"Aduh, perutku jadi sakit," rintihnya.
"Arkan ... Arkan! Kenapa ada bungkus nasi baru di bak sampah?" teriak Pak Bagas di teras rumah.
Pak Bagas membuang bungkus nasi yang baru dibelinya. Biasanya bak sampah itu selalu kosong hanya sampah dedaunan dari pohon mangga yang tumbuh di depan rumahnya.
Arkan seketika panik mendengar teriakan sang ayah. Ia bergegas keluar kamar menuju sumber panggilan itu.
"I ... i ... ya, Yah," napasnya tersengal-sengal.
"Siapa yang memberimu makanan? Kenapa sudah ada bungkus nasi di bak sampah!" seru Pak Bagas.
"Itu ... ehm... "
"Lekas jawab!" bentak Pak Bagas.
Arkan begitu panik dan tidak tahu harus bagaimana ia menjawabnya.
"Pak Bagas, maaf tadi saya yang membuang bungkus nasi itu karena bak sampah di rumah sudah penuh."
Tante Rani, tetangga yang baik hati itu bergegas ke luar rumah setelah mendengar Pak Bagas memarahi Arkan.
"Oh Mbak Rani, saya takut kalau Arkan meminta-minta makanan."
"Tidak, Pak. Arkan tidak pernah meminta-minta. Tolong jangan memarahinya," pinta Tante Rani.
Arkan menghela napas panjang, tetangga baik hati itu telah menyelamatkannya dari kemarahan sang ayah.
"Kalau begitu saya permisi dulu ya, Pak Bagas, Arkan."
Tante Rani meninggalkan pasangan ayah dan anak itu sambil mengedipkan matanya ke arah Arkan sebagai tanda tetap jaga rahasia.
Ketegangan pun mencair, Pak Bagas duduk di teras rumahnya memandang jauh bersama kepulan asap yang ke luar dari lubang hidungnya.
"Ayah, jangan terlalu banyak merokok," ucap Arkan mengingatkan.
Pak Bagas hanya melirik Arkan dengan tatapan sinis tanda tidak setuju dengan ucapan sang anak.
"Kamu masih kecil tau apa. Sudah jangan suka mengatur Ayah!" jawabnya.
"Ayah apa tidak ingat waktu ibu sakit dulu? Ibu batuk tak kunjung sembuh juga gara-gara Ayah."
Ucapan anak lelaki semata wayangnya seolah mengingatkan kenangan lama yang telah ia kubur dalam-dalam.
"Apa kamu bilang?" sahutnya terkejut.
"Ia benar ibu sakit gara-gara Ayah. Berkali-kali nenek mengingatkan jangan merokok di dekat ibu tapi Ayah mengabaikannya. Membawa ibu berobat ketika sakitnya kambuh juga tidak mau. Seandainya... "
"Hei bicara apa kamu, Arkan!"
Belum selesai Arkan melanjutkan kalimatnya namun sang ayah geram mendengar celoteh anak lelaki itu.
"Tau apa kamu tentang ibumu? Tugasmu hanya sekolah dan sekolah. Jangan mengungkit-ungkitnya lagi!" kelakar sang ayah.
"Seandainya saja Ayah tidak egois mungkin ibu masih di sini bersama kita. Dan aku tidak akan diejek terus oleh teman-teman karena tidak punya ibu," balas Arkan dengan mata berkaca-kaca.
Pak Bagas diam terpaku mendengar celoteh Arkan. Seakan tak peduli dengan keluh kesah sang anak yang merindukan ibunya. Batang demi batang rokok seolah menjadi teman setia kala sepi yang terpendam dalam relung hatinya.
Arkan meninggalkan sang ayah dalam kebisuan seolah menyerah dengan apa yang telah terjadi.
Bulir air mata menetes tak tertahankan. Sebuah foto sang ibu dengan wajah tersenyum menjadi penyemangat kala kerinduan dan kesedihan menghampiri.
Melihat senyum pada foto itu membuat Arkan teringat akan awal perjumpaannya dengan Bu Sekar. Senyum itu mirip dengan guru barunya.
***
Pelajaran Agama Islam pertama bersama Bu Sekar pun dimulai. Entah mengapa Arkan begitu bersemangat di kelas. Ia teringat ibunya saat melihat senyum wali kelas baru itu.
"Arkan tidak boleh beristirahat kalau tidak belajar menghafal doa ini, ya?" bujuk Bu Sekar. "Teman-temanmu sudah bisa semua. Hanya kamu yang belum bisa membaca doa untuk kedua orang tua ini."
"Tidak mau Bu, sulit! Arkan tidak bisa menghafalnya."
"Pelan-pelan nanti kamu pasti bisa. Coba ucapkan," pinta Bu Sekar.
"Allohummaghfirlii waliwaa... ."
"Kenapa berhenti? Doa itu bagus untuk kedua orangtuamu. Ayo, coba lagi."
Arkan hanya terdiam menunduk pasrah. Sepertinya ia mulai lelah. Seolah tidak ada semangat dalam dirinya untuk menghafal doa itu.
"Ya sudah, kamu hafalkan sendiri bersama ibu atau ayahmu di rumah."
"Arkan tidak mau membaca doa ini lagi, Bu. Sudah lama Arkan tidak bertemu ibu dan tidak tau di mana. Sedangkan ayah sibuk bekerja dan tidak mengizinkan untuk bertemu ibu," jawabnya lirih.
Bu Sekar terkejut mendengar ucapan murid yang baru dikenalnya itu. Ia pandang lekat wajah Arkan yang tertunduk lesu. Terlihat dari raut wajahnya ada kesedihan dan kerinduan mendalam akan kasih sayang seorang ibu.
Tak terasa bulir air mata menetes dari sudut matanya. Ada rasa sesak melihat anak sekecil itu jauh dari kasih sayang orangtua. Sementara Bu Sekar harus bersabar menanti dan rindu akan hadirnya buah hati yang tak kunjung datang dalam mahligai pernikahannya.
"Bu ... Bu Sekar, kenapa menangis?"
Guru Agama itu menghapus air matanya dan tersenyum lalu membelai lembut muridnya.
"Arkan, sekarang anggap saja Bu Sekar sebagai ibumu. Boleh ga Ibu main ke rumahmu?"
***
YOU ARE READING
SURGA ARKANA
General FictionArkana, anak lelaki yang baru duduk di kelas 5 SD. Semenjak kedua orang tuanya berpisah, dia kurang mendapat perhatian. Pelariannya adalah mencari perhatian serta kasih sayang dari guru kelasnya. Di kelas ia suka bertingkah semaunya sendiri dan tid...