PANDANGAN PERTAMA

54 3 1
                                    

Ejekan Agus semakin membuat Arkan tidak bisa menahan diri.

"Agus, awasss!" teriak Bu Dewi.

Dengan sigap guru matematika itu berhasil menghadang kepalan tangan Arkana yang hampir saja mengenai wajah Agus.

"Arkan, tahan amarahmu!" seru Bu Dewi.

"Maaf Bu, Arkan tidak suka dengan ucapan Agus."

"Ayo lekas minta maaf."

"Tidak mau, Agus yang salah bukan Arkan," dengusnya sambil menatap tajam ke arah Agus.

Ke dua murid yang saling emosi itu hanya berdiam diri tanpa ada yang mengalah untuk mendahului mengucap kata maaf. Arkan meninggalkan kelas begitu saja dengan rasa amarah yang tertahan di hatinya. Sudah sejak lama ia menahan diri agar tidak terpancing emosi dengan kelakuan Agus yang sering mengejeknya. Namun, kali ini ia benar-benar begitu jengkel terhadap Agus. Hingga tak terasa genggaman tangannya hampir melukai Agus. Bu Dewi mungkin saja tetap membela Agus lantaran ia adalah keponakan sang guru.

Di luar kelas Arkan menatap kosong tugas yang diberikan Bu Dewi.

"Ayo cepat kerjakan, jangan dipandangi terus bukunya," ucap Bu Dewi mengagetkan lamunannya.

Tak ada jawaban sepatah kata pun, Arkana hanya diam tanpa menyauti ucapan gurunya.

"Sst ... Arkan, ada Bu Dewi di belakangmu," bisik Doni sambil menggerakkan sikunya ke tangan Arkan.

"Biar aja, aku ga peduli. Bu Dewi pasti tetap membela keponakannya," gumamnya lirih.

"Apa yang kamu ucapkan, Arkan?"

"Betul, kan? Bu Dewi pasti membela Agus?" ucap Arkan kesal.

"Sudah cepat kerjakan! Kalau tidak selesai akan Ibu tambah lagi tugasnya."

Bu Dewi meninggalkan Doni dan Arkan duduk di beranda depan kelas. Doni begitu bersemangat untuk menyelesaikan tugas tersebut. Sementara Arkan hanya memandangi bukunya dengan wajah lesu.

"Arkan, aku sudah selesai. Kamu kenapa malah melamun?"

"Sudah kamu masuk saja. Biarkan aku di sini sendiri. Aku malas mengerjakannya."

"Tapi ... apa kamu tidak takut Bu Dewi akan memberikan hukuman lebih berat lagi?"

"Aku tidak takut. Aku masih jengkel dengan sikap Agus tadi, membuatku tidak bersemangat sekolah saja. Awas kamu, Agus!" dengus Arkan.

"Ya sudah terserah kamu sekarang. Aku masuk kelas dulu."

Doni meninggalkan Arkana seorang diri. Sementara Arkana hanya membisu sambil membolak-balik buku dihadapannya. Hingga bel tanda istirahat berbunyi tak ia hiraukan. Semua murid berhamburan ke luar kelas saling berebut menuju kantin sekolah.

Bu Dewi menghampiri Arkana. Ibu guru itu menggeleng melihat tingkah Arkana.

"Sepertinya kamu tidak peduli dengan ucapan Bu Dewi."

"Arkan tidak mau mengerjakannya sebelum Agus meminta maaf. Ia selalu saja mengejekku di depan teman-teman, Bu."

"Sekarang panggil Agus, itu dia berlari-larian di lapangan," tunjuk Bu Dewi.

"Agus ... ke sini sebentar!" teriak Bu Dewi sambil melambaikan tangannya.

Seketika Agus berlari menghampiri menuruti perintah bibi sekaligus guru sekolahnya itu.

"Ada apa, Bu?" ucapnya dengan nafas tersengal-sengal.

"Agus, Arkan sekarang kalian saling meminta maaf dan berjanji tidak akan mengejek Arkana terus."

"Tidak ... Agus tidak mau! Memang betul kan Arkan tiap hari bau pesing seragamnya. Pantas saja dia kan tidak punya ibu."

Ucapan Agus membuat Arkana semakin meradang. Bu Dewi sampai kebingungan mendamaikan mereka berdua. Diam-diam beliau sudah tahu bahwa tidak mungkin keponakannya itu mau meminta maaf kepada Arkana. Agus merasa iri terhadap Arkana karena nilai matematika teman sekelasnya itu selalu lebih unggul. Hal itulah yang membuat Agus sering mengejek Arkana untuk menumpahkan kekesalannya.

"Tidak!" bentak Arkana kesal mendengar ucapan Agus.

"Aku punya Ibu. Arkana punya Ibu."

Kali ini Arkana benar-benar meradang, terlebih lagi menyangkut tentang ibunya. Ia berusaha menarik badan Agus dan hendak memukulnya. Lagi-lagi Bu Dewi berhasil menghalangi kemarahannya. Semua murid yang tengah asyik beristirahat di halaman sekolah terhenyak menyaksikan keributan antara Agus dan Arkana. Bu Dewi seperti kewalahan mengendalikan sikap Arkana. Ia terus berusaha menarik seragam Agus hingga membuat berantakan. Segenggam kepalan tangan akhirnya melayang ke wajah Agus hingga pipinya tampak kemerahan.

Agus pun tidak terima dan berusaha membalas apa yang telah dilakukan Arkan. Mereka saling tarik-menarik, Bu Dewi kebingungan berada di tengah antara mereka. Murid-murid yang sedang beristirahat hanya terpaku melihat aksi Agus dan Arkan.

"Amel, cepat panggil Bu Ana di ruang guru!" pekik Bu Dewi kepada salah satu muridnya.

Amel segera berlari sesuai perintah Bu Dewi. Tak lama kemudian Bu Ana kepala sekolah dasar tersebut bergegas datang.

"Ada apa ini ribut-ribut?" tanya Bu Ana penasaran.

"Bu Dewi lebih baik kita bawa mereka ke ruang guru saja. Tidak enak dilihat murid-murid yang lain."

Lalu Bu Ana menggandeng Arkan diikuti Bu Dewi dan Agus menuju ruang guru. Di dalam ruangan itu Bu Dewi menjelaskan apa yang sudah terjadi. Bu Ana sepertinya sudah hafal dengan tingkah Arkan dan Agus yang tidak pernah akur. Ke dua murid itu pun hanya berjabat tangan dengan sengit masih menyimpan rasa kejengkelannya. Arkan belum benar-benar memaafkan Agus.

Arkan meninggalkan ruangan guru begitu saja dengan kesedihan di hatinya. Ucapan Agus tentang ibunya masih terngiang. Ia melangkah dengan menahan air mata di sudut matanya. Beberapa tumpukan buku dalam genggaman tangan seseorang berjatuhan dihadapannya.

"Ma ... maaf."

Hanya sepatah kata ia ucapkan sambil meraih buku yang telah jatuhkan. Ia berjalan begitu cepat hingga tanpa sadar telah menabrak seseorang.

"Lain kali hati-hati ya, Nak. Kalau jalan jangan menunduk terus," ucap wanita itu lembut.

Suara nyaring dan lembut itu membuat Arkan terkesima dan langsung menatap wanita dihadapannya.

"Kenapa menangis?" tanya wanita itu.

Arkan membisu menatap lekat wajah wanita berkerudung panjang berwarna hijau muda.

"Siapa wanita ini? Aku seperti mengenalnya," gumam Arkan


***


SURGA ARKANAWhere stories live. Discover now