"Arkan, sekarang anggap saja Bu Sekar sebagai ibumu. Boleh ga Ibu main ke rumahmu?"
"Tentu saja boleh. Tapi... "
"Tapi kenapa?" tanya Bu Sekar.
"Tapi rumah Arkan jelek dan kotor. Bu Sekar pasti tidak mau ke rumah."
Bu Sekar tersenyum mendengar jawaban anak didiknya.
"Arkan tidak boleh bicara seperti itu. Kamu harus bersyukur sudah punya tempat tinggal untuk beristirahat, tidak kehujanan dan kedinginan bila malam. Selain itu juga bisa berkumpul bersama ayah. Bu Sekar tentu saja mau berkunjung ke rumah Arkan."
"Asyik, Bu Sekar main ke rumah, ya?"
"Iya, nanti suatu saat Ibu pasti ke rumah Arkan. Ya sudah sekarang istirahat dulu."
Arkan meninggalkan kelas dan bergabung dengan teman-temannya bermain di halaman sekolah. Bu Sekar merapikan meja guru yang terletak di sudut kelas lalu beranjak menuju ruang guru.
"Bu Sekar, bagaimana murid-murid apa tidak ada yang membuat onar setelah beberapa hari ini mengajar di sekolah ini?" tanya Bu Ana, kepala sekolah. "Terutama Agus dan Arkana, mereka sering berseteru."
"Alhamdulilah selama saya mengajar mereka tidak membuat gaduh, Bu. Namun, saya sedikit penasaran dengan sikap Arkana tadi di kelas. Ia menolak untuk menghafal doa untuk orangtua. Apakah terjadi sesuatu dengan Arkana, Bu?" tanya Bu Sekar.
"Begini Bu, dahulu saat Arkana masih di kelas 1, ia adalah anak yang pandai. Arkana begitu ceria dan disukai banyak teman. Namun, setelah ia ditinggalkan sang ibu sikapnya jadi berubah."
"Ditinggalkan sang ibu bagaimana maksudnya, Bu?" tanya Bu Sekar penasaran.
"Saya kurang paham masalah apa yang menimpa orangtua Arkana. Yang saya tahu Arkana tinggal bersama sang ayah. Sejak berpisah, anak itu tidak tahu kabar lagi tentang ibunya."
"Oh jadi begitu, pantas saja ia tadi bilang tidak pernah bertemu dengan ibunya," ucap Bu Sekar.
"Itulah yang menyebabkan sikapnya berubah. Arkana menjadi pemurung, mudah emosi, prestasinya menurun. Tapi dalam pelajaran matematika nilainya selalu bagus," jelas Bu Ana.
Disela-sela pembicaraan itu Bu Dewi, guru matematika kelas 5 datang memasuki ruangan guru.
"Nah, itu Bu Dewi datang mungkin beliau bisa menambahkan," tutur Bu Ana sambil memandang Bu Dewi yang berjalan mendekati meja kerjanya yang berdampingan dengan meja Bu Sekar.
"Ada apa Bu Ana, Bu Sekar seperti membicarakan sesuatu yang serius?" selidik Bu Dewi.
"Saya sedang mencari tahu tentang Arkana, Bu," tukas Bu Sekar.
"Memangnya kenapa dengan Arkana? Anak yang suka membuat onar di kelas itu. Tidak ada gunanya juga Bu Sekar mencari tahu," jawab Bu Dewi sinis.
"Membuat onar, maksudnya?" tanya Bu Sekar penasaran.
"Di kelas ia selalu ramai sendiri, tidak pernah fokus jika saya menjelaskan materi pelajaran. Makanya saya sering menghukumnya."
"Masak? Tapi di kelas saya tadi Arkan tidak seperti yang Bu Dewi ucapkan," balas Bu Sekar.
Bu Ana mengedipkan mata ke arah Bu Sekar sebagai tanda untuk menghentikan pembicaraan.
"Sudah, kita lanjutkan lain waktu saja pembicaraannya. Bel tanda selesai istirahat sudah berbunyi. Lekas masuk ke kelas masing-masing, anak-anak biar tidak menunggu!" perintah Bu Ana.
Bu Dewi mengambil beberapa buku yang tertata rapi di meja kerjanya. Ia beranjak pergi meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata. Guru matematika itu seperti menampakkan ketidaksukaannya bila Bu Sekar memperhatikan Arkana.
"Bu Sekar tunggu dulu!"
Bu Ana menghentikan langkah Bu Sekar. Kini hanya mereka berdua yang ada di ruang guru.
"Untung saja Bu Sekar tadi paham dengan kode yang saya berikan," ucapnya sedikit tertawa.
"Sebetulnya Bu Dewi itu tidak menyukai Arkana lantaran nilainya selalu unggul dari Agus, keponakan kesayangannya. Padahal Agus lah yang sering mengganggu Arkana tapi beliau sering menghukum Arkan."
"Pantas saja ucapannya seperti sinis tadi. Tapi ... Seharusnya Bu Dewi tidak boleh bersikap seperti itu. Kasihan Arkana, Bu. Setiap anak pasti punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sebagai guru kita harus bersikap netral," jelas Bu Sekar.
"Entahlah, saya sudah pernah mencoba menasehatinya. Tapi tetap saja beliau seperti itu. Mungkin ada sebab lain yang tidak kita ketahui."
"Ya sudah, saya akan coba mencari cara mendamaikan mereka. Cepat atau lambat semoga ada jalan keluar. Terlebih lagi sekarang saya menjadi wali kelas Arkana. Kalau begitu saya pamit masuk kelas dulu, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," balas Bu Ana.
Kepala sekolah itu memandang punggung Bu Sekar hingga menjauhi ruangan. Ada sebuah pengharapan di dalam hatinya agar bisa mengembalikan keceriaan dan prestasi Arkan melalui kesabaran Bu Sekar.
***
Jam sekolah telah usai, semua murid berebut keluar kelas. Terlihat beberapa anak sudah siap dijemput oleh orangtua masing-masing. Namun tidak untuk Arkana. Ia hanya menatap pasrah dan menyunggingkan senyum ketika melihat teman-temannya dijemput oleh ibu mereka.
"Seandainya saja aku seperti itu, ada ibu yang menjemputku menunggu di depan gerbang sekolah," gumamnya.
Ia pun melangkah pergi meninggalkan keriuhan anak-anak yang bergembira bertemu dengan orangtua. Ada yang merengek meminta makanan atau mainan yang dijajakan di depan gerbang sekolah. Arkan hanya ingin menjauh dari suasana itu. Seorang diri menyusuri trotoar jalan.
"Arkan ... Tunggu!" panggil seseorang dari kejauhan.
***
YOU ARE READING
SURGA ARKANA
General FictionArkana, anak lelaki yang baru duduk di kelas 5 SD. Semenjak kedua orang tuanya berpisah, dia kurang mendapat perhatian. Pelariannya adalah mencari perhatian serta kasih sayang dari guru kelasnya. Di kelas ia suka bertingkah semaunya sendiri dan tid...