Suara denting jam dinding berdetak begitu kencang seolah meramaikan suasana sunyi pada rumah sederhana di atas tanah berukuran 5x12meter. Bercat putih dengan warna yang memulai memudar di setiap sudut dindingnya seolah mengisyaratkan akan pudarnya aura kebahagiaan pada rumah itu. Sebuah kursi usang dilengkapi dengan meja persegi penuh koran berserakan di atasnya.
Pak Bagas, lelaki berpostur tinggi memakai celana katun hitam dan berkemeja biru tengah asyik mengepulkan asap dari mulutnya dengan pandangan kosong tertuju ke langit-langit ruangan tersebut. Seperti ada sesuatu yang serius sedang dipikirkannya.
"Yah ... ayah, Arkan lapar, Yah," rengeknya sembari memegang tangan sang ayah.
Tiada sepatah kata yang terucap dari bibirnya hanya helaan napas panjang yang ia hembuskan beserta sisa asap rokok yang keluar dari indra penciumannya.
"Arkan lapar, Yah!" bentaknya seperti sudah tak tahan lagi menunggu sang ayah menjawabnya.
"Sudah makan saja seadanya itu di meja dapur!" jawab Pak Bagas sinis.
"Tapi cuma nasi saja, Arkan pengen makan dengan ayam goreng seperti teman-teman di sekolah tadi, Yah," pinta Arkan.
"Goreng saja si hitam, ayam kesayanganmu itu daripada bikin ribut terus tiap pagi mengganggu tidur Ayah saja!" ucap Pak Bagas ketus.
"Ga boleh, itu ayam kesayangan Arkan, Ayah tidak boleh memotongnya!" cetus anak lelaki yang baru duduk di bangku kelas 5 SD.
Arkan seketika berlari meraih ayam kesayangannya lalu menggendongnya menjauh dari sang ayah.
"Arkan lebih baik tidak makan ayam goreng daripada kehilangan si hitam," gerutunya sambil mengelus punggung si hitam, ayam jago kesayangannya.
Ayam jago berwarna hitam itu seolah menjadi saksi bisu keseharian Arkan menghabiskan waktunya sambil menanti kepulangan sang ayah mengais rezeki yang tak menentu. Pak Bagas bekerja serabutan, kadang pulang hingga larut. Tak jarang Arkan menanti kepulangan ayahnya dan tertidur dengan perut menahan lapar. Terkadang ia mendapatkan makanan dari belas kasihan tetangganya yang merasa tidak tega melihat kondisinya. Namun dengan diam-diam mereka memberi tanpa sepengetahuan ayahnya. Pak Bagas pasti marah dan menghukumnya jika ayahnya tau dan menuduh Arkan telah meminta-minta.
"Ayo lekas makan, itu sudah ada telor dadar kesukaanmu" tukas Pak Bagas menghampiri Arkan.
"Hore... ," teriaknya sambil melepas si hitam dan berlari menuju dapur.
"Wah, enak! Coba ada ibu di sini pasti Arkan tidak kelaparan terus," cetusnya sambil memotong telur dadar yang menutupi nasi. Arkan rindu Ibu, Yah... ."
Arkana memutar-mutar nasi dalam piring di depannya dengan tatapan kosong sambil membayangkan sosok ibu yang telah ia rindukan. Sudah hampir lima tahun berlalu ia tak berjumpa dengan wanita yang telah melahirkan dan merawatnya penuh kasih. Kasih sayang itu ia dapatkan hanya sampai berumur enam tahun. Sebuah mahligai pernikahan yang awalnya indah lambat laut porak poranda. Perpisahan yang terpaksa karena keadaan meninggalkan luka di hati anak sekecil itu. Luka yang membekas di hati dan entah kapan bisa terobati.
"Sudah habiskan makananmu!" bentak sang ayah membuyarkan lamunan Arkan. Jangan kamu ungkit-ungkit lagi kenangan tentang ibumu. Ayah bosan mendengar keluhanmu seperti itu terus. Belum tentu ibumu juga memikirkan kita."
"Andai saja Ayah tidak bersikap seperti itu terhadap Ibu, mungkin aku tidak akan bernasib seperti ini!" timpal Arkan sambil membanting sendok di depan sang ayah.
Hal tersebut membuat Pak Bagas naik pitam dan seketika berdiri dengan wajah memerah dan tatapan melotot ke arah putra tunggalnya. Arkan pun berlari meninggalkan sang ayah dengan kemarahannya. Ia membanting pintu kamarnya lalu menundukkan kepalanya di balik pintu kamar yang tertutup. Terisak dalam kesendirian dan rindu yang sekian lama tertahan dalam palung hatinya.
"Arkan ... Arkana, buka pintunya!" teriak sang ayah.
YOU ARE READING
SURGA ARKANA
General FictionArkana, anak lelaki yang baru duduk di kelas 5 SD. Semenjak kedua orang tuanya berpisah, dia kurang mendapat perhatian. Pelariannya adalah mencari perhatian serta kasih sayang dari guru kelasnya. Di kelas ia suka bertingkah semaunya sendiri dan tid...