Aku pernah diam-diam memandangmu dari atas sana,
Dari tempat-tempat tinggi yang tidak pernah kau duga.Kau pun pernah diam-diam memandangku,
Hingga aku mendongak untuk melihat ricuh kawanmu memanggil namaku.
Aku malu.Kau bagai jelaga yang tak bisa aku lihat cahayanya.
Kau seperti kaca tebal yang buram,
Samar.
Kau adalah pemilik taman penuh bunga,
Mencari terbaik untuk kau petik.Kau memandangku, merawatku,
Menyiram dengan air juga pupuk,
Hatiku tumbuh menyerupai harapan terhadapmu.
Kau melihat bunga-bunga yang lain,
Melakukan hal yang sama tanpa aku tahu.Kau memetik satu di antara mereka,
Kemudian hilang berhari-hari.Kau datang lagi,
Menyiangi benalu yang menyerangku.
Menyayangiku dan memintaku untuk tidak pergi.
Tapi kau tetap mengulangi langkahmu,
Dengan memetik bunga lain dan pergi.Kelopakku gugur,
Seiring dengan hilangnya suara derapmu.Aku adalah bahtera tanpa kendali,
Berkeliling samudera membiarkan arus membawaku,
Tujuanku adalah mencarimu sebagai dermaga tempat kembali.
Jangan biarkan palung menarikku hingga karam.Sekarang,
Aku adalah belati,
Mudah melukai sesuka hati.
Tetapi,
Aku benci darah.Jangan tusuk aku ke ulu hatimu,
Biarkan aku melakukannya sendiri,
Agar kau tidak perlu sakit,
Cukup aku saja,
Melebur dengan hal yang paling kubenci.