20 - Suatu Hari di Toko Buku

242 11 0
                                    

"Loh, mama mau kemana?" tanya Aureen saat melihat namanya yang sudah bersiap-siap di bawah tangga.

"Mau nganter kamu, lah. Mama udah tau pasti kamu mau berangkat ke toko buku sendirian kan?" Mamanya tertawa. Bagi Aureen itu tawa mengejek karena mungkin sudah dari dulu tak ada cowok yang menemani Aureen ke toko buku, tempat favoritnya.

"Memangnya kalo ada yang mau nganter boleh, Ma?" tanyanya lagi penasaran akan jawaban yang diberikan mamanya. Siapa tahu dibolehin, Aureen kan pastinya seneng.

"Nggak boleh!"

Aureen menghela nafas pasrah. "Tuh kan.." Dia sudah bisa menebak jawaban mamanya. Tapi, Aureen paham akan perintah mamanya.

Mamanya terlalu khawatir. Itu yang dirasakan Aureen. Menjadi anak tunggal, dan juga cewek memang sudah pasti seorang ibu akan mengkhawatirkan anak ceweknya yang harus menjadi anak 'baik-baik' dan tidak terjerumus ke pergaulan yang semakin ke sini semakin tak karuan.

"Bercanda! Boleh kok. Asal cowok yang nganter kamu izin dulu sama mama."

Setelah mengatakan itu, Aureen langsung menoleh ke arah Erin-mamanya. Erin tertawa sumringah sembari menatap anaknya yang sudah tumbuh besar.

"S-siapa juga yang bilang kalo mau dianter cowok? Aureen kan nggak bilang, Ma." ujarnya dengan kesal.

"Ya, terus siapa yang mau nganter kamu?" Dan, sekarang Aureen terdiam. Iya juga ya. Dia saja tak punya teman yang bahkan dalam artian dekat (layaknya sahabat) sama sekali.

Kalau sudah begini, Aureen sudah nggak tau mau ngomong apa lagi. Dia diam saja. Berusaha mengalihkan pembicaraan tapi nggak tau mau bicarain apa. Duh.

Aureen melirik jam warna peach yang melingkar di tangannya. Jarum jam menunjuk angka sepuluh lebih lima belas menit. Mungkin kalau tambah siang, cuaca akan makin panas dan toko bukunya makin rame.

"Yuk ah, Ma. Nanti kesiangan." ajaknya pada Erin.

"Yang ngajakin ngobrol duluan siapa atuh, Neng."

Aureen menggaruk lehernya yang tak gatal. Merasa canggung setelah mengakhiri obrolan itu.

|Why Me?|

Deretan rak-rak di toko ini mungkin hampir seluruhnya sudah ia telusuri. Tapi, sampai sekarang dia hanya mendapat dua buku saja. Buku soal-soal untuk olim matematikanya nanti, juga buku tips and trick SNMPTN walau ia baru kelas sebelas.

Sebagian orang berpikir, kalau Aureen terlalu rajin belajar. Dia mengakui itu. Bagaimana lagi.  Aureen memang harus melakukan hal itu.

Dia bisa parno sendiri kalau sedang membayangkan kehidupan setelah SMA nya. Dimana nanti dia akan kuliah, di jurusan apa, universitas negeri atau swasta, atau mungkin sekolah kedinasan. Entahlah, dia juga tak tau.

Dia menyusuri rak buku fiksi untuk kedua kalinya. Bisa dibilang, dia jarang membaca buku fiksi. Mungkin karena mama dan papanya sudah menerapkan 2:10 untuk bacaan fiksi dan non fiksi.

Jadi, kalau dia sudah membaca lima buku non fiksi, dia boleh membaca buku bergenre fiksi satu kali saja. Begitupula jika ia sudah membaca buku non fiksi sepuluh, dia boleh membaca dua buku fiksi.

Ribet memang.

Hal sekecil itu saja diatur oleh keluarganya. Tapi, bagi Aureen, orangtuanya sangat membatasi bacaannya. Itu hal bagus baginya.

Dia melihat rak novel. Ada satu buku yang menarik perhatiannya. Novel yang sampulnya berwarna hitam itu diambilnya lalu ia membaca blurb nya. Tak membutuhkan waktu lama, dia mengambil buku itu berniat membelinya.

Why Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang