"Kalau boleh Ibu tau, tadi Arkan berdoa apa ya?" tanya Anita.
"Iya, Ayah juga ingin tau," sahut Pak Bagas.
"Hmm ... Arkan ingin ... ingin di setiap ulang tahun Arkan ada Ayah dan Ibu menemani. Itu doa Arkan," jawabnya polos.
"Aamiin, doakan Ibu dan Ayah selalu sehat ya, Nak? Insya Allah kami akan selalu menemanimu," balas Anita.
Kedua orangtua yang sedang berbahagia itu memeluk erat putra semata wayangnya. Rumah sederhana penuh kasih bahagia diantara mereka menambah indahnya langit senja. Seindah hati Arkana dalam balutan kasih orangtua. Kebersamaan yang akan selalu membekas dalam hati anak itu.
***
Mentari bersinar cerah, secerah hati Arkan menyambut pagi bersama ayah dan ibunya.
Makanan favorit anak itu telah tersaji hangat di meja makan.
"Ayam goreng Ibu memang paling enak. Arkan bawa bekal ini saja ya, Bu?" ucapnya riang.
"Iya, jangan lupa berbagi dengan teman-teman di sekolah nanti. Sudah Ibu bawakan lebih di kotak makanmu. Lekas habiskan sarapannya, Ayah sudah menunggu di depan!"
"Arkan, jangan lama-lama sarapannya! Ayah nanti terlambat bekerja. Belum mengantar kamu ke sekolah lagi," panggil Pak Bagas sambil menyalakan mesin motornya di teras rumah.
Arkan makan dengan cepat dan lahap setelah mendengar panggilan ayahnya. Ia menggenggam ayam goreng yang tersisa sambil berlari mendekati Pak Bagas.
"Arka, habiskan dulu ayam goreng ditanganmu! Tidak boleh makan dijalanan. Cuci tangan sebentar, Ayah pasti mau menunggumu," ucap Anita mengingatkan.
"Ehm ... iya Bu, maaf Arkan tergesa-gesa takut ayah terlambat bekerja," jawabnya tersenyum lebar.
Tak lama kemudian, Ayah dan anak itu sudah siap di atas motor matic hitam kesayangan Pak Bagas.
"Aduh senangnya yang habis berulang tahun. Kue buatan ibumu enak lho. Terima kasih Arkan, kuenya," ucap Tante Rani sambil menyirami tanaman di teras rumah yang bersebelahan dengan rumah Arkan.
"Sama-sama, Tante. Tapi, jangan lupa nanti kado buat Arkan, ya?" jawab Arkan tersenyum.
"Sstt ... Arkan tidak boleh meminta-minta!" saut Pak Bagas.
"Iya, Arkan tidak boleh begitu," tambah Anita. "Ya sudah lekas berangkat biar tidak terlambat."
"Ayah berangkat dulu ya, Bu. Assalamualaikum," ucap Pak Bagas.
"Waalaikumsalam," jawab Anita dan Tante Rani bersamaan.
Anita menatap punggung Arkan yang semakin menjauh meninggalkan rumah. Harapan dan kebahagiaan terbesar yang ia miliki, Arkan dan Pak Bagas.
"Semoga aku bisa menemani mereka hingga akhir hayatku," gumamnya lirih sambil menatap nanar keberangkatan Arkan dan Pak Bagas, suaminya.
"Bu Anita, terima kasih kuenya," ucap Tante Rani.
Panggilan tetangganya itu membuyarkan lamunan Anita.
"Oh, iya Tante Rani. Maaf tadi sedikit melamun," balasnya.
"Pagi-pagi jangan melamun. Nanti hilang lho cantiknya," goda Tante Rani.
"Ah, Tante Rani bisa saja," jawab Anita tersipu.
"Sebenarnya saya senang sekali melihat keluarga Bu Anita. Apalagi Arkan, begitu ceria."
"Maksudnya?" tanya Anita.
"Saya ikut senang melihat kekompakan Bu Anita dan Pak Bagas membesarkan Arkan. Setiap hari terlihat bahagia penuh canda tawa. Kadang sampai terdengar lho dari rumah tawa kalian," goda Tante Rani tertawa.
"Aduh, maafkan kami kalau membuat gaduh," tukas Anita tersipu.
"Tidak apa-apa, tak perlu meminta maaf, Bu. Justru saya ikut senang bisa bertetangga dekat dengan kalian. Saya jadi tidak merasa kesepian bersama suami dengan celoteh Arkan," balas Tante Rani.
"Semoga Tante Rani segera dikaruniai keturunan, ya? Agar Arkan punya teman bermain di rumah," ucap Anita.
"Aamiin, terima kasih atas doanya, Bu Anita. Ibu sudah mengizinkan Arkan main ke rumah selepas sekolah saja saya sudah sangat senang," jawabnya tersenyum.
"Anak saya begitu akrab dengan Tante Rani. Anggap saja Arkan sudah seperti anak Tante Rani. Semoga tidak merepotkan kalau bermain. Ya sudah, saya melanjutkan pekerjaan rumah dulu," tukas Anita.
"Baik Bu, silakan dilanjutkan," ujar Tante Rani.
Kedua wanita bertetangga itu pun melanjutkan kegiatannya masing-masing. Saling berharap hubungan baik selalu terjalin walaupun sekadar tetangga.
Gawai Anita berbunyi sebagai tanda pesan masuk tetapi tak ia hiraukan. Setelah terdengar beberapa kali, gawai di atas lemari penyimpan makanan segera diraihnya.
"Siapa sich tumben masih pagi ada yang mengirim pesan," gerutunya.
Layar berukuran 5,5 inch itu pun iya buka. Tertera nama Mama mengirim pesan berkali-kali.
[Anita, Mama rindu dengan Arkan, cucuku. Bagaimana kabar kalian di rumah? Apakah semuanya baik-baik saja? Semoga Mama bisa segera menjenguk kalian. Sampaikan salam untuk cucuku. Bukankah ia sedang berulang tahun?]
Anita tertegun setelah membaca pesan dari sang ibu. Waktu begitu cepat berlalu. Ia tersadar beberapa minggu ini jarang menghubungi ibunya. Pesan dari nenek Arkan segera dibalasnya.
[Maafkan Anita jarang memberi kabar beberapa minggu ini. Mama dan Papa semoga selalu sehat di sana. Arkan begitu gembira karena kemarin hari ulang tahunnya. Sudah kami rayakan secara sederhana di rumah. Semoga Anita bisa segera berkunjung ke rumah Mama bersama Arkan dan Mas Bagas]
Ada kerinduan yang tertahan dalam hatinya. Semenjak Arkan memasuki Taman Kanak-Kanak, Anita jarang berkunjung ke rumah orangtuanya. Padahal hanya butuh waktu tidak sampai 1 jam perjalanan menuju ke rumah kakek dan nenek Arkan yang berada di pusat kota.
Sekelebat memori muncul dalam benak Anita. Perjodohan yang sudah dipersiapkan orangtuanya ia tolak mentah-mentah. Cintanya sudah tertambat pada Bagas, pria sederhana yang sudah meluluhkan hatinya. Saat itu Anita mengancam akan meninggalkan rumah bila tidak diizinkan hidup bersama dengan Bagas.
Mau tidak mau orangtua Anita menuruti pilihan putri tunggalnya. Setelah kelahiran Arkana, kekakuan Bagas dengan mertuanya sedikit mencair. Papa dan Mama Anita lama-lama mau menerima sosok Bagas sebagai menantunya.
Baru beberapa menit Anita membalas pesan dari sang ibu, gawai yang digenggamnya kembali berdering.
"Mas Bagas, tumben belum jam istirahat sudah meneleponku?" gumamnya lirih menatap layar ponsel.
Segera ia menerima panggilan telepon itu dengan sedikit cemas.
"Assalamualaikum. Ayah, tumben sudah menelepon. Sudah kangen ya sama Ibu," goda Anita tersenyum agar tak nampak cemas.
"Waalaikumsalam, Bu ... Ibu ... ," jawab Bagas terbata.
"Ayah, kenapa? Apa terjadi sesuatu?" ucap Anita panik.
"Iya, Bu. Terjadi sesuatu di kantor Ayah!"
"Kenapa Ibu mendengar seperti ada suara sirine ambulance. Ayah kenapa?" selidik Anita panik.
"Bu, nanti Ayah telepon kembali!" jawab Bagas singkat.
Terdengar suara panggilan ditutup seketika oleh Bagas, suaminya.
Jantung Anita berdegup kencang. Gawai dalam genggaman ia cengkeram erat melampiaskan ketakutan akan keadaan suaminya.
"Ya Allah lindungi suamiku," gumamnya lirih.
(bersambung)
***
![](https://img.wattpad.com/cover/169678397-288-k171579.jpg)
YOU ARE READING
SURGA ARKANA
Genel KurguArkana, anak lelaki yang baru duduk di kelas 5 SD. Semenjak kedua orang tuanya berpisah, dia kurang mendapat perhatian. Pelariannya adalah mencari perhatian serta kasih sayang dari guru kelasnya. Di kelas ia suka bertingkah semaunya sendiri dan tid...