Bata demi bata kususun rata
Membentuk kotak sederhana rencana kita berdua
Membantuku meratakan yang mulai miring
Dengan tangan gagahmu yang tak pernah kering
Peluhku berjatuhan, butuh waktu istirahat
Menyandarkanku pada kursi harapan
Katamu, "Jangan kau pergi"Tibalah ia sampai kepada sebuah partisi di tengah buku itu. Partisi berupa kertas coklat yang lebih tebal dibanding kertas lainnya. Dibaliknya halaman partisi itu. Tertera dengan jelas "Daftar Harapan". Dua kata ini membuat Abby semakin penasaran dengan isi halaman selanjutnya. Betul seperti dugaannya, terdapat runtutan daftar harapan yang ditulis Noah. Sudah ada yang dicoret sebagai tanda sudah dilakukan, ada pula yang masih polos. Abby membaca seluruh daftar tersebut dengan penuh perhatian. Lalu mulai dibacakannya dengan suara lembut.
✓ Pergi ke festival musik dengan Abby
✓ Mendapatkan seseorang yang sepadan sebagai pendamping hidup
Membuat ruang membaca
✓ Membuat taman kecil di belakang rumah
Membuka restoran Itali kecil bersama Abby
✓ Menyelam di Mexico dengan AbbySederet daftar harapan di atas membuat Abby menyeringai namun sedih. Terutama "restoran Itali", Noah sangat spesifik mendeskripsikannya, Noah tahu betul betapa Abby mencintai makanan Itali. Abby terkagum dengan perhatian yang Noah berikan terhadap hal sesimpel itu. Untuk kesekian kalinya, ia mengingat akan sebuah memori bersama Noah ketika ia masih di dunia. Sebuah perbincangan kecil namun mendalam, perbincangan membahas mengenai masa depan yang akan mereka ukir bersama. Kala itu, dua sejoli ini sedang mempersiapkan barang-barang yang akan mereka bawa untuk berwisata ke luar kota. Mereka sedang berada di kamar.
"Abigail", panggil Noah lengkap.
"Ya?", jawab Abby masih fokus membereskan barang-barangnya.
"Kamu suka makanan Itali, bukan?", tanya Noah memandang istrinya yang sedang berkemas.
"Kenapa kau menanyakan hal itu layaknya kita baru kenal. Kamu lucu terkadang!", jawab Abby membalas tatapan Noah sambil tertawa.
"Hanya memastikan. Ummm aku mau membagikan ideku, boleh?", tanya Noah memindahkan posisi duduknya ke sebelah Abby.
"Tentu! Tapi aku sambil berkemas, ya...", jawab Abby kembali fokus.
"Oke", sahut Noah sambil memeluk Abby dari belakang.
"Ihhh, aku tak bisa berkemas kalau begini!! Kau jangan menghalangiku, Noah!", balas Abby sambil berusaha melepaskan dirinya bagai ulat yang menggeliat.
"Itu tujuanku", sambil Noah melepaskan Abby.
"Baiklah, aku akan mendengarkanmu", Abby membenarkan posisinya.
"Pencurahan ide dimulai! Waktu Anda 5 menit dari sekarang!", ucap Abby layaknya ia seorang hakim.
"Hah, 5 menit?! Ah, terserah kamu saja!", jawab Noah frustasi.
"Hahahaha... iya, iya... ayo cerita", tawa Abby sambil mengambil kedua tangan Noah dan menggenggamnya erat.
"Langsung ke intinya saja, aku tidak bisa basa-basi, yang ada nanti basa-basi-busuk! Intinya aku mau membuka restoran Itali kecil. Soal nama restoran... aku masih memikirkannya. Aku sudah merencanakannya sejak lama, aku akan mempekerjakan seorang koki Itali asli, aku sendiri juga yang akan membantu di dapur! Nanti kau membantuku di kasir. Bagaimana? Kau setuju?", urai Noah sambil memasang wajah serius sekaligus memelas dengan harapan Abby akan menjawab iya.
"Kau gila atau apa... Restoran? Membantu di dapur?? Tadi pagi kau bahkan hampir membakar dapur kita hanya dengan memasak telur goreng, sayang!", jawab Abby tertawa lepas.
"Jangan tertawakan aku!! Ini aku serius!", balas Noah mencoba meyakinkan Abby kembali.
"Iya, iya, nanti lagi ya kita bicarakan. Kita sekarang berkemas dulu, oke?", balas Abby sambil memberikan kecupan kecil di pipi Noah.
"Baiklah", jawab Noah putus asa dan kembali berkemas.
Keheningan mengisi kamar tersebut. Abby yang asik berkemas sambil memikirkan apa yang akan mereka lakukan di luar kota, juga ada Noah yang berkemas setengah hati karena idenya dianggap remeh oleh Abby. Hingga akhirnya Abby memecahkan keheningan tersebut.
"Iya", ucap Abby cukup jelas.
"Iya apa, Abs?", tanya Noah kembali.
"Iya kita akan memikirkan tentang restoran itu nanti", lengkap Abby sambil tersenyum ke arah Noah.
"SERIUS?? KAMU TIDAK BERCANDA?", jawab Noah dengan suara kencang sambil berlari kecil ke arah Abby.
"Iya, sayang. Aku serius", senyum Abby sambil membuka tangannya dan memeluk Noah.
Noah menghantamkan dirinya ke Abby hingga mereka berdua tergeletak di lantai dengan Abby tertindih tubuh Noah. Mereka tertawa lepas dan akhirnya beralih dari berkemas menjadi membicarakan mengenai konsep restoran Itali tersebut.
Abby tertawa kecil mengingat seberapa seru kehidupan sehari-harinya ketika Noah masih ada bersama dengannya. Noah selalu berhasil membangkitkan suasana hatinya yang buruk, ia selalu berhasil membuat keadaan lebih baik. Noah selalu akan menjadi bagian besar dalam hari-harinya meskipun kini ia telah pergi ke tempat yang lebih baik.
Kembali ia menatap daftar harapan yang masih ada dalam genggamannya itu. Daftar harapan selanjutnya yang ditulis oleh Noah membuat hatinya terenyuh. Semua daftar ini masih polos, belum ada yang dicoret sama sekali.
Merancang kamar bayi bersama Abby
Membuat rumah pohon untuk keluargaku
Merencanakan perjalanan ke Kapadokia untuk ulang tahun pernikahan ke-30
Selanjutnya masih banyak lagi, namun Abby tak kuasa menahan air matanya. Air mata bahagia bercampur sedih. Bahagia karena ia tahu betapa mulia dan tulus hati suaminya itu. Bahagia karena Noah sudah merancang dan membuat perencanaan akan masa depannya bersama Abby. Di samping itu, ia sedih karena segala sesuatu yang Noah dambakan tidak dapat tercapai. Belum dapat tercapai. Sembari air matanya mengalir, Abby menaruh buku harian Noah dalam dekapannya, menaruh semua mimpi dan harapan Noah dalam dekapannya. Sekali lagi ditatapnya buku bersampul kulit itu, ditutupnya, dan diletakannya di atas meja. Ia lalu membetulkan posisi duduknya di sofa, melihat sekelilingnya yang kacau dengan hadiah dan kenangan dari Noah yang belum sempat diberikan kepadanya. Rasa bersalah sedikit timbul dalam hatinya, kelancangan akan membuka semua hadiah itu dan membiarkannya tergeletak tak bertuan di meja bahkan lantai. Tak bertuan sebab pemiliknya telah pergi meninggalkan mereka. Munafik juga rasanya jika tidak mengatakan bahwa pada saat itu, ia bahagia bisa menemukan kotak biru itu, bisa membuka singkapan, dan membongkar semuanya. Menemukan kebahagiaannya kembali, kebahagiaan yang selama ini hilang dan ia cari, hari ini ia temukan dalam sebuah kotak setinggi lututnya. Kebetulan? Mungkin. Tapi untuk Abby, ini lebih kepada sebuah pemulihan. Sebuah terapi untuk dirinya.
Di balik semua itu Abby tidak membiarkan dirinya lama-lama larut dalam kesenangan tersebut. Ia sadar bahwa semua itu hanya ada dalam pikirannya saja. Setelah 10 menit ia menangisi keironisannya, ia bangkit dari sofa, menghapus air matanya, meniup lilin yang sejak tadi menyala, dan naik ke kamarnya. Kebahagiaannya mulai luntur. Luntur karena ia terpaksa untuk kembali ke dunia nyata dan menghadapi realita yang ada. Meskipun demikian, masih ada bekas-bekas kebahagiaan yang terukir di hatinya. Masih tersisa rasa damai dan tenang yang menyelimuti hatinya. Rasa damai dan tenang yang ia rasakan sewaktu Noah masih berada di sisinya. Ia membawa perasaan dalam hatinya itu tidur. Tapi tak dapat dipungkiri ia masih sangat berharap agar mendiang suaminya, Noah, dapat kembali lagi dalam hidupnya. Dan untuk pertama kalinya lagi, Abby dapat tidur nyenyak.
![](https://img.wattpad.com/cover/169115947-288-k630827.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Guardian Angel
Fiksi PenggemarAbigail, seorang wanita berusia 27 tahun yang menjalani hari-harinya dengan monoton. Hal ini berubah ketika ia menemukan sesuatu di rumahnya. Langkah kakinya yang kecil membawanya ke sebuah destinasi yang indah. Sebuah destinasi yang membuatnya engg...