Terisak dalam kesendirian dan rindu yang sekian lama tertahan dalam palung hatinya.
"Arkan ... Arkana, buka pintu!" teriak sang ayah.
Arkana tak menghiraukan seruan ayahnya. Hanya rasa kesal yang bergemuruh di dalam hati anak kecil itu. Ia hanya ingin tahu mengapa sang ayah selalu melarang untuk bertemu wanita yang telah melahirkannya. Bagi Arkana, apa yang terjadi seperti mengerjakan PR matematika yang belum bisa terpecahkan rumusnya.
Sebuah foto berukuran 8 x 12 cm tersimpan rapi di bawah tumpukan buku sekolah pada meja belajar berwarna coklat yang mulai rapuh dan usang. Hanya foto itu yang tersisa sebagai teman di kala malam dan sepi membelenggu jiwa anak lelaki yang rindu akan pelukan sang ibu. Foto itu ia ambil diam-diam saat Pak Bagas telah membuangnya ke tempat sampah.
Sebuah nama terselip di balik foto itu, Anita Arsita. Ia tatap lekat dengan derai air mata membasahi pipinya. Wanita yang cantik dan anggun dengan rambut lurus panjang tergerai pada foto itu seolah tersenyum manis membalas tatapan Arkana.
"Ibu ... Ibu ... dimana Ibu sekarang? Apakah Ibu tidak merindukan Arkan juga?" ucapnya lirih hingga membawanya terlelap ke alam mimpi.
***
Sinar sang surya menembus kaca jendela tanpa kelambu pada kamar tidur berukuran 3x3 meter itu. Arkana bergegas mempersiapkan diri untuk berangkat sekolah. Keadaan membuat ia menjadi lebih mandiri dan bertanggung jawab. Meskipun sering membuat gaduh, sekolah tetap menjadi tempat favoritnya. Dengan bersekolah ia merasa tidak kesepian terlebih lagi teman-temannya sering memberi makanan untuknya.
Arkana keluar dari kamar dengan pintu sedikit terbuka. Ia memastikan sang ayah apakah masih berada di rumah atau tidak. Perdebatan kecil semalam membuatnya sedikit malas untuk bertemu kembali.
"Yes, ayah sudah berangkat kerja!" ucapnya girang.
Arkana menyantap dengan lahap sepiring nasi di meja makan ditambah sisa telur dadar semalam. Penghasilan Pak Bagas yang tak menentu membuatnya menerima apa saja yang telah tersedia. Walaupun hanya dengan nasi dan garam pun sering ia makan.
Dibalik sikap ayahnya yang keras, Arkana yakin suatu saat nanti Pak Bagas akan bersikap lembut kepadanya lagi seperti dulu saat ibunya masih berkumpul bersama. Mungkin ada sesuatu yang tersembunyi dan belum bisa ia pahami. Hal tersebut membuat rasa penasarannya semakin tinggi. Tak heran jika ia sering menanyakan kepada Ayahnya tentang keberadaan sang ibu. Namun, tak pernah ada jawaban yang terlontar dari mulut Pak Bagas.
***
Arkana melangkah menuju ke sekolah yang jaraknya tak jauh dari rumah hanya cukup beberapa menit saja. Terlihat Pak Tarjo, penjaga keamanan sekolah menyambutnya dengan senyum ramah.
"Selamat pagi, Arkan," sapa Pak Tarjo.
"Pagi... Pak Tarjo," jawab Arkan penuh semangat.
"Arkan, Bu Dewi sudah menunggumu di kelas. Tadi beliau sudah berpesan. Lekas masuk kelas, ya?"
"Iya Pak!"
"Ada apa ya?" gumam Arkan sambil menggaruk kepalanya. Wah, jangan-jangan!"
Seketika Arkana berlari menuju ke ruang kelas.
Diintipnya guru matematika yang dikenal tegas dan disiplin terhadap semua murid itu dari balik jendela ruang kelas.
Terlihat Bu Dewi sedang sibuk mengoreksi tugas matematika. Arkan ingat bahwa ia mengumpulkan tugas itu tanpa mengisinya.
"Aduh, semua gara-gara si Doni. Aku jadi lupa mengerjakan tugas."
"Siapa di luar?" teriak Bu Dewi setelah mendengar ucapan seseorang di luar kelas.
"Sa ... saya, Bu Dewi," jawab Arkan terbata.
"Ayo cepat masuk sini!"ucap Bu Dewi lantang.
Bergegas Arkan memasuki ruangan dan berdiri tepat di depan meja guru.
"Kenapa tidak kamu kerjakan tugas kemarin waktu Bu Dewi tidak masuk?"
"Mm ... anu Bu, itu... " jawab Arkan gugup.
"Pasti ramai di kelas lagi!"
Arkan menunduk malu. Karena keasyikan bermain bersama Doni teman sebangkunya, ia jadi lupa mengerjakan.
Bel tanda kelas masuk telah berbunyi, satu-persatu murid kelas 5 salah satu Sekolah Dasar Negeri di Malang memasuki ruangan.
"Doni, cepat kemari!" panggil Bu Dewi pada Doni yang baru memasuki kelas.
"Kenapa tugas kemarin tidak dikerjakan?" tanya Bu Dewi sedikit marah.
"I ... iya, Bu. Maaf kemarin Doni bermain terus dengan Arkan," jawab Doni menunduk pasrah.
"Kamu yang ngajak bermain terus," bisik Arkan pada Doni. Ke dua anak itu pun berdebat saling menyalahkan di depan Bu Dewi.
"Sudah jangan ribut! Sekarang kalian tidak boleh mengikuti pelajaran Bu Dewi. Cepat kerjakan soal-soal itu di luar sebelum bel istirahat berbunyi harus selesai!"
"Baik, Bu," jawab mereka bersamaan.
Arkan dan Doni pun berjalan keluar sementara teman-teman yang lain menertawakan mereka berdua.
"Kapok kena hukum!" celetuk Agus, salah satu teman Arkan yang sering mengejeknya.
Seketika Arkan menatap tajam pada Agus.
"Wekkk si Arkan bau pesing kena hukuman!" ejek Agus sambil menjulurkan lidah.
Ejekan Agus semakin membuat Arkan tidak bisa menahan diri.
"Agus, awasss!" teriak Bu Dewi
YOU ARE READING
SURGA ARKANA
General FictionArkana, anak lelaki yang baru duduk di kelas 5 SD. Semenjak kedua orang tuanya berpisah, dia kurang mendapat perhatian. Pelariannya adalah mencari perhatian serta kasih sayang dari guru kelasnya. Di kelas ia suka bertingkah semaunya sendiri dan tid...