22 Oktober 2016
Baru dua hari tinggal di rumah ini, wajar bukan jika aku bingung harus melakukan apa? Ini bukan rumahku, pemilik rumah pun baru ku kenal sebulan belakangan ini. Tak ada pula yang kukenal di lingkungan ini selain Tante Gendis dan Kala. Kemarin aku yang membantu Tante Gendis membereskan rumah dan memasak. Namun, sejak pagi tante Gendis pergi menengok nenek Fatma -seorang nenek yang katanya hidup seorang diri di rumah besar yang berada di ujung komplek- alhasil bingungku tumbuh kembali.
Sejak di tinggal seorang diri di rumah aku mengitari rumah ini. kalau kemarin hanya melihat ruang tamu, ruang makan, dapur dan kamar tidurku saja, sore ini aku berani menuju taman belakang. Taman kecil dengan rumput hijau yang tampak segar. Ada waterfall dengan batuan alam yang suara airnya membuat ketenangan. Cukup lama aku di bagian belakang rumah, sampai akhirnya aku memutuskan untuk pergi karena hal menyebalkan yang Kala lakukan.
Aku malas mengingat hal yang satu ini. Sebaiknya tak perlu ku ceritakan dan segera ku lupakan.
🎶
"Keningnya kecengklak, Bang? Diurut-urut mulu," ledek Inggit. Gadis yang bersandar di pintu kamar Abangnya itu tersenyum miring melihat keadaan Asegaf.
"Pergi sana," usir Asegaf.
Inggit mendekati Kakak satu-satunya, duduk tepat di samping Asegaf lalu dengan lembut ia mengusapi punggung sang Kakak. "Sabar, nanti juga ketemu, Bang," ucapnya menghibur.
Helaan napas terdengar begitu berat. Asegaf mengacak-acak rambutnya, putus asa.
"Dia enggak punya saudara, Git, orang tuanya udah meninggal," ucap Asegaf, ia khawatir pada Akia. Semalam ia bahkan tidak bisa memejamkan mata memikirkan gadis itu.
Dimana Akia tidur? Sudah makan atau belum? Baik-baikkah keadaannya?
Pikiran-pikiran buruknya berseliweran menghantui. Inginmya ia berpikiran positif toh Akia bukan anak SMA, ia sudah cukup dewasa untuk mengurus hidupnya, tapi tetap saja Asegaf tak bisa, ia terlalu cemas, biar bagaimana pun Akia seorang perempuan.
"Kalian habis bertengkar?" Tanya Inggit usai kebisuan yang cukup lama mengelilingi keduanya.
Asegaf meneguk liurnya.
Inggit menepuk punggung Abangnya. "Abang maksa Kak Kia lagi?" Tanya Inggit. Ia tahu betul siapa Kakaknya, setiap Asegaf memiliki keinginan lelaki itu tak akan menyerah untuk mendapatkannya tapi ia pun tahu jika Asegaf terpuruk lelaki itu akan sulit bangkit.
"Abang cuma tanya, bukan maksa, Git."
"Tanya apa?"
Diam.
"Mumpung Kak Kia belum ketemu, coba istirahatin otak Abang, biar nanti bisa di pakai dengan baik dan benar saat Kak Kia kembali ke rumah ini," ucap Inggit sarkas lalu pergi meninggalkan kamar Asegaf.
🍀🍀🍀
Perempuan dengan paperbag di tangan kiri itu berdiri di antara barisan pencari nafkah lainnya.
Beberapa kali ia menarik tali ranselnya agar bebannya sedikit berkurang. Namun, tindakannya itu tak mengubah apapun. Ransel besar yang menempel di punggung itu tetap saja kelebihan muatan hingga menyulitkan pemiliknya. Sudah satu minggu ini ia berpindah-pindah tempat, dari emperan toko satu ke lainnya untuk mengistirahatkan tubuh yang seharian mencari kos-kosan atau kontrakan yang sesuai dengan kondisi keuangannya kini.Matanya sesekali melihat pergelangan tangan kirinya tempat si bulat kecil penunjuk waktu melekat, kekhawatiran mendera dirinya. Ia harus sampai sebelum pukul delapan, kalau tidak tawaran bekerja yang ia dapatkan kemarin bisa melayang.
"Mau kemana, Neng?" Tanya seorang bapak yang membawa kantung-kantung plastik ukuran besar.
"Kerja, Pak."
"Oh, kok bawaannya banyak banget, kayak mau mudik?"
Hanya senyum yang menjadi jawaban, tak ada kata yang diucapkan gadis berambut panjang itu. Ia kembali menatap jalanan, tidak menghiraukan bapak tua yang masih berdiri di dekatnya.
"Akia?"
Gadis itu menoleh, kaget melihat pemilik suara.
"Tante."
"Ya Tuhan. Kia tunggu."
Akia dengan ransel besar di punggungnya berlari menjauh dari halte. Menjauhi perempuan paruh baya yang sedang berusaha menyusulnya. Keduanya menyusuri trotoar, beberapa orang yang berada disana melihat heran, memikirkan apa yang sedang terjadi diantara dua orang tersebut. Beberapa diantaranya yang kasihan melihat perempuan paruh baya dengan kruk di tangan kanannya berjalan tergesa-gesa. Akia beberapa kali menoleh, ia tahu dirinya keterlaluan meninggalkan wanita yang pernah menolongnya tapi ia sudah berjanji pada diri sendiri tidak akan pernah memunculkan dirinya di hadapan wanita dan keluarga itu lagi.
Ia terus berlari, tak melambat apalagi berhenti. Semakin lama jarak diantara keduanya semakin jauh, membuat Akia bernapas lega bisa menghindari perempuan paruh baya tersebut.🍀🍀🍀
"Seperti biasa?"
Asegaf mengangguk, bokongnya jatuh di bar stool tepat di hadapan Mika. Perempuan dengan rambut di cepol tinggi dengan anak-anak rambut tak ikut terikat itu memperhatikan Asegaf dengan seksama. Pelanggan kedai kopinya satu ini tampak berbeda dari biasanya, wajah ramahnya menghilang terganti oleh gurat-gurat kelelahan.
"Lagi sakit?" Tanya Mika sambil menyiapkan pesanan Asegaf.
Asegaf mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis tak sampai dua detik.
"Kamu pernah lihat perempuan ini," tanya Asegaf saat Mika menyuguhkan secangkir espresso.
Mika mengambil ponsel milik Asegaf dan memperhatikan foto yang di tunjukkan oleh pria tersebut. Mika menggeleng lalu menyerahkan ponsel ke tangan Asegaf.Di letakkannya ponsel di meja bar, mata dengan kantung hitam di bawahnya itu menatap wajah dengan senyum sumringah di layar ponsel. "Saya mencarinya, sudah satu minggu ini," ucapnya dengan nada putus asa.
"Pacar kamu?" Tanya Mika sambil mengelapi meja bar.
Asegaf hanya tersenyum tipis. "Boleh saya minta tolong?" Tanyanya
Mika mengangguk.
"Kalau kamu melihatnya tolong hubungi saya," ucapnya.
"Oke," jawab Mika sambil tersenyum.
Usai menyebutkan nomor ponsel dan membayar kopi yang tak ia cicipi sedikitpun itu Asegaf pergi meninggalkan kedai kopi yang biasa ia singgahi sejak kuliah dulu.
Mengendarai mobilnya perlahan, mata Asegaf dengan jeli menyapu pinggir jalan, berharap menemukan Akia.Laju mobilnya berhenti saat lampu lalu lintas menampilkan cahaya merah, matanya kembali memperhatikan aktivitas jalanan sembari menunggu perubahan warna lampu lalu lintas. Trotoar, JPO, dan juga orang-orang yang berbaris menyebrang lewat zebra cross di perempatan jalan tersebut tak luput dari pandangannya. Ia melihat gadis yang sangat ia kenal sedang menyebrang, melewati mobil-mobil yang sedang berderet menunggu perubahan lampu lalu lintas dengan tergesa-gesa.
Asegaf bergegas meninggalkan kursi kemudi, tanpa membuang waktu ia segera berlari begitu mengetahui gadis yang tengah berlari di trotoar seberang jalan. Jalanan yang cukup padat di buat kacau usai lampu hijau menyala. Suara klakson yang bersahut-sahutan tak ia pedulikan, omelan dan makian pengguna jalan lain yang terhambat dengan keberadaan mobil Asegaf di tengah jalan tak ia ambil pusing.
"Akia!"
Berkali-kali ia meneriaki satu kata tersebut sembari menyebrang. Namun sang pemilik nama tak sedikit puu menoleh, gadis berambut panjang itu terus berlari. Asegaf mengejar Akia tanpa mempedulikan tatapan heran orang sekitar. Ia yakin matanya tak salah, gadis yang berlari dengan ransel besar di punggung itu adalah Akia.
"Kia."
Asegaf mengerutkan kening di tengah upayanya mengejar Akia, seorang wanita di atas motor meneriaki nama yang sama. Lajunya menjadi lambat karena konsentrasinya terpecah.
Siapa wanita itu?
🍀🍀🍀
KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgettable
Gizem / GerilimAku tidak pantas kamu cintai, apalagi kamu miliki, baiknya kamu mencari perempuan lain yang layak mendapatkan gelar nyonya Asegaf.