Keputusan Zaya untuk tak ikut menyaksikan pertunjukan wayang pada malam hari ini, ternyata bukan keputusan yang tepat. Ia kini di rumah sendirian.
Sedangkan Ibunya mengajak Faiz menyaksikan wayang, bahkan berangkat lebih awal daripada suami dan ayahnya. Mau tak mau hal tersebut membuat Zaya sedikit menyesal karena tadi bersikeras untuk tidak ikut. Karena baik menonton ataupun tidak, ia tak kunjung bisa tidur.
Suasana di luar rumah, tepatnya di jalan cor-coran yang terletak di atas rumahnya, sangat berisik oleh suara banyak laki-laki.
Sepertinya mereka sedang mabuk berat. Omongannya tak jelas, dan hanya terdengar teriakan-teriakannya saja. Kadang malah tak nyambung antara sahutan yang satu dengan balasan lainnya.
"Wani po karo aku? Rene gelut siji lawan siji! Wanine mung keroyokan!" (Berani sama saya? Sini berantem satu lawan satu! Beraninya cuma keroyokan!)
"Wis-wis, rasah bengak-bengok. Wis bengi, kok. Mbribeni wong sing turu." (Sudah-sudah, tidak usah teriak-teriak. Mengganggu orang yang tidur."
"Luweh, iki lambeku kok kowe melu-melu ngurusi!" (Biar, ini bibirku kok kamu ikut campur!)
"Yo bener iku lambemu, tutukmu. Ding sing krungu suoromu yo wong liyo barang, ora mung kowe thok. Mbok yo sethithik edhang." (Ya betul itu bibirmu, mulutmu. Tapi yang dengar suara kamu itu orang lain juga, bukan hanya kamu. Tolong, pengertian sedikit.)
"Lha wong mung perkoro lambeku gawe omong aku dhewe kok protes wae." (Orang cuma perkara bibirku buat ngomong aku sendiri kok protes terus.)
Entah apa lagi yang mereka bicarakan, Zaya sudah tak lagi mendengar secara jelas. Ia sudah kadung ketakutan. Terlebih, suara benturan yang entah dari mana asalnya pun mulai menguasai indra pendengarannya saat ini. Tak jarang ada suara sesuatu yang seperti sengaja dilemparkan ke genteng rumahnya, entah apa tujuannya.
Di tengah ketakutannya, Zaya masih sempat-sempatnya bergumam, "Tontonannya di mana, yang rame di mana."
Zaya memaksa matanya untuk terpejam dan menutup telinganya agar tak mendengar keributan itu, namun hasilnya nihil. Teriakan orang-orang tak tahu diri itu terus menggema, bahkan terdengar lebih keras saat Zaya sudah menutup seluruh tubuhnya dari kaki hingga kepala menggunakan selimut.
Perempuan itu rela kesusahan bernapas, kalau memang hal tersebut bisa meredam suara-suara keras sekaligus bar-bar tersebut.
Padahal dulu, -duluuu sekali- ia pernah menjadi gadis pemberani. Kala itu ia sama sekali tak gentar untuk mendekati dan mengomeli orang-orang yang berlaku tak patut. Selain itu, atas keberanian yang ditunjukkan, Zaya bahkan dipertemukan dengan cinta pertamanya tatkala ia masih duduk di bangku SMP.
Entah kenapa watak tersebut kini hilang dan berubah seratus delapan puluh derajat seperti sekarang, ia sendiri pun tak mengerti. Sekarang ia justru meringkuk tak berdaya seperti ini. Terpaksa mendengar apa yang tak ingin ia dengar.
Salah satu dari para pemabuk itu bilang, bahwa suara mereka yang menggelegar sekarang, dan kebiasaan mereka menenggak minuman beralkohol adalah hak penuh mereka untuk memiliki kebebasan di negara yang 'katanya' sudah merdeka selama 74 tahun ini.
Karena mereka membeli minuman tersebut dengan uang mereka sendiri, tidak meminta kepada orang lain, tidak pula menyusahkan orang lain. Mereka mengatasnamakan hak asasi sebagai manusia yang bebas dan merdeka. Akan tetapi, haruskah mereka merampas hak Zaya untuk sekadar tidur dengan nyenyak pada malam hari ini?
Mereka mungkin belum paham apa bedanya merdeka dan semaunya sendiri; apa bedanya bebas dan perilaku primitif, karena masih terjajah oleh kebodohannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keliru: Nyasar di Hati yang Benar
RomanceMenerima perjodohan, membuat Zaya dan Afriz harus meraba-raba tujuan pernikahan mereka. Zaya sendiri tak berharap banyak. Tak ada yang bisa ia harapkan dari pernikahan semacam itu, walau ia mau menjalaninya sepenuh hati. Dan inilah awal kesalahannya...