Afriz benar-benar menjemput Zaya, sesuai dengan apa yang dikatakan. Hanya saja, dia datang lebih awal dari hari rencana kepulangan Zaya. Maka istrinya itu jelas-jelas kaget saat mendapatinya sudah ada di depan mata.
"Mas kan harusnya jemput akunya besok. Kok sekarang udah sampai sini?" protes Zaya. "Lupa apa gimana, sih, Mas? Terus kan katanya Mas pulang besok, kok lebih cepet?" tanyanya, masih heran sekaligus kaget.
"Nggak enak kayanya kalau mau nolak ajakan nonton bareng dari istri," jawab Afriz santai. Sambil senyum-senyum pula.
"Hah?"
Afriz nyengir. "Kamu kan kemarin bilang kalau nanti malam ada pertunjukan wayang. Jadi, Mas ke sini sekarang. Mau memenuhi ajakan nonton terselubung dari kamu itu."
"Kan aku udah bilang, aku nggak ngajak nonton. Cuma ngasih tahu. Kalau Mas mau nonton, ya nonton aja sendiri."
"Zaya, Zaya. Bukannya dibikinkan minum, suamimu malah diajak ribut." Pak Kuswin baru pulang dari ladang. Tampak dari tangan kiri pria itu yang masih memegangi gagang cangkul yang tersampir di pundak kokohnya.
Mungkin karena saking asyik dan sibuknya ribut, sepasang pengantin yang terbilang masih baru itu sampai tak mendengar ucapan salam dari lawan bicara mereka. Walau begitu, keduanya langsung menyalami laki-laki paruh baya itu.
"Ya Mas ini, Pak. Orang Zaya nggak ngajak dia nonton wayang, dia bilangnya Zaya ngajak dia nonton. Zaya kan nggak suka nonton wayang," sahut Zaya sambil menatap ayahnya yang sedang membelakanginya untuk meletakkan cangkul hingga menempel di pagar rumah.
Sedangkan Pak Kuswin justru tertawa kecil. Sangat paham bahwa anak keduanya ini tidak pernah suka menonton pertunjukan apa pun yang ada di desa, karena lebih senang menyibukkan diri di rumah.
Pak Kuswin kini mendekati putrinya. "Tapi ya tidak begitu caranya, Zaya. Kamu kan bisa bilang ke suamimu secara baik-baik, nanti biar Bapak yang menemani suamimu nonton wayang. Lagi pula kamu ini aneh juga. Kalau dia nonton sendiri, dia ini bisa nyasar. Dia kan tidak tahu tempat pertunjukan wayangnya ada di mana."
Zaya meringis, begitu menyadari kebodohannya sendiri. Lalu menoleh kepada suaminya. "Maaf ya, Mas, dari tadi aku ngomongnya udah ngegas," ucapnya.
Sementara di sisi lain, Afriz hanya tersenyum. Karena selama menjadi suami wanita muda di depannya ini, perdebatan tak penting seperti tadi memang kerap terjadi bahkan sudah menjadi makanan sehari-hari.
Dia berusaha mengerti jika karena hal-hal sepele saja bisa menjadi sumber keributan. Tetapi itu sekaligus pancingan agar Zaya mau berbicara dan tak hanya banyak diam seperti saat awal pernikahan mereka, yang jujur saja membuat rumah tangga mereka menjadi kaku. Setidaknya, kebawelan Zaya terhadapnya itu bisa mencairkan kebekuan serta kecanggungan di antara keduanya.
Lagi pula, walau sudah ribut-ribut tidak jelas begitu, Zaya tetap melayani kebutuhan suaminya dengan baik. Seperti saat ini, wanita itu sudah membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat dan sepiring gethuk.
Sebab, entah memang terbuat dari apa hati perempuan itu, Zaya sebetulnya adalah pribadi yang gampang pulih dari kejengkelan ataupun rasa marah. Dan itu yang membuat Afriz tak segan untuk sekadar menggoda istrinya sendiri.
Zaya sebenarnya hendak kembali ke dapur, jika Afriz tak segera menahan gerakannya.
Afriz menepuk-nepuk sisa ruang di sampingnya. "Duduk dulu sebentar. Mas mau ngomong."
Zaya pun menurut, duduk di bangku yang sama dengan suaminya itu. "Mau ngajak nonton wayang? Tadi kan Bapak udah bilang, katanya Bapak yang mau nemenin Mas nonton."
KAMU SEDANG MEMBACA
Keliru: Nyasar di Hati yang Benar
RomanceMenerima perjodohan, membuat Zaya dan Afriz harus meraba-raba tujuan pernikahan mereka. Zaya sendiri tak berharap banyak. Tak ada yang bisa ia harapkan dari pernikahan semacam itu, walau ia mau menjalaninya sepenuh hati. Dan inilah awal kesalahannya...