4. Dampak Tadi Malam (2)

13.6K 1.2K 32
                                    

"Pemandangan di sini benar-benar bagus, ya, Pak," ucap Afriz tanpa mengurangi konsentrasinya pada motor yang sedang dikendarainya.

"Oh, ya jelas. Kampungnya bapak, kok," tanggap Pak Kuswin setengah bercanda. "Makanya kamu sering-sering ke sini, biar Bapak bisa mengajak kamu jalan-jalan keliling kampung," lanjutnya.

Afriz tentu saja mengiyakan perkataan ayah mertuanya itu. Lalu dia berkonsentrasi penuh untuk mengendalikan laju motor yang kini melintasi kubangan air sisa hujan tadi malam. Selain becek dan licin, jalannya pun naik-turun.

"Wuuu!" teriaknya saat berhasil melewati kubangan lumpur.

Dia benar-benar seperti kembali ke masa muda, ketika masih sering trek-trekan bersama teman-temannya. Beruntung, motor yang dipakai kali ini sudah terbilang butut, walau tenaganya masih prima. Jadi dia tak khawatir akan merusak motor milik bapak mertuanya ini.

Sedangkan Pak Kuswin hanya tertawa melihat tingkah menantunya yang seolah mendapatkan mainan baru. "Kamu suka trek-trekan, ya, Le?" tanyanya.

"Wah iya, Pak. Dulu, tapi."

"Pantesan terasa gesit, walaupun jalannya jelek dan motor bapak sudah butut seperti ini."

Afriz hanya tertawa menanggapi pernyataan Pak Kuswin. "Malah asyik lho, Pak."

"Nanti berhenti di ujung turunan, ya, Le."

Bagi Afriz, tidak ada salahnya menjadi penurut terhadap mertua yang seru seperti Pak Kuswin. "Siap, Pak."

Motor berhenti di tempat yang dimaksud oleh Pak Kuswin. Afriz dan pemboncengnya pun turun, kemudian mengangkat seikat besar rumput segar untuk dinaikkan ke motor.

Pak Kuswin dengan telaten mengikatkan rumput di atas motor menggunakan tali dari ban dalam bekas. "Bisa bawanya, Le?" tanyanya memastikan, mengingat ukuran sekumpulan rumput yang diikat itu mencapai dua setengah kali tubuh Afriz.

"Bisa, Pak. Aman," sahut Afriz mantap. Perasaannya membuncah karena nanti dirinya akan trek-trekan lagi. Dia benar-benar mendapat mainan baru.

"Ya sudah. Nanti kalau kesulitan ngangkatnya, kamu taruh di halaman rumah saja. Kita taruh di kandang sama-sama kalau bapak sudah pulang, ya, Le."

"Ya, Pak." Afriz mengatur gigi motor. "Jalan dulu, ya, Pak. Assalamu'alaikum."

Afriz melajukan motor secara hati-hati. Ini agak lebih sulit daripada saat berangkat tadi, karena sekarang dirinya membawa beban rumput.

Perjalanan yang sulit ini, mau tidak mau membuat Afriz takjub atas ketangguhan mertua laki-lakinya, yang belum dia miliki seujung kuku pun. Jika sebelumnya dia mengagumi pengendara motor mahal yang sengaja melintasi jalur sulit karena hobi, kini pandangannya sudah jauh berubah.

Warga Dusun Matamu, khususnya sang mertua, justru naik motor seadanya sambil membawa beban yang berkali-kali lipat lebih besar daripada berat tubuhnya sendiri. Jalur yang dilewati adalah jalan yang biasanya dilalui oleh motor trail yang terkenal mahal. Bukan atas nama hobi yang mempersulit diri sendiri, tetapi memang inilah cara warga lokal memanfaatkan teknologi untuk meringankan pekerjaan.

Jarak berkilo-kilometer ditempuh oleh Afriz selama 20 menit. Lelaki itu berhenti di halaman rumah Pak Kuswin dengan wajah cerah, sampai-sampai Zaya yang sedang menjemur pakaian dibuat heran olehnya.

Afriz tak berbicara. Dia hanya bersiul-siul riang saat turun dari motor, kemudian melepaskan tali yang mengikat rumput dengan motor. Lalu lelaki itu mengangkat rumput tersebut untuk diletakkan di halaman rumah. Setelahnya, dia naik motor lagi, kemudian tanpa sepatah kata, melesat ke tempat Pak Kuswin sedang menunggunya.

Seikat besar rumput sudah menanti untuk diangkut lagi. Sebelum mengangkat dan memosisikan rumput di motor, Pak Kuswin menanyakan perjalanan Afriz barusan, khawatir kalau menantunya itu kapok membantu.

"Mana mungkin kapok, Pak. Malah asyik, kok. Jauh lebih menantang ketimbang hobi saya dulu," tanggap Afriz meyakinkan mertuanya bahwa ini tidak merepotkan.

Pak Kuswin menatap menantunya dengan pandangan takjub. Merasa beruntung karena anaknya mendapatkan suami yang begitu pengertian sekaligus konyol seperti itu. Benar-benar menantu jempolan!

Tak ada alasan baginya untuk tidak memercayakan masa depan putrinya kepada sosok yang kian jauh itu.

***

"Kabarnya, Zaya sudah menikah. Kira-kira sudah dua atau tiga bulan ini, lah."

Pam seketika menoleh. Mencari kebenaran dari apa yang dikatakan oleh sahabat yang merangkap sebagai mata-matanya itu. Ada gemuruh di dadanya saat mendengar pemberitahuan barusan.

Bagaimana dirinya bisa kecolongan sejauh ini?

"Sudahlah, move on saja. Cari yang lain, masih banyak perawan ting-ting yang mau denganmu. Hatimu tak usah dibikin ambyar, nanti malah jadi cendol dawet kan repot."

Berbeda dengan sahabatnya yang tertawa tak jelas, Pam mengabaikan seloroh barusan. "Suaminya Zaya orang mana? Orang daerah sini?"

Tentu saja Pam tak akan bisa terima jika pada kenyataannya Zaya dinikahi oleh orang di desanya. Itu manusia lancang namanya!

"Mau apa kamu tanya-tanya soal suaminya Zaya orang mana?"

"Cuma ingin tahu. Tinggal jawab saja suaminya Zaya itu siapa."

"Ndhak usah! Nanti jadi perkara seperti dulu. Aku ogah disangkut-pautkan."

Pam mendengus mendengar pernyataan sahabatnya yang sama sekali tak memahaminya kali ini. "Suami Zaya tak lebih ganteng dari aku, kan?" Saking tak tahunya membahas apa, dia sampai membanding-bandingkan rupanya dengan tampang suami Zaya.

"Lebih ganteng kamu, dan kamu lebih muda daripada suaminya Zaya. Sudah puas?"

Belum puas dengan jawaban lawan bicaranya, Pam menggeleng. "Kalau begitu, harusnya Zaya tak menikah dengan dia. Karena dia lebih tua dan tak lebih ganteng."

"Ya kamu kelamaan mikirnya, sih. Jadi dia lebih milih yang pasti-pasti saja."

"Zaya yang minta aku nunggu, paling tidak sampai dia lulus kuliah dan dapat kerjaan. Tapi nyatanya?"

"Ambyaaaarrr!!!"

🍂🍂🍂

Keliru: Nyasar di Hati yang BenarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang