7. Menghadapi Masa Lalu

4.5K 449 33
                                    

Selamat Membaca

Karenina duduk di dalam kafe tempat dia janjian dengan Yoga dengan gugup. Berkali-kali dia mengusap keringat dingin di kedua telapak tangannya.
Karen gugup, dia sibuk berpikir bagaimana dia memulai pembicaraan dengan Yoga.

Hingga ketika Yoga sudah sampai di hadapan Karen pun, gadis itu belum sadar dari lamunannya.

Yoga berdehem pelan untuk menyadarkan Karen. Karen tersentak kaget dan pandangan keduanya segera bertemu.

"Oh, Pak.. udah dateng, silahkan duduk Pak." Karen segera bangkit dari duduknya, mempersilahkan Yoga untuk duduk.

Tidak ada yang memulai pembicaraan sampai keduanya selesai memesan minum.

"Bapak.."
"Kamu.."
Hingga akhirnya mereka bicara bersamaan, berhenti dan kemudian tertawa bersama ketika menyadari betapa canggungnya suasana itu.

"Tau kayak gini harusnya saya bawa Desti ya, dia pandai memeriahkan suasana." Yoga bicara di sela tawanya.

"Desti?" Ulang Karen merasa tak yakin, karena seingat Karen, Indah pernah menyebutkan secara tidak sengaja bahwa istrinya Yoga bernama Sandra.

"Iya, Desti. Anak saya umurnya 3 tahun ini." Jelas Yoga, Yoga memutuskan tidak akan berbohong ketika dia bertemu Karen.

"Oh.." Karen bingung harus merespon apa perkataan Yoga itu.

"Kemaren saya sempat bertanya sama Bu Nadia tentang kamu, tapi belum sempat bertanya banyak saya ditelpon orang rumah, bilang kalo Desti jatuh dari tangga." Entahlah, Yoga sendiri tidak mengerti kenapa dia harus bicara serinci ini.

"Terus gimana keadaannya sekarang?" Karen tidak menutupi raut khawatirnya.

"Alhamdulillah nggak papa.. Cuman ya gitu, dia kalo ngerasa sakit sedikit aja manjanya minta ampun, kayak kamu.." pandangan Yoga menerawang sambil tersenyum.

Karen juga ikut tersenyum. Dia bahkan bisa membayangkan bagaimana raut wajah anak perempuan Yoga ini.

"Kamu... gimana kabarnya Ren?" Yoga bertanya setelah keheningan beberapa saat.

Karen mengangguk sebelum menjawab.
"Saya baik Pak, seperti yang bapak lihat." Karen memilih jawaban aman.

"Nadia bilang, bapak ingin bicara sama saya. Ada apa ya Pak?" Karen melanjutkan, agaknya dia ingin cepat-cepat ini segera berakhir.

Yoga menghela napas panjang.
"Kamu nggak merasa.. bahwa banyak hal yang belum selesai di antara kita?" Yoga balik bertanya.

"Maksud bapak apa? Apa yang belum selesai di antara kita? Apa kita pernah memulai sesuatu hingga kita perlu menyelesaikannya?" Karen terengah setelah memuntahkan kalimat itu.

Karen bukan seseorang yang suka mengumbar emosi di depan orang banyak. Dia tidak suka konfrontasi.
Tapi, kali ini dia merasa perlu untuk mengeluarkan semuanya di depan lelaki yang kini duduk di hadapannya.

"Yah, benar. Kita memang bahkan tidak pernah memulai sesuatu. Belum.. Tapi, tidakkah semua perkataan saya dan respon kamu membuktikan bahwa kita pernah terikat di masa lalu? Atau.. cuman saya yang menganggap bahwa semua itu penting?"
Yoga tidak bisa lagi mempertahankan gaya tenang andalannya, matanya memerah.

Karen yang mendengar itu terbelalak tak percaya, kenapa jadi aku yang disalahkan?

"Bapak nyalahin saya? Bapak yang tiba-tiba memutuskan menikah." Karen berusaha mengontrol nada suaranya agar tidak menarik perhatian pengunjung lainnya.

"Ya, dan bahkan kamu tidak tinggal untuk mendengarkan penjelasan saya. Kamu pergi, kamu memblock semua akses untuk saya bisa menghubungi kamu."

Kedua tangan Karen yang disembunyikan di bawah meja sudah gemetar hebat. Sekuat mungkin Karen menahan air matanya mendengar penuturan bertubi-tubi Yoga.

Schicksal (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang