"Arkan ... Tunggu!" panggil seseorang dari kejauhan disertai suara klakson motor matic hitam terus berbunyi.
Anak kecil itu menghentikan langkah setelah mendengar seseorang memanggil namanya.
"Arkan, ayo saya antar pulang!"
"Bu Sekar!" ucapnya terkejut.
"Bu Sekar diam-diam mengikutimu. Rupanya saya kalah cepat dengan langkahmu. Maaf sudah mengagetkan," jelasnya.
"Tidak usah, Bu. Arkan pulang sendiri saja lagian juga sudah dekat. Itu tinggal belok kiri di perempatan jalan," tunjuk Arkan.
"Ibu kan tadi sudah janji mau main ke rumahmu," balas Bu Sekar.
"Mmm ... Bagaimana ya?" jawab Arkan sambil menggaruk-garuk kepalanya dengan jari telunjuk.
Arkan nampak kebingungan. Ia takut ayahnya tidak akan suka jika ada orang asing berkunjung ke rumahnya.
"Semoga saja ayah belum pulang," gumamnya dalam hati.
"Arkan! Kok malah melamun?"
"Ehm ... Iya, Bu Sekar boleh mengantarku pulang."
"Kalau begitu ayo lekas naik!"
Murid dan guru itu pun melaju menyusuri jalanan yang tidak begitu ramai. Ada rasa tenang di hati Arkan saat Bu Sekar memboncengnya.
"Seandainya saja ini ibuku, pasti aku akan memelukmu erat. Sambil menikmati hembusan angin di siang hari dan berbincang tentang hari-hariku di sekolah," gumam Arkan.
"Arkan, yang mana rumahmu?"
Panggilan Bu Sekar membuyarkan lamunannya.
"Eh, yang itu Bu! Rumah paling pojok," tunjuk Arkan.
Bu Sekar menghentikan laju motornya tepat di depan rumah yang ditunjuk Arkan. Rumah bercat putih tanpa pagar dengan pohon mangga tumbuh tinggi melindungi halaman depan rumah itu dari panasnya matahari.
"Nah, sudah sampai. Ayo turun! Bu Sekar apa tidak kamu ajak masuk atau Arkan ikut ke rumah Ibu saja?" goda Bu Sekar.
"Oh iya, sampai lupa keasyikan dibonceng Ibu. Sudah lama Arkan tidak pernah naik motor," jawabnya tersipu.
Arkana mengambil kunci rumah di dalam tasnya lalu membuka perlahan pintu kayu yang mulai memudar warnanya.
"Bu Sekar apa mau masuk? Maaf Bu, rumah Arkan sangat kotor."
"Tidak apa-apa, Ibu senang kok bisa mengantarmu pulang."
Guru Agama itu mengedarkan pandangan ke dalam rumah Arkan. Menyusuri pemandangan di setiap sudut ruangan. Tak terawat, penuh debu dan bekas rokok berserakan di meja. Jauh sekali dengan kondisi rumahnya yang selalu bersih dan tertata rapi penuh tanaman menghiasi.
"Arkan selalu sendiri selepas sekolah?" tanya Bu Sekar membuka pembicaraan.
"Iya Bu, Arkan sendirian paling-paling bermain sama si hitam, ayam jagoanku di kandang belakang rumah," jawabnya tersenyum.
"Lalu, kalau Arkan lapar bagaimana?"
"Itu ada nasi!"
Arkan menunjukkan alat penanak nasi berukuran kecil yang tertata rapi di atas meja.
"Cuma nasi?" tanya Bu Sekar penasaran.
"Iya, Bu. Kalau ayah belum punya uang lebih ya terpaksa makan dengan nasi saja," jawabnya polos.
Ada rasa gemuruh di hati Bu Sekar mendengar jawaban Arkan. Tak terasa bulir air mata menetes membasahi pipinya.
"Bu Sekar menangis?"
"Ehm, tidak kok!"
Bu Sekar segera menghapus air mata itu.
"Arkan, ayo ikut Ibu membeli makanan. Kamu pasti lapar, kan? Ibu juga lapar nich."
"Hore, boleh ya, Bu?" balas Arkan kegirangan.
"Tentu saja boleh, Nak!"
"Tapi Bu... " Arkan tertunduk lesu.
"Kenapa?" tanya Bu Sekar penasaran.
"Arkan takut ayah pulang sebentar lagi."
"Tidak apa-apa cuma sebentar. Tadi Ibu lihat ada warung makan di perempatan."
"Baiklah Bu," jawabnya pasrah.
Guru dan murid itu pun berjalan beriringan. Bu Sekar bersiap menyalakan motor hitamnya.
"Hei, siapa kamu?" teriak seseorang.
Arkan terkejut mendengar suara itu.
"Bu, itu ayah! Aduh bagaimana ini, Arkan takut, Bu?" ucapnya panik.
"Arkan tenang, ada Ibu di sini jangan takut."
Tiba-tiba saja Pak Bagas datang mempercepat langkahnya mendekati Bu Sekar dan anak lelakinya.
"Siapa kamu? Seenaknya saja membawa anak saya!" hardik Pak Bagas.
"Maaf Pak sebelumnya saya sudah lancang memasuki rumah Bapak. Perkenalkan saya Bu Sekar, wali kelas Arkan yang baru. Maaf tadi cuma ingin mengantar Arkan pulang," jelas Bu Sekar dengan wajah nampak anggun dan tenang.
"Sudah jangan sok baik hati membantu. Arkan biar tidak jadi anak manja. Biarkan ia pulang sendiri seperti biasanya!" hardiknya.
"Ayah, tolong jangan memarahi Bu Sekar. Arkan yang salah sudah mau menerima ajakan Bu Sekar," ucap Arkan memohon.
"Sudah berkali-kali Ayah bilang, jangan suka menerima bantuan orang lain!" bentak Pak Bagas geram.
"Cepat masuk sana dan ini makanan untukmu!"
Pak Bagas menyuruh Arkan memasuki rumah dengan melemparkan sebungkus lauk yang berada di dalam kantong plastik hitam. Lemparan itu tepat mengenai dahinya. Dengan penuh rasa takut Arkan terpaksa meninggalkan Bu Sekar di halaman rumah di depan amarah sang ayah.
"Dan kamu, cepat pergi dari rumah ini! Ingat jangan sekali-kali membantu Arkan, aku masih sanggup menghidupinya!" kelakar Pak Bagas.
"Maaf Pak, saya mohon tolong jangan salahkan Arkan. Saya yang bersalah sudah mengajaknya ke luar tanpa seizin Bapak," ucap Bu Sekar memohon.
"Sudah pergi saja! Jangan terlalu ikut campur dengan hidup anakku," sergah Pak Bagas.
"Tapi Arkan adalah murid saya dan saya berhak memberikan yang terbaik untuk Arkan demi masa depannya nanti," balas Bu Sekar.
"Tau apa kamu dengan masa depan anakku!"
Arkan hanya bisa menyaksikan ketegangan itu di balik tirai jendela di dalam rumahnya. Hal yang ditakutkan terjadi. Ia tak menyangka ayahnya akan semarah itu terhadap Bu Sekar.
"Ayah jangan memarahi Bu Sekar. Beliau sangat baik kepada Arkan."
Arkan tiba-tiba ke luar berusaha menenangkan suasana. Ia tidak tega melihat gurunya dimarahi oleh sang ayah.
"Masuk! Jangan ikut campur, ayo cepat masuk!" teriak Pak Bagas.
"Arkan, masuk sana! Jangan khawatir, Ibu tidak apa-apa, Nak," tutur Bu Sekar pelan. "Saya permisi dulu, sekali lagi saya mohon maaf dan perlu Bapak ingat saya akan tetap membantu Arkan. Permisi, Assalamualaikum."
Guru baik hati itu pun menyalakan mesin motor dan melaju dengan pelan meninggalkan Pak Bagas tanpa menjawab salam yang diucapkannya. Di atas laju motor, bulir air mata tak terasa menetes kembali. Ada rasa sesak di dalam hatinya menyaksikan anak didiknya hidup sendiri dengan sifat keras sang ayah tanpa belaian lembut seorang ibu yang setiap saat bisa membela anak itu.
"Bu, berhenti dulu!"
(Bersambung)
***

YOU ARE READING
SURGA ARKANA
Ficción GeneralArkana, anak lelaki yang baru duduk di kelas 5 SD. Semenjak kedua orang tuanya berpisah, dia kurang mendapat perhatian. Pelariannya adalah mencari perhatian serta kasih sayang dari guru kelasnya. Di kelas ia suka bertingkah semaunya sendiri dan tid...