Suara nyaring dan lembut itu membuat Arkan terkesima dan langsung menatap wanita dihadapannya.
"Kenapa menangis?" tanya wanita itu.
Arkan membisu menatap lekat wajah wanita berkerudung panjang berwarna hijau muda.
"Siapa wanita ini? Aku seperti mengenalnya," gumam Arkan.
"Ibu bisa minta tolong di mana ruang guru?" tanya wanita itu.
"Mmm ... itu di sebelah sana!" jawab Arkan sambil menunjuk pada ruangan yang terletak tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Oh yang itu. Baik terima kasih ya atas bantuannya," jawab wanita itu tersenyum.
Arkana terpana melihat seseorang yang baru ditemuinya. Seolah ada kedamaian dalam hati setelah menatap paras dan senyum wanita itu.
***
Semua murid menghentikan kegaduhan di kelas setelah Bu Ana, kepala sekolah yang dikenal tegas dan disiplin memasuki ruangan. Arkana penasaran dengan wanita yang mendampingi Bu Ana.
"Anak-anak mohon tenang sebentar. Ibu akan memperkenalkan seseorang yang akan menjadi guru agama baru sekaligus wali kelas kalian," tutur Bu Ana.
Wanita berkerudung panjang hijau muda itu pun memperkenalkan diri.
"Assalamualaikum anak-anak,"
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab semua murid kompak.
"Panggil saja saya Bu Sekar. Semoga Ibu bisa membimbing dan menjadi wali kelas kalian dengan baik dan lancar."
Setelah perkenalan itu Bu Ana meninggalkan kelas, sementara Bu Sekar berkenalan dengan murid-murid memanggil nama mereka satu-persatu dari buku absensi. Hingga berada di salah satu nama.
"Arkana Putra Bagaskara," panggil Bu Sekar.
Arkana mengacungkan tangannya, menatap guru barunya dengan sedikit tersenyum. Bu Sekar membalasnya dengan senyuman. Jam pelajaran telah usai, semua murid berebut keluar kelas kecuali Arkana. Ia ingin berbincang dengan wali kelas yang baru.
"Ternyata Ibu jadi wali kelas saya," ucapnya tersipu. "Maaf, tadi saya sudah menabrak Bu Sekar."
"Sudah tidak apa-apa. Kalau Bu Sekar boleh tau, tadi Arkan kenapa? Sepertinya habis menangis?" tanya Bu Sekar.
"Ehm ... tidak apa-apa Bu. Ya sudah, Arkan pamit pulang dulu," ucapnya lalu berlari meninggalkan kelas.
Bu Sekar menatap punggung Arkan meninggalkan kelas semakin menjauh. Ada rasa penasaran di hatinya tentang sosok Arkan sejak awal pertemuannya tadi.
"Aku akan mencari tau tentang anak itu," lirihnya.
***
Matahari begitu terik, Arkan melangkah sendiri menyusuri jalan menuju rumahnya.
"Arkan, ke sini sebentar!" panggil tante Rani dari teras rumahnya.
Tante Rani adalah tetangga Arkan yang sering memberinya makanan. Ia yang paling tahu tentang keseharian Arkan. Terlebih lagi kisah Arkan, ibu dan ayahnya sejak bersama hingga berpisah. Ia sering tidak tega melihat anak lelaki itu selalu sendiri. Apalagi selepas pulang sekolah kadang tidak ada makanan tersedia. Ayahnya bekerja serabutan dan penghasilannya yang tak menentu mengharuskan anak itu makan seadanya. Sebungkus nasi yang telah dibelikan sang ayah kadang ia sisakan untuk makan di malam hari.
"Arkan, tante ada makanan bawa pulang ya nanti habiskan," pinta Tante Rani.
"Jangan tante, Arkan takut ayah nanti marah lagi. Ayah suka mengira kalau Arkan meminta-minta," jawabnya lesu.
"Kalau begitu habiskan di sini saja. Kamu lapar, kan? Sudah siang ayo lekas makan! Tenang saja ayahmu tidak akan tau."
Arkan tidak bisa menahan diri karena sudah terlalu lapar. Ia pun menghabiskan makanan itu dengan lahap. Tante Rani senang melihatnya. Wanita itu sangat berhati-hati bila ingin memberikan makanan pada Arkan. Ia tidak ingin anak kecil itu dipukuli lagi oleh sang ayah karena mendapat makanan dari tetangga.
Ketika hendak menyantap suapan terakhir, terlihat Pak Bagas, sang ayah berjalan dari kejauhan.
"Arkan lekas cuci tangan! Itu ayahmu hampir tiba. Cepat masuk rumah, jangan lupa buang bungkus nasinya!" seru Tante Rani.
Arkana langsung panik mendengar ucapan tetangganya yang baik hati itu. Seketika ia berlari
memasuki rumahnya yang berdekatan dengan rumah tante Rani. Ia mengatur napasnya yang tersengal-sengal tak lama kemudian sang ayah memasuki rumah.
"Ada apa? Kamu seperti orang ketakutan saja."
"Emm ... tidak, Yah. Tadi Arkan habis lari-larian mengejar layang-layang di depan rumah," jawabnya gugup.
"Ya sudah awas saja kalau kamu membuat gaduh di rumah tetangga. Cepat makan sana! Itu sudah Ayah belikan sebungkus nasi."
"Gleg!" Arkan menelan ludah. "Aduh, aku masih kenyang," gumamnya.
"Tidak mau? Kamu itu sudah capek-capek Ayah mencari uang untuk membelikan makanan untukmu...."
"I ... iya Yah, Arkan akan memakannya," jawab Arkan ketakutan.
"Atau jangan-jangan kamu meminta makanan di tetangga?" selidik Pak Bagas.
"Tidak Yah! Arkan tidak meminta-minta," jelasnya.
Dengan terpaksa Arkan memakannya meskipun masih kekenyangan. Jangan sampai ayahnya tahu jika Tante Rani sudah memberinya makan.
Setelah membereskan makanannya ia langsung menuju kamarnya. Bersembunyi dari sang ayah agar tidak mengetahui tingkahnya. Arkan mengelus-elus perutnya karena kekenyangan.
"Aduh, perutku jadi sakit," rintihnya.
"Arkan ... Arkan! Kenapa ada bungkus nasi baru di bak sampah?" teriak Pak Bagas di teras rumah.
(Bersambung)
***
YOU ARE READING
SURGA ARKANA
General FictionArkana, anak lelaki yang baru duduk di kelas 5 SD. Semenjak kedua orang tuanya berpisah, dia kurang mendapat perhatian. Pelariannya adalah mencari perhatian serta kasih sayang dari guru kelasnya. Di kelas ia suka bertingkah semaunya sendiri dan tid...