"Kamu berhutang satu pelukan padaku," ujarnya dalam sebelum menarikmu menuju pasangan pengantin yang berbahagia itu.
Ayah Jaehyun ternyata sudah lebih dulu menatap Jaehyun lekat dari jauh. Aura bahagia terpancar jelas dari matanya, dan Jaehyun benci hal itu.
"Anakku..."
Jaehyun berhenti tepat di depan Ayahnya, menatap tanpa minat dan tanpa seulas senyum.
"Selamat untuk pernikahanmu, Tuan Jung." Ada nada sedih yang tersirat di nada suara Jaehyun, kamu bisa merasakannya.
"Semoga Tuhan memberkati kalian. Dan semoga—" Jaehyun melirik wanita dalam balutan gaun putih sederhana di samping Ayahnya. "Wanita ini akan membuatmu mampu melupakan Ibuku sepenuhnya, seperti yang sudah Anda lakukan dulu."
Ayah Jaehyun terdiam menahan tangisnya. Sama seperti Jaehyun yang mencoba mempertahankan ekspresi datarnya.
"Maafkan Ayah, jika saja—"
"Jika saja waktu itu Anda tidak meminta Ibu untuk pulang sendiri sepulang kantornya demi mengantar wanita ini," Jaehyun mendesis marah, "Ibu tidak mungkin terlibat kecelakaan lalu lintas.
"Bahkan Anda lebih memilih menemani wanita ini ke dokter kandungan guna memeriksa bayi yang bahkan jelas-jelas bukan bayimu dibanding memenuhi permintaan terakhir Ibu untuk melihatmu—Ibu mungkin masih punya semangat hidupnya. Dan dia pasti masih ada di sini bersamaku."
Genggaman Jaehyun menguat, kamu menunduk dalam seraya memeluk lengan lelaki di sampingmu. Kamu bisa mendengar suara isak tangis wanita yang kini resmi menyandang status sebagai Ibu tiri Jaehyun.
"Maafkan aku, Jaehyun... Karenaku, Ibumu—"
"Jangan pernah sebut namaku dan juga Ibu! Aku muak mendengarnya dari bibirmu."
"Jaehyun..." Bisikmu lirih.
Lelaki itu memejamkan matanya, melirik tanganmu yang kian erat memeluk lengannya. Gadis'nya' takut?
"Dengar Tuan Jung, mulai sekarang jangan pernah hubungi aku lagi. Aku akan melepas marga dari mu dan mengganti namaku, dengan atau tanpa persetujuanmu," ujar Jaehyun mutlak. Kembali kepalanya mendongak angkuh, sebuah dengusan keluar dari bibirnya. "Semoga Tuhan tidak membuat kalian celaka."
Setelah mengatakan hal tersebut, Jaehyun membawamu keluar dari area gereja. Meninggalkan Ayah serta Ibu tirinya dalam penyesalan tidak terbendung.
Jaehyun berhenti ketika mereka sampai di halte bus yang pagi itu terlihat sepi. Sebuah kebetulan.
Tangan Jaehyun terulur untuk menangkup wajah gadis mungil yang sejak tadi tidak mendapat perhatiannya. Ekspresi khawatir kini tergambar di wajah Jaehyun.
"Apa aku membuatmu takut?"
Kamu menggeleng, lantas menatap Jaehyun tak kalah lekat.
"Apa...hatimu baik-baik saja?"
"Tentu!" Jaehyun tertawa. Namun kamu nampak gusar dengan suara tawa Jaehyun.
"Jaehyun, kemarilah..."
Kamu merentangkan tangan, mengisyaratkan Jaehyun untuk masuk dalam dekapanmu. Dengan dengusan dan tawa kecil, Jaehyun menunduk guna memeluk tubuhmu erat. Menyerukkan wajahnya di perpotongan lehermu dan menghidu aroma tubuhmu yang menguar lembut bercampur parfum, sebanyak yang dia mampu. Bahkan, lelaki itu menggigit bibirnya. Menahan isak tangis yang sudah berada di ujung lidah.
"Menangis kalau kamu ingin. Aku akan tetap memelukmu seperti ini," bisikmu lembut seraya mengusap punggung dan rambut Jaehyun.
Akhirnya, pertahanan Jaehyun luruh. Lelaki itu menangis tersedu dalam pelukanmu. Melepas beban yang sudah dipikulnya selama bertahun-tahun. Dan kini, beban tersebut lenyap tak bersisa. Lega sekali.