hal ini berubah ketika ia menemukan sesuatu di rumahnya. Langkah kakinya yang kecil membawanya ke sebuah destinasi yang indah. Sebuah destinasi yang membuatnya engg...